Hidup Sebagai Alumni UNY Itu Berat, Menjadi Guru ataupun Bukan Tetap Sama Suramnya

uny, mahasiswa uny, alumni uny.MOJOK.CO

Ilustrasi - Hidup Sebagai Alumni UNY Itu Berat, Menjadi Guru ataupun Bukan Tetap Sama Suramnya (Mojok.co/Ega Fansuri)

Siapa bilang menjadi alumni UNY itu enak? Pertanyaan retoris itu muncul dari Salma (25), lulusan jurusan kependidikan di kampus biru tersebut, yang kini bekerja sebagai customer service sebuah startup di Jogja.

Pertanyaan tadi keluar di sela-sela obrolan kami yang membahas artikel di Mojok berjudul “Enaknya Jadi Alumni UNY: Nggak Ada yang Bisa Dibanggakan, Nggak Ada Beban”, yang tayang 1 Maret 2025 kemarin.

Salma sepakat, bagi sebagian besar orang, menjadi alumni UNY seolah hidup tanpa beban. Apalagi kalau perbandingannya adalah dengan alumni UGM.

“Kalau ngomongin ekspektasi, jelas beda sama lulusan UGM. Apalagi fakta kalau kebanyakan mahasiswa UNY adalah barisan sakit hati ditolak UGM,” guraunya, dalam perbincangan di warung kopi Jogja, Selasa (4/3/2025) malam.

Namun, ia juga tak bisa memungkiri, life after graduate dengan menyandang gelar sarjana dari UNY, adalah seberat-beratnya hidup. Mau itu bekerja menjadi guru–karena UNY kampus keguruan–maupun bukan.

“Benar sih nggak ada yang bisa dibanggakan. Tapi tetap mikul beban. Beban hidup setelah lulus kuliah,” imbuhnya.

Biaya kuliah di UNY makin tak masuk akal

Sebagai orang yang pernah kuliah di UNY, saya tahu betul betapa mahalnya kuliah di kampus ini. Dulu, ketika saya masih kuliah, Uang Kuliah Tunggal (UKT) UNY dibagi menjadi tujuh golongan. Paling murah Rp500 ribu per semester dan Rp5 jutaan bagi golongan teratas.

Sementara kini, setelah PTNBH, UNY menambah golongan UKT menjadi 10. Untuk golongan paling atas, range biaya berada di angka Rp7,5 sampai Rp9,6 juta. Uniknya lagi, UNY juga membuka program studi baru, S1 Kedokteran, yang memiliki UKT Rp30 juta–menukil Keputusan Rektor UNY Nomor 1.14/UN24/VI/2024.

Sialnya, di masa Salma menjadi mahasiswa baru pada 2019 lalu, kebijakan uang pangkal sudah ditetapkan bagi calon mahasiswa jalur Seleksi Mandiri. Klaim pihak kampus, uang pangkal ini sifatnya sukarela dan tidak memengaruhi kelulusan calon mahasiswa.

“Tapi mikir aja, secara psikis, kalau kebijakan begini diterapkan, camaba bakal tetap ngisi. Orang tuaku saja berpersepsi, ‘ngisi yang banyak, biar mudah lolosnya’,” jelasnya, dongkol.

Salma sendiri mendapat uang pangkal Rp10 juta untuk program studi yang pada 2019 lalu akreditasinya masih B. Sementara UKT-nya Rp3,6 juta per semester.

“Banyak teman-temanku yang juga mengisi uang pangkal besar karena takut nggak lolos, karena itu jalur terakhir. Bahkan ada yang Rp25 juta. Gila!”

Tapi… tak mendapatkan apa-apa di UNY

Sialnya, meskipun sudah kuliah mahal-mahal, ia tak mendapatkan banyak hal di kampus. Apalagi, kurang dari setahun kuliah, UNY “menutup pintu” karena pandemi Covid-19. Menurut Salma, saat itu mahasiswa seperti kuliah dengan autopilot.

“Kayak nggak diurus. Benar-benar kami menghidupi otak kami sendiri-sendiri,” jelasnya, masih dengan kedongkolan yang sama. “Apalagi saat itu rektornya sibuk kampanye mau jadi bupati. Makin nggak keurus mahasiswanya.”

