Sebagian besar kampus di Jogja memberlakukan jam malam bagi mahasiswanya. Alasannya soal keamanan kampus. Sebuah alasan yang menurut mahasiswa nggak masuk akal.
***
Sebagai mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga, Muhammad Khuluqul Karim (23) prihatin lantaran kampusnya saat sore hari terlihat sepi. Bahkan dari sekian banyak organisasi mahasiswa, hanya ada tiga yang masih sering beraktivitas di kampus: Mapala, Teater Eska, dan beberapa anak dari UKM Silat. Mereka masih bisa seperti itu karena bersikeras atau eyel-eyelan terutama dengan pihak keamanan kampus.
Untuk mahasiswa lainnya acap menghabiskan waktu di luar kampus. Ini lantaran di UIN Sunan Kalijaga terdapat pembatasan jam malam yang secara tertulis hanya sampai pukul 21:00 WIB. Tapi kata Khuluq masih bisa dinegosiasi sampai pukul 22:00 WIB – 23:00 WIB.
Walau demikian tetap saja adanya pembatasan jam malam membuat Khuluq yang berstatus sebagai lurah (jabatan kultural) di Teater Eska merasa resah. Mengingat kampus saat malam hari menjadi minim atau malah tidak ada aktivitas sama sekali.
Ruang intelektualitas dan kreativitas pindah ke warung kopi
Padahal sudah semestinya mahasiswa perlu membuat kampus menjadi hidup. Pun idealnya perguruan tinggi wajib memberikan ruang untuk mengaktualisasikan bakat dan minat mahasiswanya.
Apalagi kampus kerap menuntut agar peserta didiknya bisa terus berkarya dan membanggakan almamater. Sementara hal itu kontradiksi lantaran kampus tidak memberikan akses ruang dan waktu.
Berhubung kampus telah memberangus kebebasan itu membuat mahasiswa harus lari ke kedai kopi atau tempat nongkrong lainnya.
“Bahasa kasarnya adalah kegagalan kampus dalam menciptakan ruang intelektualitas dan kreativitas. Banyaknya pembatasan itu justru warung kopi yang mengambil alih sebagai ruang untuk mahasiswa,” kata Khuluq pada Jumat, (21/07) yang saya temui di sekretariat Teater Eska.
Saat menanyakan ke pihak kampus tentang pembatasan jam malam, kata Khuluq jawaban mereka selalu sederhana: ada pada regulasi untuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Keamanan dan ketertiban di sini lalu saya kaitkan dan coba tanyakan tentang kekhawatiran orang-orang semisal terjadi mesum, kerusakan fasilitas, dan lain sebagainya.
Tapi pria dari Gresik ini memberikan sanggahan dalam bentuk kasus nyata. Bahwa sewaktu pandemi, UIN Sunan Kalijaga pernah tutup dan tidak boleh ada aktivitas di dalamnya tetapi justru ada banyak fasilitas yang rusak. Seperti keramik pecah, barang-barang hilang. Dari bukti, indikasi pelakunya adalah orang luar UIN Sunan Kalijaga.
“Terus beberapa warga yang komplain karena ada orang mesum di UIN dan kabarnya itu orang luar UIN. Nah makanya keberadaan kita di kampus bisa mencegah hal-hal itu,” imbuhnya.
Jam malam itu membatasi kegiatan produktif mahasiswa
Khuluq memiliki anggapan bahwa mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga butuh akses ruang publik di kampus selama 24 jam. Sebab ketika ada pembatasan jam malam itu justru membatasi mahasiswa untuk produktif. Hal itulah yang juga diamini oleh Siti Umrotus Sholichah (22) dan Safina Rosita Indrawati (22), mahasiswi dari Universitas Ahmad Dahlan.
Saya menemui keduanya pada sore hari setelah saya ngobrol bersama Khuluq. Di Basa-Basi Nologaten itu Sholichah dan Safina bercerita bagaimana dirinya dan rekan-rekan organisasi harus terburu-buru dalam mengadakan diskusi karena kampusnya mau ditutup. Pernah juga saat menggelar nobar film mereka kena tegur satpam karena membuat acara sampai pukul 23:00 WIB.
“Bahkan itu pas peluncuran majalah LPM POROS (pers mahasiswa UAD), barang-barang kita masih di lingkungan kampus eh tahu-tahu gerbang udah dikunci. Harusnya kan diangkut dulu terus gerbang baru mengunci, nah ini kita masih di situ,” kenang Sholichah sambil mengingat-ngingat kejadian menyebalkan itu.
“Jadi UAD (kampus 4) itu ada branding besar, kampus serasa mal, karena punya eskalator dan lift. Tapi ternyata jam malamnya juga mengadopsi dari mall: tutup jam 10,” kata Sholichah tertawa getir.
Kampus yang tidak memiliki working space
Kampus 4 UAD berada di Jalan Ringroad Selatan, Kragilan, Tamanan, Kec. Banguntapan, Kabupaten Bantul. Kampus ini terbilang paling megah dari kampus-kampus UAD yang lain.
Lebih parahnya lagi jam operasional di perpustakaan UAD sungguh membuat Sholichah dan Safina merasa marah dan kecewa. Karena ruang itu hanya sampai pukul 16:00 WIB saja. Belum lagi saat jam 12:00 WIB hingga 13:00 WIB perpustakaan ikut istirahat.
Mereka mempermasalahkan jam operasional perpustakaan lantaran tempat ini menjadi satu-satunya ruang yang cocok untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Sebab menurut pengakuannya, kampus 4 UAD sama sekali tidak memiliki working space yang benar-benar mumpuni.
Tapi sial, jam operasional perpustakaan kampus 4 UAD mengecewakan untuk mengerjakan tugas. Sholichah dan Safina akhirnya harus pergi ke kedai kopi untuk merampungkan tugas.
95% tugas kuliah selesai di kedai kopi
Mereka mengatakan nyaris setiap hari mengerjakan tugas di kedai kopi. Keduanya juga beranggapan bahwa kampus hanya untuk kelas saja. Dan mahasiswa sudah tidak percaya kalau gedung-gedung itu bisa menunjang tugas kuliah maupun organisasi.
“Kampus itu hanya sebatas formalitas. Bahkan saya berani jamin 80% tugas mahasiswa bisa selesai di warung kopi, bukan di kampus!,” tegas Sholichah.
Tentu ketika mahasiswa lebih memilih mengerjakan tugas di kedai kopi, hal itu justru akan merogoh pengeluaran lebih banyak. Seperti halnya Sholichah dan Safina yang mengaku sehari bisa habis Rp25 ribu hanya untuk mengerjakan tugas di kedai. Belum lagi kalau pesan kopi lebih dari sekali, beli makanan kecil, uang transport, dan lain sebagainya.
“Itu seharusnya jadi refleksi kampus. Ok fine, kita boleh mem-branding kampus dengan sedemikian rupa, tapi juga harus tanggung jawab ke mahasiswanya. Karena kita bayar dan kita harusnya bisa mengakses ruang-ruang yang bisa menunjang aktivitas kita,” kata Sholichah.