Banyak mahasiswa yang merasakan kesepian dalam kesehariannya. Perasaan merasa sendiri itu semakin menjadi ketika tidak ada orang-orang yang mau mendengarkan mereka.
***
Tak dapat dimungkiri, perasaan kesepian dapat menjadi gejala munculnya gangguan kesehatan mental, bahkan gangguan kesehatan fisik. Riset The Conversation menunjukkan bahwa usia 16-24 tahun, yang merupakan rentang usia mahasiswa S1 di Indonesia, merupakan periode kritis untuk kesehatan mental remaja dan anak muda di Indonesia.
Untuk mengetahui fakta lebih dalam, Mojok mendengarkan keluh kesah mahasiswa yang mengaku merasakan kesepian selama masa perkuliahannya.
Mahasiswa kesepian karena homesick
Nita (20) asal Cirebon akhirnya menjatuhkan pilihannya untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi vokasi yang ada di Semarang. Baginya ini adalah pengalaman merantau untuk pertama kalinya.
Sejak awal masuk kuliah, Nita mengaku sudah merasakan homesick, yaitu penderitaan karena jauh dari rumah. Perasaan itu jadi pemantik sehingga Nita merasa mudah kesepian. Terlebih lagi saat awal masuk, perkuliahan berlangsung secara daring. Hal itu membuatnya sulit menemukan teman yang satu frekuensi.
Saat masih kuliah daring, Nita memiliki dua teman yang ia anggap asik untuk mengobrol. Namun, semenjak perkuliahan berlangsung secara offline, ia merasa kedua temannya telah menjauh.
Menangis dalam kesendirian
“Pas ngerasa kesepiannya sih ya suka sedih, nangis mulu,” ujar Nita ketika menjelaskan perasaannya dalam menghadapi kesepian yang ia rasakan.
Nita mengatakan bahwa ia terkadang menangis apabila merasa kesepian. Namun, ia merasa masih bisa menghadapinya sendiri sehingga belum pernah memeriksakan diri ke psikolog.
Kesukaannya dalam dunia K-Pop juga Nita rasa sangat membantu mengatasi rasa kesepiannya. Ia banyak menemukan ‘teman online’ yang membuat Nita dapat berbincang terkait idola favoritnya.
“Selain K-Pop, banyak sebenarnya kegiatan yang aku lakuin biar nggak kesepian. Misal, nonton drama, dengerin musik, suka juga jalan-jalan naik motor tanpa arah, terus juga suka ke Mixue sendirian. Bisa dari siang sampai sore baru balik,” jelas Nita.
Merasa dikhianati
Dara (bukan nama sebenarnya, 21), ‘memutuskan’ hubungan pertemanannya karena ia merasa sudah dikhianati dan ia merasa teman-temannya hanya memanfaatkannya saja untuk kepentingan mereka.
Sama seperti Nita, Dara juga merasa lingkup pertemanannya di perkuliahan menjadi begitu sempit karena faktor kuliah daring sehingga menyulitkannya untuk berbaur dengan teman lain.
Dara awalnya juga memiliki teman yang sudah sangat akrab dan begitu ia percaya. Namun, lama kelamaan, ia merasa teman-temannya hanya memanfaatkannya untuk menjawab pertanyaan dari tugas-tugas mereka.
Perasaan itu muncul karena Dina selalu merespon dengan baik ketika teman-temannya butuh cerita. Namun, saat ia ingin curhat, justru mereka mengabaikannya.
“Semester akhir itu banyak orang munafik, pada intinya tuh kita jangan ngarepin orang lain dan jangan terlalu baik banget sama orang lain. Nah sebisa mungkin bantu sebisa aja sekarang mah, dan juga jangan terlalu dekat,” ujar mahasiswi yang berkuliah di Banten itu meluapkan kekesalannya.
Kekesalan Dara pun tak cukup sampai di situ, ia merasa berada di puncak kekesalan ketika ia merasa ‘digantung’ tiap kali menanyakan perihal kelompok untuk kegiatan magang.
“Puncak (kesal) nya tuh pas kemarin waktu mau magang, di situ kan harus berkelompok, nah temanku itu kemarin udah bilang mau satu kelompok sama aku. Tapi, jadinya malah satu kelompok sama yang lain. Terus aku make sure ‘jadi gak ama gua’, aku nanya gitu dia jawabnya nggak jelas. Nah, sebenarnya aku udah tau dia pilih sama yang lain tapi pura-pura aja nggak tau,” ujar Dara.
Menjadi motivasi
Tak kuasa menahan amarah dan kesedihannya sendiri, Dara pun tak jarang menangis sendirian agar merasa sedikit lega. Kesepian tak punya teman itu begitu terasa. Meski begitu, Dara mengaku tidak down, ia justru menjadikan hal itu sebagai loncatan untuk memperbaiki value dirinya.
“Dari pengalaman itu, aku memotivasi diri aku bahwa aku bisa belajar public speaking dan pada akhirnya aku bisa jadi pembicara di komunitas, organisasi, bahkan ukm di kampus aku,” ujarnya.
