Warung Bu Ramidjan menjadi salah satu warung soto kerbau yang masih menjajakan kuliner legendaris khas Kudus tersebut. Persaingan di jagat kuliner memang makin ketat.
Tapi selain warisan keluarga, warung Bu Ramidjan bagaimanapun juga merupakan warisan budaya yang sarat makna dari kota berjuluk Kota Kretek itu.
***
“Coba kita nyari sarapannya yang khas Kudus,” pinta Pemimpin Redaksi (Pemred) Mojok, Agung Purwandono, suatu pagi pada Rabu (26/2/2025), saat kami sedang berada di Kudus.
“Kalau pagi kuliner yang cocok ya soto. Soto kerbau,” sahut Khoirul dari kursi kemudi. Mobil pun langsung melaju ke Taman Bojana, pusat kuliner yang terletak di Kecamatan Kota Kudus.
Di arah jalan masuk Taman Bojana, warung soto rekomendasi Khoirul langsung terlihat. Warung kecil dengan papan berwarna merah bertuliskan “SOTO AYAM PINDANG AYAM – SOTO KERBAU PINDANG KERBAU”.

Para pelayan di warung tersebut dengan cekatan menyiapkan soto kerbau yang kami pesan. Sebagaimana lazimnya soto-soto di pantura, seporsi soto diwadahi dalam mangkuk kecil (orang-orang daerah saya (Rembang) menyebutnya mangkuk cina).
Di dalamnya berisi nasi, potongan daging kerbau berwarna cokelat kehitaman, bihun, tauge, irisan daun bawang, dan taburan bawang goreng. Meski mangkuknya kecil, tapi kuahnya diguyur hingga nyaris luber.
Tak hanya soto. Di meja depan kami juga terhampar aneka jenis lauk. Ada gorengan, perkedel, telur bacem, dan sate jeroan (jeroan ayam dan kerbau).
Soto kerbau Kudus yang melegenda
Pagi itu kami menyantap soto kerbau ditemani oleh Farah (38), generasi ketiga pengelola warung Bu Ramidjan.
“Warung ini sudah sejak 1957, Mas. Dulu yang buka simbah. Namanya Bu Ramdijan,” tutur Farah.

Pada 1970-an, warung dikelola oleh generasi kedua: anak Bu Ramidjan. Lalu memasuki 2000-an, warung dikelola anak-anak dari anak Bu Ramdijan (cucu Bu Ramdijan).
“Yang anak kandung itu suami saya. Kalau saya menantu. Tapi bantu mengelola,” ungkap Farah.
Kata Farah, sejak 1957 hingga sekarang, tidak banyak yang berubah dari olahan kuliner khas Kudus itu di warungnya. Kalau toh ada perubahan, hanya sebatas perubahan lokasi dan modifikasi menu tipis-tipis.
Sementara untuk cita rasa asli dari soto kerbaunya, masih menggunakan bumbu olahan turun-temurun dari Bu Ramdijan.
Mengolah soto kerbau Kudus yang empuk
Saat mencicipi kuah sotonya yang bening, rasanya agak berbeda dari soto bening yang pernah saya cecap di Rembang, Semarang, bahkan Jogja.
Kuah soto kerbau Bu Ramidjan cenderung dominan manis. Rempahnya terasa tipis. Meski Farah menyebut rempah-rampah jadi bumbu utama untuk menyajikan kuah yang hangat: ciri khas menu berkuah di pantura.
Tapi dagingnya memang lembut. Tidak melawan saat digigit.
“Kami nggak pakai presto-prestoan, Mas. Dagingnya kami rebus lama. Setelah itu kami bacem,” jelas Farah.

