Cerita Deni kuliah pakai sarung di Vatikan
Selama satu semester atau enam bulan, Deni Iskandar kuliah di tiga tempat yaitu Pontifica Universita St Thomas Aquinas-Angelicum, di Pontifica Universita Gregoriana, dan di Nostra Aetate.
Selama di Vatikan, ada hari-hari Deni kuliah sambil sarungan. Yang hampir pasti ia lakukan adalah saat kuliah di hari Jumat. Dari tempat tinggalnya, ia mengenakan sarung ke kampus. “Jadi kalau Jumat itu kan di sana waktu salat Jumatnya jam 14.00. Jadi daripada pulang, mending langsung saja pakai sarung ke kampus,” kata Deni.
Deni juga meluruskan pandangan kegiatan agama lain tidak ada di Vatikan atau Roma. Justru ia merasakan hak ibadah terpenuhi. “Di Roma itu ada masjid, banyak musala. Bahkan saat saya puasa, aktivitas tarawih itu ada, Lebaran juga bisa. Bahkan teman-teman kuliah saya ikut pas buka bersama, mereka senang-senang saja, saya malah yang merasa aneh,” kata Deni tertawa.
Selama menempuh pendidikan di Vatikan dan Roma, ia menyimpulkan bahwa dalam melihat kehidupan saat ini, bukan perkara surga dan neraka. Justru ia melihat manusia sebagai manusia, dengan begitu munculah rasa kemanusiaan.
Deni mengakui, keputusannya untuk kuliah di Vatikan, bahkan mencium tangan Paus pasti menimbulkan pro kontra. Ada yang sepakat dan tidak sepakat. Termasuk teman-temannya di PB HMI dimana ia menjadi bendahara umum. “Bahkan ada yang bilang saya agen,” kata Deni tertawa.
Selama di Vatikan mengamati banyak hal yang menurutnya luar biasa. Misalnya saja, ia melihat perjalanan intelektual dan spiritual seorang imam Katolik ternyata nggak mudah. Mereka benar-benar belajar, baik secara spiritual dan intelektual.
Tatanan dunia berubah, musuh bukan lagi antarpemeluk agama
“Jadi memang harus kita akui bahwa, Gereja Katolik itu pasca Konsili Vatikan II ini, lebih terbuka dan progresif. Terlebih dalam hal memajukan dialog lintas agama, dengan semangat Living Together itu,” katanya
“Ada banyak dokumen maupun ensiklik Gereja Katolik yang bicara tentang konsep dialog lintas agama, yang terbaru adalah, dokumen Human Fraternity. Itu adalah dokumen apostolik Paus Fransiskus saat bersilaturahmi dengan Grand Syekh Tayyeb, Imam besar al-Azhar, yang bertempat di Abu Dhabi.
Menurut Deni, saat ini alam berubah dan berdampak pada tatanan dunia yang juga sudah berubah. Tantangan semua umat manusia, bukan lagi perang antaragama maupun saling hujat dan saling membenci satu sama lain atas nama agama. Lebih dari itu, tantangan pemeluk agama saat ini adalah kemiskinan, kesehatan global, perubahan iklim dan korupsi, yang itu sifatnya merugikan banyak orang.
“Kita semua harus sadar bahwa, saat ini tatanan dunia sudah berubah, musuh kita bukan lagi antar pemeluk agama. Musuh nyata agama adalah kemiskinan, kesenjangan, perubahan iklim, kesehatan global juga perubahan iklim. Nah oleh karena itu, semua pemeluk agama itu harus bahu membahu menyelesaikan persoalan itu. Terlebih Islam dan Gereja Katolik, itu jelas punya tanggung jawab, terlebih saat ini sudah ada dokumen Human Fraternity itu kan, jadi standing-nya sudah jelas” tegasnya.
Deni mengaku bahwa dirinya sudah mendapat beasiswa studi lanjut dari Pontifical University (Universitas Kepausan) Saint Thomas Aquinas “Angelicum” di Roma. Namun, studi lanjut tersebut belum dapat ia realisasikan karena kendala biaya hidup dan penginapan atau tempat tinggal.
Dapat restu dari sang guru, minta dibawakan kitab kuning dari Vatikan
Putut Prabantoro, salah satu orang yang menyarangkan Deni untuk kuliah di Vatikan menilai sosok Deni sebagai sosok yang sederhana. Bahkan untuk mendapatkan fotonya bersama Paus Fransiskus di studio Vatikan, seorang suster dari Kongregasi Passionis yakni Sr Fransiska CP – seorang sahabat dan sekaligus “ibu angkat” yang menebus foto itu. Foto itu baru terkirim dua bulan setelah perjumpaannya dengan Paus Fransiskus.
Menurut Putut, ketika akhir Januari 2023 berangkat ke Roma, beberapa orang ikut urunan untuk membantunya bisa berangkat. Dari sepatu hingga jaket musim dingin semua didapat dari orang-orang yang mencintainya. Bahkan konon, Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo memberikan uang saku untuk naik taksi dari bandara ke penginepannya.
Kini, Putut juga mendukung keinginan dari Deni untuk studi lanjut di Roma. Ilmunya akan sangat berguna bagi Indonesia.
“Minta doanya saja, Mas, semoga segera dapat sponsor. Rencananya akan tinggal satu tahun karena diploma,” kata Deni. Ia juga sudah bertemu dengan gurunya waktu di pesantren, Abuya KH Ahmad Muhtadi bin Dimyathi al-Bantani, tokoh spiritual muslim yang disegani di Provinsi Banten.
“Kemarin saya sudah ketemu beliau, nanya sudah beres atau belum belajarnya. Saya bilang, saya mau berangkat lagi. Beliau mendukung penuh,” katanya. ‘
Ada satu pesan khusus dari gurunya jika ia kembali ke Vatikan. “Beliau mau Kitab Kuning. Kan Koleksi Kitab Kuning di Universitas Dewan Kepausan itu lengkap, Bang. InsyaAllah saya akan copy PDF-nya untuk beliau,” kata Deni.
Penulis: Agung Purwandono