Selain itu, Dara juga mengisi waktu luangnya dengan berjejaring di komunitas luar kampus. Dengan begitu, ia merasa bisa lebih mengurangi rasa kesepiannya karena dapat bercerita dengan teman di komunitas tersebut, juga mengerjakan berbagai project komunitas.
Sosial media jadi penyebab kesepian
Dalam kesendirian dengan perasaan sepi dan hampa, Mawar (20), sebut saja begitu hampir tiap malam menangis. Ia yang merantau untuk kuliah di sebuah universitas pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta merasakan kesepian yang mendalam. Ia selalu menangis ketika menghadapi masalah tugas kuliah ataupun lingkup pertemanan di kampus.
Mawar mengaku rasa kesepiannya seringkali muncul pada saat malam hari. Ketika dirinya sedang sendiri di kos dan tidak ada kegiatan. Sosial media juga menurutnya jadi salah satu faktor yang bisa membuat ia sedih karena melihat teman-temannya saling berkumpul dan bersenang-senang.
“Hal yang paling membuatku merasa kesepian adalah, ketika harus sendirian di kamar melihat Instagram Story teman yang bisa main, nongkrong bersama pacarnya, atau sekedar ucapan ‘happy birthday’ dari teman-temannya yang di-post di Instagram. Aku jarang sekali mendapatkan itu semua, dan pada akhirnya berujung tangis,” ujar Mawar.
Memaksakan diri untuk berbaur
Keluhan Mawar kurang lebih sama dengan Nita dan Dara yang menyatakan bahwa ia yang kuliah secara daring menjadi salah satu penyebab lingkup pertemanan mereka jadi terbatas.
Meski mengalami struggle dalam berteman, Mawar tetap memaksakan diri untuk bisa berbaur dengan mengikuti berbagai kegiatan, seperti organisasi, karya ilmiah, maupun event-event. Ia juga mengajar privat di bimbingan belajar dan TPA untuk mengisi waktu luangnya.
Namun, segala upayanya untuk berbaur dengan teman-teman di perkuliahan rupanya tak membuat Mawar jadi memiliki banyak teman. Mawar juga merasa, teman-temannya tidak menganggap keberadaannya ada. Ia seringkali kesulitan mencari teman untuk tugas kelompok.
“Di kelas perkuliahan yang menganggap saya sebagai teman hanya bisa dihitung jari. Hanya beberapa dan aku merasa mereka semua mendekat ketika ada butuhnya saja. Ketika aku menguntungkan bagi mereka baru mereka menjadikanku teman,” ujar Mawar.
“Dan yang sangat menyedihkan ketika di kelas benar-benar merasa kesepian karena aku merasa teman-teman di kelas tidak menganggapku ada. Datang ke kelas tanpa sapaan, untuk tugas kelompok dan juga diskusi tugas juga kebingungan dengan siapa,” lanjutnya.
Berdasarkan pengalamannya tersebut, Mawar pun merasa tidak bisa mengandalkan pertemanan di perkuliahan.
“Saya menganggap bahwa teman kuliah itu tentang kebutuhan dan siapa yang akan menguntungkan untuk orang lain maka ia akan banyak memiliki teman. Teman di perkuliahan itu fake alias palsu, mereka datang dengan kebutuhannya masing-masing,” keluh Mawar.
Mengobrol dengan orang random
Selain mencoba mengikuti berbagai kegiatan di kampus maupun luar kampus, Mawar mengatasi rasa kesepiannya dengan mengobrol bersama orang random secara daring.
Mawar menggunakan aplikasi Voisa atau Telegram untuk bisa mengobrol dengan orang lain, menurutnya dengan bercerita, ia bisa sedikit melupakan rasa kesepiannya yang kerap muncul pada malam hari.
“Rasa kesepian yang terjadi aku atasi dengan cara aku mengobrol bersama orang yang mau mendengarkan. Biasanya aku mengobrol dengan orang random, kenapa aku memilih orang random, itu karena aku gak suka cerita dengan orang real life, menurutku mereka tidak peduli dan bahkan ada yang senang ketika kita mendapatkan masalah,” ujarnya.
Kesepian akut harus ditangani serius
Mengutip Halodoc, Dr. Fadhli Rizal Makarim menyatakan bahwa selalu merasa kesepian dapat menjadi gejala dari gangguan kepribadian ambang, yaitu suatu gangguan kesehatan mental yang memengaruhi cara seseorang berpikir maupun merasakan tentang dirinya sendiri dan orang lain.
Maka dari itu, apabila rasa kesepian dirasa sudah sangat mengganggu kesehatan mental maupun fisik, diharapkan setiap orang dapat mencari pertolongan. Bisa dengan menghubungi teman, keluarga, psikolog, atau menelpon ke Hotline Halo Kemenkes di 1500-567.
Reporter: Zefanya Pilar Tilarso
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Nestapa Pengelola Penginapan di Banyuwangi yang Harganya Jatuh di Aplikasi
Cek berita dan artikel lainnya di Google News