Semakin kesini, korean food makin mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Padahal, kalau dilihat dari kacamata budaya, citarasa makanan Korea tak selalu bisa cocok dengan lidah masyarakat Indonesia, khususnya orang Jogja.
Korean food dominan dengan rasanya yang pedas. Bahkan pedasnya seringkali ekstrem. Sementara Jogja, sudah lekat dengan makanan-makanan bercita rasa manis.
Kendati demikian, hegemoni makanan Korea seperti tak terelakan lagi. Di Jogja, booth korean food konsisten menghiasi setiap event, tak peduli apapun temanya. Restoran berskala mewah sampai tingkat UMKM juga mulai menjamur. Makanan ini juga semakin mudah dijumpai karena banyak orang menjajakannya di pinggiran jalan.
Banyak penelitian menyebut, budaya Korea baik melalui K-Pop maupun drakor, turut mendorong tren gandrung korean food ini.
Saya jadi teringat kejadian yang belum lama saya alami, tepatnya pada Sabtu (13/7/2024) malam. Selepas menyaksikan konser di Stadion Wilis, Madiun, saya bermaksud berwisata kuliner di sekitaran venue acara. Sayangnya, karena waktu sudah larut malam, warung makan seperti nasi pecel sudah tutup.
Alhasil, saya dan kawan memutuskan berkeliling. Dan, yang di luar dugaan, korean food jadi pilihan kami malam itu. Alasannya sebenarnya sangat sederhana, pertama, karena itu yang pertama kami jumpai. Kedua, hawa dingin mendesak naluri kami buat makan yang pedes-pedes.
Momen tersebut membuat saya merenung, baik di Jogja ataupun Madiun, baik siang maupun tengah malam, ternyata korean food tetap saja ada yang memburu.
Namun, di momen itu juga saya menjadi teringat dengan cerita seorang kawan yang pernah “bermain” di industri korean food. Cerita tersebut menyadarkan bahwa di balik kecintaan masyarakat pada makanan korea, ada sisi gelap yang mengiringinya.
Odeng berbahan berbahaya
Sekitar awal 2023 lalu, Rini* (19) membuat bisnis kecil-kecilan sebagai tugas mata kuliah kewirausahaan di kampusnya. Mahasiswa salah satu PTS di Jogja memilih berjualan korean food.
“Selain karena aku pecinta drakor, di Jogja korean food itu pasarnya luas. Gampang dijualnya,” ujarnya tatkala bercerita kepada Mojok, Kamis (11/7/2024).
Kebetulan juga, Rini punya koneksi ke salah satu pengelola event di Jogja. Jadi, rencananya masakan koreanya akan dijual pada acara-acara tertentu, selain membuka juga pre-order buat mahasiswa di kampusnya.
Rini dan teman-teman kelompoknya pun menemui beberapa penjual makanan Korea. Niatnya, selain untuk kerjasama dalam hal produksi, ia juga ingin belajar pembuatannya.
“Di tempatku beliau ini jualan jajanan Korea. Aku juga penasaran cara bikinnya, karena selama ini tahunya cuma makan aja,” kelakarnya.
Beberapa makanan memang diproduksi sendiri, salah satunya adalah favorit Rini, yakni odeng. Namun, alangkah terkejutnya dia ketika melihat secara langsung pembuatannya.
“Kalau dibilang jorok sih enggak. Ya, ngadonin gitu ada SOP lah. Cuman yang aku pertanyakan itu campuran bahannya itu, kayak ada yang aneh. Kalium bromat, borax gitu kita juga diajarin di kampus,” kata Rini.
Rini bercerita, penjual tersebut menambahkan bahan yang ia sebut “pengawet” secara berlebihan. Yang lebih mengejutkannya lagi, ia melakukan itu seolah wajar-wajar saja.
“Aku sempat tanya, ‘emangnya nggak berlebihan?’, eh dibilang ‘kalau mau awet berhari-hari ya memang kudu banyak’. Langsung aku shock banget.”
Tak mau ambil risiko, khusus korean food yang dibuat untuk pelanggannya sendiri, Rini memutuskan sendiri takaran bahan-bahannya. Mau bagaimana pun, Rini tak ingin mengambil risiko, apalagi urusannya dengan kesehatan para pembeli. Sementara yang yang dijual sang pedagang, Rini mengaku itu di luar kendalinya.
Pakai korean food yang nyaris basi, dibuat ekstra pedas sampai menyamarkan bau
Rini juga blak-blakan, trik lain yang selama ini dipakai penjaja korean food adalah memakai bahan-bahan yang sudah basi. Saat berdagang bersama penjual yang ia ajak kerjasama, Rini melihat secara langsung praktik tersebut.
“Stok-stok lama kayak tteokbokki, yang udah berair dan bau gitu masih dipakai. Kata mereka ‘masih bagus kok’, padahal aku dan temen-temen tahu betul udah agak bau. Cuma ya nggak berani ngelawan aja,” ungkapnya.
Kata Rini, tingkat kepedasannya dibikin amat ekstrim dengan menambah bubuk-bubuk cabai dan saus. Cara itu dipakai buat menyamarkan bau basi pada makanan.
“Aku nggak tahu pedagang yang lain gini juga apa nggak. Tapi sumpah ini bikin trust issue kalo mau beli korean food,” kata Rini.
Hasna (23), salah satu mahasiswa yang pernah membuka usaha korean food berskala UMKM, mengakui praktik tersebut. Kecenderungan makanan korea yang sulit bertahan lama seringkali jadi alasan penjual buat berbuat nakal.
“Makanya aku milih berhenti karena tricky banget emang bisnis ini. Susah untungnya. Nggak semua masakan korea itu kimchi dan samjang yang makin disimpen lama makin enak,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News