Eksis di tengah gerai-gerai modern
Farah menyadari, kuliner tradisional seperti soto kerbau Kudus memang pelan-pelan mulai “tersingkirkan”. Pasalnya, gerai-gerai kuliner modern mulai menjamur di mana-mana.
Termasuk di Kudus sendiri. Di pusat kota, saya menyaksikan beragam jenis gerai kuliner modern yang berteberan.
“Pasar kuliner jadul seperti soto Kerbau ini akhirnya memang bukan di kalangan orang-orang Kudus zaman sekarang. Tapi justru pendatang,” ungkap Farah.
Sepengakuannya, kebanyakan pembeli di warung Bu Ramidjan memang dari luar Kudus. Baik dari orang-orang yang sedang ziarah Wali Sanga maupun orang-orang yang hanya kebetulan singgah.
Terutama di musim lebaran. Warungnya akan penuh terus dari pagi sampai malam. Pembeli seolah datang tanpa henti.
“Kalau hari-hari biasa ya naik turun. Bukanya jam 7-an pagi sampai nanti malam,” kata Farah.
Menghidupi banyak orang
Artinya, Farah memang masih melihat potensi bahwa kuliner legendaris tidak akan pernah kalah saing. Sebab, dia menganut teori: semakin legend, justru semakin dicari.
Tinggal bagaimana Farah mencoba mengembangkan warung soto kerbau itu agar peminatnya tak berkurang. Syukur-syukur makin meluas. Lebih-lebih begitulah pesan dari Bu Ramdijan.
“Pesan Mbah Ramidjan itu kalau bisa ya terus dijaga. Syukur-syukur dikembangkan. Biar keluarga tetap rukun,” beber Farah.

Ternyata Farah dan suami bukan satu-satunya pengelola salah satu warung soto kerbau legendaris di Kudus itu. Bu Ramdijan memiliki tiga anak. Masing-masing mendapat jatah mengelola warung: dijadwal dari pagi-malam.
Itulah kenapa Bu Ramdijan ingin warung yang dia rintis jadi perekat kerukunan antaranggota keluarganya. Selain itu, warung Bu Ramdijan secara turun-temurun juga menjadi tempat banyak orang menggantungkan hidup.
“Kami punya tim dapur. Itu buat masak daging kerbau. Ada empat orang. Ada yang dari Kudus sendiri, ada yang dari Grobogan. Kalau untuk karyawan di warungnya ada delapan orang totalnya,” terang Farah. Maka total warung Bu Ramidjan mempekerjakan 12 orang.
Menjaga warisan budaya Sunan Kudus
Tak cuma alasan internal, Bu Ramidjan juga memiliki motif eksternal agar warung soto kerbau yang dia rintis itu tetap dijaga. Yakni, menjaga warisan budaya yang menjadi simbol kerukunan di Kudus.
“Karena lahirnya soto kerbau ini kan nggak lepas dari cerita Sunan Kudus yang mencoba membangun kerukunan (toleransi) di Kudus,” ucap Farah.
Dalam cerita yang masyhur perihal Sunan Kudus (Jafar Sadiq)—baik dalam versi cerita tutur maupun catatan sejarah Islam nusantara—dulu di abad 15-16 Masehi, banyak masyarakat Kudus menganut Hindu.
Sebagaimana umumnya orang Hindu menghormati sapi, begitu juga masyarakat Kudus pada masa itu: menghormati sapi. Haram mengonsumsinya.
Ketika Sunan Kudus masuk ke Kudus, dia memilih melakukan pendekatan dakwah secara asimilatif. Tidak membolehkan mengonsumsi sapi.
“Jadi itu membudaya sampai sekarang. Alih-alih sapi, orang Kudus ternak atau konsumsinya ya kerbau,” sambung Farah.
Tentu ada satu-dua orang yang mengonsumsi sapi. Tapi rasanya agak tabu.
“Bahkan kalau ada acara hajatan pun menunya kerbau. Bukan sapi,” pungkas Farah.
Dalam sehari buka, warung Bu Ramidjan bisa menghabiskan hingga 10 kilogram daging kerbau. Masih ada optimisme dari Farah bahwa kuliner Kudus ini tidak akan lekang seiring zaman. Angan-angannya, anak-anaknya kelak juga tetap melanjutkan warisan keluarga sekaligus warisan budaya Sunan Kudus tersebut.
Semangkuk soto kerbau tandas. Farah juga berpamitan pulang. Sementara perjalanan mengitari Kudus baru saja akan dimulai. Khoirul lantas menyebut daftar kuliner-kuliner yang harus kami coba. Itu cukup memotivasi kami: lekas rampungkan pekerjaan, lalu mari kulineran.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Menjadi Pesepak Bola Putri di Kudus di Tengah Tabu dan Larangan Ibu, dari Bocah Desa Biasa Kini Bersiap Main di Singapura atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan









