Warga muak dengan mahasiswa KKN
Masih di Rembang, saya sempat berbincang dengan Dudin (34), tetangga Rofal. Ia mengaku bahwa beberapa warga desanya sebenarnya sudah “muak” dengan kehadiran warga KKN.
Lantas kenapa dari tahun ke tahun masih diterima? Alasannya ternyata lebih karena tidak enak. Ada orang mau bertamu dengan niat baik, masa ditolak mentah-mentah. Ya meskipun sering kali niat tak sejalan dengan apa yang dipraktikkan.
“Kalau boleh jujur, kegiatan atau program KKN mereka ya cenderung huru-hara. Misalnya kegiatan 17 Agustusan. Kan cuma ramai-ramai,” ungkap Dudin.
“Kalau tidak ya kadang kegiatan yang itu-itu aja dan sebenarnya di desa sudah jalan. Kayak ngajar les, itu di desa sudah jalan tanpa mereka. Lalu bikin plakat penunjuk arah yang sebenarnya warga sini juga nggak butuh-butuh amat,” sambung pria yang masih aktif di Karang Taruna itu.
Sementara Dudin ingin mahasiswa KKN bisa membantu warga dalam mengatasi persoalan-persoalan serius nan fundamental. Misalnya, sampah dan ketersediaan air bersih yang memang menjadi persoalan serius di desa Dudin.
Maka, bagi Dudin, mahasiswa harus turut memikirkan cara agar dua masalah tersebut bisa teratasi. Tidak harus tuntas, tapi setidaknya ada upaya dan berdampak kecil pun tak masalah. Jangan hanya berkutat pada bikin les-lesan atau 17 Agustusan saja.
Output KKN perlu diubah
Saya lantas meminta pendapat dari seorang akademisi mantan dosen di kampus swasta Jogja, Vianto. Dengan cara pandang masyarakat terhadap mahasiswa KKN yang seperti di atas, apa KKN masih relevan?
“Kita bicara soal output. Kalau sekarang output-nya agar mahasiswa menyusun program KKN guna membantu warga desa, jadinya nggak relevan. Karena ternyata warga desa sudah bisa mandiri,” ujari Vianto, Senin (15/7/2024) pagi WIB.
Lebih-lebih, saat ini banyak KKN yang tidak sesuai sasaran. Harusnya menyasar daerah tertinggal, mahasiswa justru dikirim ke daerah-daerah yang sudah maju dan mandiri hanya karena faktor “sudah terjalin relasi”.
Dengan begitu, jika mahasiswa tidak bisa menyuguhkan hal baru bagi pengembangan desa, yang terjadi akan sama seperti di desa Rofal dan Dudin: warga muak karena mahasiswa KKN dianggap tidak mampu memberi solusi konkret atas suatu persoalan.
“KKN masih relevan jika paradigma output-nya diubah. Jadi bukan untuk membantu warga desa, tapi mahasiswa belajar ke warga desa tentang kompleksitas hidup di desa. Belajar bagaimana warga bertahan dan mengatasi suatu masalah,” jelas Vianto.
Output tersebut bagi Vianto lebih relevan dengan kondisi mahasiswa saat ini. Mengingat, tidak sedikit anak kampus yang ketika pulang ke kampung halaman justru gagap, bingung mau berbuat apa untuk desanya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.