Umar Kayam, budayawan yang juga dosen UGM berpesan kepada Ngatijan, agar warung bakminya dinamakan Bakmi Jumpa Pers. Warung bakmi yang pernah jaya ini konsisten jadi warung tenda meski teman-temannya seperti Bakmi Kadin dan Bakmi Pele punya warung permanen.
***
Kalau melintas di Jalan Cik Di Tiro dari arah Panti Rapih sore hari, cobalah menengok ke sebelah kiri. Ada warung bakmi sederhana di atas trotoar. Warung Bakmi Jumpa Pers, warung yang eksis sejak tahun 1979.
Dari nama saja, warung bakmi ini nggak lazim. Umumnya warung bakmi di Jogja pakai nama orang yang jadi pendirinya, misal Warung Bakmi Pele,.Bakmi Mbah Hadi, Bakmi Pak Geno, dan lainnya. Namun, berbeda dengan Bakmi Jumpa Pers.
Awalnya sebagai seorang wartawan, saya mengira warung bakmi ini punya nama seperti itu karena dulunya jadi tempat jumpa pers wartawan. Nyatanya, dugaan saya nggak sepenuhnya benar.
Warung Bakmi Jumpa Pers yang punya nama gara-gara spanduk Bir Bintang
Mengobati rasa penasaran saya, Rabu sore, (28/2/2024) saya mampir ke warung tenda ini. Bertemu dan berbincang dengan pemiliknya, Hadianto Ngatijan (70).
“Warung bakmi ini saya dirikan tahun 1979, saya baru 19 tahun, Mas,” katanya. Sebelum jualan bakmi, Ngatijan jadi supir angkutan kampus di Jogja, tapi sepi. Ngatijan lantas nyambi dengan jualan bakmi di sore harinya. Setelah melihat potensi yang lebih besar daripada jadi sopir, ia kemudian fokus jualan bakmi.
“Sebagai orang cacat, saya bangga umur segitu sudah jualan bakmi sendiri,” kata Ngatijan menunjukkan satu kakinya yang lebih kecil dari kakinya yang lain.
Dulu Ngatijan jualan bakmi di depan gedung yang kini jadi UGD Panti Rapih. Warungnya sederhana, hanya gerobak. Sampai kemudian ada memberinya spanduk bekas sebuah acara di hotel seorang karyawan hotel yang memberinya bekas backdrop sebuah acara di hotel tersebut.
“Tulisannya, Jumpa Pers Bir Bintang, tanggal 25 Mei 1983. Spanduknya dari hotel Mutiara, saya tahunya cuma itu, ternyata spanduknya buat orang tertarik untuk datang, padahal ya hanya untuk aling-aling saja,” kata Ngatijan.
Diresmikan jadi Bakmi Jumpa Pers oleh Umar Kayam
Rupanya salah satu yang tertarik dengan tulisan tersebut adalah budayawan yang juga Guru Besar Fakultas Sastra UGM, Umar Kayam. “Kalau nggak salah itu tahun 1983, Pak Kayam mulai langganan. Katanya cari bakmi yang enak dan sesuai seleranya itu belum ketemu. Sampai kemudian lihat spanduk itu dan cocok sama masakan saya,” katanya.
Saat itu, warung bakminya masih tanpa nama. Oleh Umar Kayam kemudian diberi nama, Bakmi Jumpa Pers. “Pak Umar Kayam itu pesan agar saya pakai nama Bakmi Jumpa Pers sampai selamanya,” kata Pak Ngatijan.
Sejak itu, warungnya makin dikenal. Tak jarang Umar Kayam mengajak teman-temannya untuk makan di Bakmi Jumpa Pers.Termasuk orang-orang penting dan artis nasional dari Jakarta. Sejak itu, Bakmi Jumpa Pers makin terkenal dan namanya sejajar dengan bakmi-bakmi legendaris di Jogja.
