Kuliah tidak ada gunanya, mending langsung kerja. Kalimat ini kerap jadi pemantik perdebatan paling membakar di media sosial. Ganti tidak ada gunanya dengan tidak penting, boros, atau apa pun yang bermuatan negatif, kontroversi akan muncul dan membakar. Contohnya bisa kita lihat saat Deddy Corbuzier mengucapkan bahwa kuliah itu tidak penting. Netizen langsung membunyikan genderang perang kepadanya, meski konteks ucapannya tak bisa dimaknai secara mentah-mentah.
Tapi, perdebatan ini memang tak bisa lagi dihindarkan. Banyak faktornya, salah satunya adalah begitu banyak mahasiswa yang lulus, lalu menganggur. Faktor lain adalah, naiknya UKT membuat kuliah dipandang sebagai hal yang sia-sia, toh, jika kerja nanti, gajinya UMR. Gaji UMR tentu tak cukup untuk hidup, apalagi mengembalikan modal kuliah yang sudah terpakai. UMR naik begitu lambat, UKT naik kelewat cepat.
Akhirnya, orang memandang kuliah ini jadi sebuah opsi yang tak lagi bagus. Kemungkinan naik derajat ekonomi jadi tak terlihat sebab modal untuk kuliahnya benar-benar tak masuk akal dan tak terjangkau. Pandangan ini bikin kuliah, jika tak ada potensi membawa ke pekerjaan lebih baik, atau memberi peluang yang lebih baik, jadi tak berguna.
Tapi tak semua orang setuju, banyak mahasiswa masih beranggapan kalau kuliah tak melulu tentang pekerjaan. Kuliah masih jadi ajang untuk mencari ilmu, sebagaimana mestinya.
Prasta (22), mahasiswa UNESA Surabaya, berkata kalau kuliah cari ilmu, jangan khawatir perkara pekerjaan (12/06/2024). Sebab, pekerjaan akan datang pada orang yang berilmu, jadi rasanya tak perlu memperdebatkan lagi kuliah baiknya cari ilmu atau kerja, karena keduanya akan saling mengikuti.
Dian (22), juga mengungkapkan hal yang mirip-mirip. Misal jurusannya tidak memberi pekerjaan, tak masalah, proses belajarnya mungkin akan jadi hal yang mengantarkannya pada pekerjaan.
Kuliah ya memang untuk kerja
Sedangkan Rafi (22), mahasiswa Surabaya mengatakan hal yang berbeda. Baiknya, kuliah memang untuk bekerja. Jurusan yang diambil harusnya sudah merefleksikan rencana apa yang diambil, meski dia sendiri berkuliah di jurusan yang sebenarnya tidak tepat untuk rencananya.
“Jujur aku milih jurusan ini cuma biar dapet gelar aja, soalnya kalau aku lulusan SMA lapangan kerjanya pasti sulit. Lebih gampang kalau udah jadi sarjana.”
Saya bertanya kenapa tidak ambil bootcamp saja ketimbang kuliah? Sebab, ilmu dari bootcamp jelas lebih kepakai ketimbang kuliah. Rafi mengatakan karena dia butuh gelarnya untuk cari kerja. Tapi dia setuju jika memang lebih tepat ambil bootcamp ketimbang kuliah. Meski, dia tidak bisa bilang kalau bootcamp bisa menggantikan kuliah.
“Soalnya balik lagi, sekarang kerjaan banyak yang minimal sarjana daripada lulusan SMA.”
Tentu saja, selalu ada orang yang berdiri di tengah opsi. Dunia memang tak selalu biner. Tak hanya hitam-putih, ada hijau, biru, dan warna lainnya.
Dito (22) bingung ketika saya tanya sejatinya dia berdiri di sisi mana dalam perdebatan ini. Tapi, dia punya pendapat lain tentang hal ini.
“Semua ilmu pasti ujungnya buat nyari kerja. Mereka yang kuliah buat nyari ilmu juga at the end of the day tetep butuh makan. Jadi, menurutku, kuliah sebenernya buat nyari peluang dan memperbaiki cara berpikir aja.”
Baginya, kuliah mengajarinya berpikir. Di kampus, mahasiswa dituntut untuk berpikir logis dan kritis, yang pada akhirnya membantunya untuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan yang ada.
Perdebatannya abadi karena kampus nggak ngasih solusi
Di sisi lain, Ipank (30, bukan nama sebenarnya), menyatakan bahwa perdebatan ini muncul karena kampus pada dasarnya tidak berinovasi dan memberikan bekal untuk mahasiswa di dunia kerja. Tak ada hal baru yang kampus tawarkan, hanya menuntut mahasiswa dapat IPK tinggi dan lulus cepat. Sekadar silabus baru saja, tak punya. Padahal harusnya silabus menyesuaikan dunia kerja juga.
Tak ada inovasi dan tuntutan yang itu-itu saja bikin mahasiswa tak punya bekal apa-apa. Akhirnya, perdebatan ini jadi muncul dan seakan-akan tak ada selesainya. Padahal menurut Ipank, hal ini bisa diintervensi oleh kampus. Ilmu yang ada, harusnya bisa dilempar ke industri.
“Lulusan Sastra selalu diarahkan jadi dosen, padahal mereka bisa aja jadi penulis buku panduan, bisa jadi UX writer, bisa jadi content moderator. Kenapa cuma diarahkan jadi akademisi doang?”
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.