Salma sendiri mengaku lebih banyak mendapatkan ilmu dari pergaulannya di luar UNY. Ia berjejaring di banyak komunitas, yang bergerak di bidang literasi maupun aktivisme sosial.

Baginya, tak ada kelegaan yang lebih melegakan ketimbang “keluar” dari UNY. Salma sendiri lulus dari kampus keguruan itu pada awal 2023 lalu dengan menyandang predikat cumlaude.

“Aku sendiri bingung. Rasanya nggak ngapa-ngapain, nggak diajarin apa-apa, tahu-tahu cumlaude. Kocak ‘kan?”

Kalau jadi guru, masa depan amat suram

Sudah menjadi rahasia umum kalau UNY punya julukan “kampus pencetak guru”. Ia menjadi jujugan bagi mahasiswa yang bercita-cita menjadi pengajar.

Sialnya, kalau bicara nasib guru, seolah tak ada berita baik hari ini. Semuanya serba suram. Mojok sendiri telah menulis banyak liputan seputar nelangsanya guru honorer di Indonesia.

Kebanyakan dari mereka mengalami hidup yang berat karena harus bertahan hidup dengan gaji rata-rata Rp300 ribu sebulan. Mojok juga pernah meliput kisah Hani (25), seorang guru honorer alumni jurusan PGSD UNY. 

Bagi Hani, PGSD adalah ironi di UNY. Ia menjadi salah satu jurusan dengan pendaftar terbanyak, tapi prospek kerjanya seret.

“Menjadi guru saja suram. Apalagi ini spesifik guru SD,” kata Hani kepada Mojok.

Reporter Mojok juga berbincang dengan Irvan Bukhori (25), alumni Ilmu Sejarah UNY yang rela…

Baca halaman selanjutnya.

Jadi guru suram. Tak jadi guru juga suram.

Reporter Mojok juga berbincang dengan Irvan Bukhori (25), alumni Ilmu Sejarah UNY yang rela mengambil sertifikasi guru lewat program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Ia ingin “melanjutkan” perjuangan ibunya yang merupakan guru di Semarang.

Namun, kenyataan yang harus dia hadapi amatlah rumit. Setelah berbulan-bulan mengajar anak SMA di Jogja, ia menyadari bahwa kebobrokan dunia pendidikan memang begitu sistematis. Bobrok di atas maupun di bawah, yang bakal bikin nasib guru honorer nggak kemana-mana.

Tidak menjadi guru pun tetap suram karena “kepentok” ijazah

Berbeda dengan Hani, Bukhori, dan sebagian besar alumni UNY, Salma memilih jalan berbeda. Ia memutuskan tidak berkarier menjadi guru karena berbagai alasan–termasuk memahami masa depan guru yang memang suram.

“Di tempat kerjaku, ada banyak lulusan UNY. Ada yang S.Pd [lulusan keguruan] ada juga yang nonguru. Sama kaya aku, semua kerja menjadi CS karena paham nggak ada masa depan sebagai guru,” ungkapnya.

Mojok juga pernah meliput kisah Rusi (25), lulusan kependidikan (S.Pd) UNY yang nekat merantau ke Jakarta. Naasnya, Rusi malah luntang-lantung di ibu kota. Banyak perusahaan menolaknya hanya karena ijazahnya S.Pd. Menurut yang ia pahami, gelar ini cukup sulit buat bersaing di dunia kerja.

Alhasil, ia pun harus menganggur enam bulan di Jakarta. Sekalinya dapat kerja, gajinya pun jauh di bawah UMR.

“Ya begitulah, yang aku pahami sarjana pendidikan itu sulit buat bersaing dengan sarjana nonpendidikan di dunia kerja,” kata Salma, menilai apa yang dialami Rusi. “Makanya, menjadi alumni UNY itu memang berat. Berat banget malah.”

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Kos Karangmalang, Rumah Para Aktivis yang Kini Jadi Tempat Mahasiswa UNY Menangis atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version