Lebih dari itu, kemiskinan memang menjadi persoalan multidimensi yang tak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan ekonomi semata. Faktor ekonomi hanyalah 20 persen masalah yang berhubungan dengan kemiskinan. Selebihnya menyangkut aspek sosial, pendidikan, informasi, bahkan diskriminasi struktural.
“Bila hanya fokus pada pertumbuhan usaha besar, maka orang miskin dipaksa berkompetisi dengan kelas menengah ke atas, dan itu tidak adil,” kata Bagong.
Negara nggak perlu malu mengakui kelompok miskin
Di sisi lain, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair) Rossanto Dwi Handoyo sepakat jika perhitungan BPS memang sudah kuno. Mengingat, kebutuhan dasar masyarakat yang sudah berubah. Kebutuhan itu seperti makanan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Misalnya, kata Rossanto, BPS masih menetapkan kebutuhan makanan sebesar 2.100 kalori yang jika direlevansikan dengan kondisi sekarang, angka tersebut tidaklah layak. Atau kebutuhan non-makanan seperti paket data internet yang saat ini menjadi kebutuhan primer.
“Harusnya, bagaimana menghitung garis kemiskinan itu? Ya tentang bagaimana hidup dengan layak.” kata Rossanto dikutip dari laman resmi Unair, Senin (23/6/2025).
Ia menjelaskan, alih-alih menghitung dengan cara seminimal mungkin, pemerintah seharusnya menetapkan kelompok “miskin” dengan standar yang manusiawi dan adil. Jadi, ketika seseorang dikategorikan kelompok miskin, artinya mereka masih bisa hidup dalam kondisi layak.
“Ya (kalau) miskin, tapi nggak layak sama saja menuju pada kematian,” ujarnya.
Oleh karena itu, Rossanto berharap pemerintah dapat mengubah perhitungan garis kemiskinan yang sesuai dengan standar hidup layak di masa kini. Tidak perlu malu mengakuinya, agar kebijakan yang dikeluarkan juga tepat.
“Kalau kita memang ingin menjadikan negara kita negara yang berkeadilan sosial maka treatment kita, spektrumnya harus lebih luas lagi. Jangan sampai kita bangga menjadi negara berpendapatan menengah ke atas, tapi memperlakukan warga seperti negara berpendapatan rendah,” kata Rossanto.
Nasib kelompok menengah yang dianaktirikan
Standar perhitungan garis miskin yang tidak tepat juga berdampak pada kelompok menengah. Terlahir sebagai kelompok kelas menengah, Ihza (23), mengaku harus mengkis-mengkis. Anak pertama dari dua bersaudara itu terbiasa mengandalkan tabungan pribadi, alih-alih menerima bantuan dari pemerintah.
Lagi-lagi, sebagai kelompok menengah, ia dikatakan tidak layak menerima bantuan. Namanya tidak terdaftar di pangkalan data utama Kementerian Sosial atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Alias, standar hidupnya masih dikatakan belum miskin.
“Perlu disadari, dengan kita bisa survive, belum tentu aman. Banyak yang bisa survive tapi tetep menggos-menggos (sesak nafas),” ujar Ihza.
Ihza bukannya kurang bersyukur karena tidak tergolong kelompok miskin, tapi ia merasa seperti dianak tirikan oleh negara. Bagaimana tidak, kebanyakan bantuan dari pemerintah memang ditujukan kepada kelompok miskin. Padahal, kalau mau dikatakan butuh, keluarganya juga butuh.
Apalagi, ibunya baru saja terkena PHK dan baru membuka laundry kecil-kecilan. Tak hanya ibunya, ia juga sudah kena PHK dua kali. Rezekinya baru saja terbuka saat ia diterima kerja di Jogja. Dengan gaji keduanya yang pas-pasan, bukan berarti mereka tidak perlu bantuan.
“Ya, rasanya kayak dianaktirikan. Padahal kalau dibilang butuh, ya butuh. Tapi kami juga merasa (kondisi ekonomi) tidak separah itu,” ucapnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kelas Menengah Dipaksa Terima Nasib Saat Kelas Bawah Dianakemaskan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.












