Skripsi garapannya pernah dilempar saat masih kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) karena dianggap “jelek”, Satria Gentur Pinandita (56) kini justru menjadi direktur sebuah perusahaan besar asal Jepang, Ajinomoto.
***
Satria, panggilan akrabnya, menjadi salah satu lulusan UGM yang kariernya terbilang moncer. Itu lah kenapa dia didapuk menjadi Ketua Umum Keluarga Alumni Gadjah Mada (KAGAMA) Jawa Timur periode 2024-2029.
Pengangkatan tersebut berlangsung melalui Musyawarah Daerah (Musda) KAGAMA Jawa Timur di AMG Tower, Surabaya, pada Sabtu (7/9/2024) lalu.
Satria saat ini menjabat sebagai Direktur & Deputi Factory Manager di sebuah perusahaan asal Jepang yang beroperasi di Indonesia, PT. Ajinomoto. Sebelum sampai ke titik seperti sekarang, Satria ternyata pernah agak “kesulitan” di masa kuliahnya di UGM.
Anak pedagang batik yang bermimpi besar hingga kuliah di UGM
Usut punya usut, Satria ternyata berasal dari keluarga biasa saja. Orang tuanya merupakan pedagang batik di Pasar Beringharjo, Jogja.
Keluarga Satria sebenarnya berasal dari Solo. Satria lahir di Solo pada 24 September 1968 (sebagai anak pertama dari dua bersaudara). Namun, sejak masa sekolah, dia dan keluarganya memang sudah pindah ke Jogja.
Meski berasal dari keluarga biasa saja, tapi Satria punya mimpi besar untuk masa depannya. Beruntung, orang tua mendukung Satria untuk mengenyam pendidikan hingga sampai ke perguruan tinggi: Satria menjadikan UGM sebagai kampus yang harus dia “taklukkan”.
“Saya dulu di UGM mengambil Teknologi Pangan (Fakultas Teknologi Pertanian). Tepatnya angkatan ‘87, dan lulus tahun ‘93. Baru setelah itu bekerja di Ajinomoto,” jelas Satria seperti termuat di laman resmi UGM.
Tak pintar-pintar amat di UGM hingga skripsinya dilempar dosen
Satria tak bisa menahan tawa saat mengingat masa-masa kuliahnya di UGM.
Satria mengaku, selama menjadi mahasiswa di UGM, dia sebenarnya bukan termasuk mahasiswa yang unggul dalam bidang akademik. Kalau pakai bahasa yang agak kasar ya tidak pintar-pintar amat lah.
Pengakuan Satria itu sudah cukup menjelaskan kenapa pada saat proses bimbingan skripsi, dosennya melempar skripsi garapannya di depan matanya langsung.
“Yo ternyata uwelek. Kok ngene ya garapanku dewe? (Ya ternyata jelek. Kok seperti ini ya kerjaanku sendiri?). Saya kira itu adalah pendidikan mental, bahwa kamu harus kuat,” ujar Satria sembari tertawa.
Kejadian itu tentu membuat Satria sempat sedih. Sebab, skripsi yang dia kerjakan dengan sungguh-sungguh malah dilempar-lempar begitu saja oleh dosen pembimbingnya.
Namun, dia menolak larut dalam kesedihan. Satria mencoba melihatnya dari sudut pandang lain: sebagai motivasi untuk terus belajar. Dan begitu lah yang kemudian Satria lakukan hingga akhirnya lulus dari UGM dan kemudian menjadi direktur di sebuah perusahaan Jepang (Ajinomoto).
Salah sangka pada perusahaan Jepang
Persinggungan Satria dengann perusahaan Jepang, Ajinomoto, pertama kali terjadi saat Satria masih menjadi mahasiswa aktif UGM. Suatu kali, prodinya mengadakan kunjungan ke Ajinomoto.
Di saat-saat itu, Satria tentu belum terbayang kelak bakal bekerja di perusahaan Jepang tersebut. Apalagi, Satria sempat menganggap bahwa produk MSG (Monosodium Glutamat) produksi Ajinomoto bukanlah produk sehat.
“Saya dulu menganggap produk ini tidak sehat. Ternyata salah, produk Ajinomoto itu berasal dari tetes tebu yang difermentasi,” jelasnya.
“Fungsi utama MSG adalah untuk meningkatkan cita rasa makanan dan menambah unsur umami. MSG juga salah satu bahan makanan tambahan yang paling aman dikonsumsi dan berizin,” sambungnya.
Bersih-bersih pabrik
Meski sempat salah paham terhadap Ajinomoto, takdir justru membawa Satria bekerja di perusahaan Jepang tersebut. Dia masuk ke sana bahkan langsung tak lama setelah lulus dari UGM. Usai bekerja di sana, baru lah Satria mengetahui hal-hal yang sebelumnya dia salah sangkai seperti yang dia di atas.
Akan tetapi, karier Satria di Ajinomoto tidak serta mulus mulus tanpa tantangan. Sebab, dia harus bekerja di bawah kultur perusahaan Jepang.
Misalnya, perusahaan Jepang seperti Ajinomoto menganut sistem Long Life Employment (pekerja jangka panjang). Perusahaan sangat menghargai loyalitas karyawan yang telah bekerja bertahun-tahun.
Ujian loyalitas. Itu lah yang Satria hadapi pada awal-awal kariernya di Ajinomoto. Ujian tersebut bentuknya macam-macam. Misalnya, Satria bahkan sempat ikut membersihkan pabrik ketika masa training. Tak hanya itu, dia juga harus terima saat diminta berpindah-pindah cabang perusahaan.
Ujian lain, setiap karyawan dilatih untuk memahami langsung kondisi lapangan, bahkan hingga tingkat manajerial.
“Saya dulu diajarkan untuk tidak malu-malu terjun ke bawah. Justru kalau kita tidak mengenal lapangan, ada laporan masuk kita tidak paham,” tutur Satria.
Lewati ujian, jadi direktur perusahaan Jepang
Lebih lanjut, perusahaan Jepang cenderung menerapkan kerja berbasis kelompok. Setiap pekerjaan diserahkan pada kelompok kerja dan dinilai sebagai hasil kelompok. Ada beberapa orang yang cocok dengan sistem kerja seperti ini. Namun, ada juga yang lebih cocok di perusahaan Eropa dan Amerika yang cenderung mengacu pada kompetensi individu.
“Hampir seluruh perusahaan Jepang seperti itu. Penting juga untuk memperhatikan adaptabilitas perusahaan, karena zaman cepat berubah. Bukan perusahaan kuat yang bertahan, tapi perusahaan adaptif,” jelas Satria.
Karena pada dasarnya Satria adalah pekerja keras, dia pun “lulus” dari ujian-ujian loyalitas tersebut. Perlahan tapi pasti, karena ketekunan dan kedisiplin, kariernya terus naik hingga kini menduduki posisi sentral di perusahaan Jepang, Ajinomoto, tersebut.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Lulusan D3 Selalu Diremehkan di Dunia Kerja, Didiskriminasi Sampai Ditolak Perusahaan 100 Kali
Ikuti artikel dan berita MOJOK lainnya di Google News