Kedekatan Pak Ngatijan dengan keluarga Umar Kayam masih berlanjut bahkan saat pemeran Soekarno dalam film Penghianatan G30/S/PKI itu meninggal pada tahun 2002. “Setiap peringatan Pak Kayam itu pesan bakmi di tempat kami. Pas peringatan 1000 hari kami juga diundang untuk masak,” katanya.
Dulu jadi saingan berat Bakmi Kadin dan Bakmi Pele
Ngatijan mengatakan dulu warung bakmi belum begitu banyak. Tahun 1980-an hingga awal 1990-an tiga warung bakmi yang terkenal di Jogja ada tiga, yaitu Bakmi Kadin, Bakmi Pele, dan Bakmi Jumpa Pers. “Mereka itu teman-teman saya, tapi berhubung saya sendiri ya nggak punya tempat (permanen untuk jualan), ya saya gini-gini saja,” katanya.
Saat masih jaya, Bakmi Jumpa Pers sehari bisa menghabiskan 15-20 ekor ayam kampung. Sekarang dari buka pukul 16.00 – 00.00, paling banyak habis 2-3 ekor ayam kampung. “Saya sudah berusaha cari tempat, tapi tempatnya nggak cocok, sepi,” katanya.
Pak Ngatijan sempat terdiam. Ia kemudian bercerita, tahun 2000-an ia sempat buka warung bakmi di Jakarta selama tiga tahun. Bakmi tersebut lantas ia serahkan ke adiknya untuk pengelolaanya. Selain itu sejak 1998 hingga 2010 ia juga bisnis jual beli mobil dan rental mobil.
Saat itu bakmi ia pasrahkan ke istri dan karyawannya. Namun, karena kurang terawasi ia justru ditinggalkan istrinya. Ia kemudian mulai fokus jualan bakmi lagi. Selain itu pelan-pelan ia mewariskan ilmu membuat bakmi jawanya pada anak laki-lakinya. “Yang di Jalan Kaliurang dekat MM UGM itu anak saya yang jualan, dia jualan mulai 2008,” kata Pak Ngatijan. Satu anaknya yang lain, jadi perias manten.
Pak Ngatijan bersyukur dari apa yang ia dapatkan dari jualan bakmi
Selain di Jalan Kaliurang, ia juga merintis warung bakmi di Dongkelan, Bantul yang kini kemudian ia serahkan ke adiknya untuk mengelola. “Nggak pakai nama Bakmi Jumpa Pers, yang Dongkelan namanya Bakmi Pandawa. Saya kasih nama itu karena saya 5 bersaudara laki-laki semua, sekarang adik saya yang mengelola,” katanya.
Meski hanya warung tenda, Pak Ngatijan mensyukuri apa yang ia dapat dari jualan bakmi. Saat pandemi menurutnya adalah hal yang terberat karena ia sampai tutup selama dua tahun.
Dari jualan bakmi, Pak Ngatijan bisa membeli rumah yang ia tempati sekarang di Blimbingsari, Caturtunggal, Depok, Sleman yang tak jauh dari Kampus UGM. Ia juga bisa membeli tanah dan bangun rumah di kampung halamannya di Wonosari, Gunungkidul dan membeli kendaraan.
“Mobil saya yang hilang sampai tiga, jaman bisnis rentalan dulu itu,” katanya tertawa.
Saat saya temui, ia sendirian, tak memiliki karyawan. Semua ia kerjakan sendiri mulai dari masak, menyajikan hingga membuat minuman untuk pelanggan. Anak-anaknya sebenarnya meminta ia untuk istirahat saja di rumah. “Selama saya punya tenaga, ya saya tetap akan jualan bakmi. Cari tenaga (karyawan) sekarang susah,” kata Pak Ngatijan.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Bukan Warung Bakmi Pak Pele, Dua Warung Bakmi di Jogja Ini Pernah Jadi Langganan Presiden RI
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.