Barangkali karena label “Islam”, mahasiswa/mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) kerap kali dianggap berkarakter agamis. Bukan dari sekadar pakaian, tapi juga laku hidup. Namun, menariknya, banyak warganet merasa kaget dengan dua kepribadian mahasiswa UIN. Di kampus memang terlihat agamis. Tapi di luar itu, belum tentu. Malah menunjukkan keliaran seperti open BO yang sampai bikin kaget mahasiswa tanpa latar belakang keagamaan kuat sekalipun.
***
Akun Instagram @dlanfadhlan banjir komentar usai mengunggah “wanti-wanti”-nya agar tidak salah sangka dengan mahasiswa UIN. Warganet yang berkomentar ternyata banyak yang mengamini.
Warganet mengaku, di lingkungan mereka, kerap melihat mahasiswi UIN yang saat di kampus tampak salehah. Tapi di luar, si mahasiswa/mahasiswi bisa berubah sama sekali menjadi sosok “solehot” (sebagai gambaran keliaran).
Beberapa bahkan mengaku tersindir. Karena memang demikian adanya: menjadi berbeda sama sekali antara di kampus dan di pergaulan (tongkrongan).
Lihat postingan ini di Instagram
Mahasiswa UIN tapi tak segan tidur bareng pacar
Bukan rahasia umum di kampus Garin (24), bukan nama sebenarnya, kalau mahasiswa UIN bisa memiliki pergaulan sangat bebas. Garin mengaku, sejumlah teman laki-lakinya bisa bercerita dengan leluasa kalau mereka kerap styacation bareng pacar dan melakukan aktivitas-aktivitas yang menabrak norma (agama-sosial).
“Uniknya memang, baik laki-laki maupun perempuannya tampak agamis di kampus. Tergabung di organisasi berbasis Islam. Di kelas juga fasih bicara soal narasi keagamaan,” ungkap Garin, Minggu (12/10/2025).
Kalau para perempuan, kata Garin, memang berpakaian serba tertutup dengan gamis. Tampak menjaga diri juga karena lebih sering kumpul dengan sesama perempuan ketimbang laki-laki.
“Menariknya, kebanyakan yang begitu alumni pesantren. Walaupun ada juga yang si cowok pesantren, si cewek bukan, atau sebaliknya,” ujar Garin.
Garin yang bukan merupakan alumni pesantren mengaku kaget. Pasalnya, selama ini dia mengira kalau anak-anak pesantren punya benteng pertahanan kuat atas dirinya sendiri. Tapi ternyata bisa jebol juga karena pergaulan kota besar.
“Kagat juga. Misalnya temen-temen cowok yang alumni pesantren dan gabung organisasi Islam. Kalau omong transendental terus. Tapi ternyata meninggalkan salat atau mokel pas puasa Ramadan itu biasa,” sambung Garin.
Rahasia umum di jagat open BO
Garin membenarkan bahwa di sejumlah UIN, ada mahasiswa/mahasiswi yang menjadi pengguna jasa open BO/penyedia jasanya.
Mojok berbincang dengan Anima (25), alumni UIN yang dulu kerap mencicipi dunia malam tersebut.
Anima bukan dari pesantren—sebagaimana kebanyakan mahasiswa UIN. Hanya memang dia tumbuh di lingkungan keluarga yang terbilang agamis. Ketat pula dalam urusan pergaulan.
Awal-awal kuliah pun Anima mencoba manjaga diri baik-baik. Sampai akhirnya dia mengenal layanan open BO.
“Ibadah tetep, salat, puasa. Tapi memang kalau malam online di aplikasi hijau. Aku nggak mungkin minta uang ke orangtua misalnya buat skincare dan lain-lain. Uang dari open BO itu ya buat beli barang-barang itu, iPhone dan lain-lain,” katanya.
“Bisa kasih orangtua juga. Bilangnya aku kuliah sambil kerja,” sambungnya.
Lambat-laun, Anima bahkan tahu, ternyata dia tidak sendiri. Ada juga mahasiswi UIN lain yang menjadi penyedia jasa open BO. Yang dia kaget, beberapa ternyata dulunya anak pesantren.
“Aku sejak lulus kuliah sudah berhenti, sudah ada pekerjaan lain. Aku masih menjaga penampilan, hijab dan tertutup. Tapi ada anak pesantren yang sekarang jadi lepas semua, serba terbuka, dan masih ada di dunia itu (open BO),” begitu pengakuan Anima.
Mahasiswa UIN hanya identitas akademik
Garin menyebut, mahasiswa/mahasiswi UIN sekalinya saleh memang bisa saleh banget. Tapi kalau sudah terjerumus, bisa terjerumus sedalam-dalamnya.
Dulu dia bisa melihat sendiri, sepasang mahasiswa UIN ternyata bisa sangat leluasa boncengan sambil berpelukan. Pacaran di tempat gelap juga biasa. Berkontak fisik—yang bukan sekadar salaman—juga tampak lumrah.
Merespons pengakuan Garin dan akun Instagram @dlanfadhlan, Zein (23) dan Arin (23)—mahasiswa akhir UIN—mencoba memberi penjelasan.
Bagi keduanya, tidak seharusnya mahasiswa UIN dibebani label “agamis” hanya karena kata “Islam”. Sebab, tidak dimungkiri, tidak seluruhnya mahasiswa UIN itu berangkat dari pesantren atau minimal latar belakang keluarga agamis. Heterogen.
“Cara pandangnya, UIN itu hanya identitas akademik. Urusan kepribadian seseorang nggak ada hubungannya dengan itu. Itu pilihan dan cara hidup personal,” tegas Zein dari sudut pandang laki-laki.
“Kalau aku begini, kasus semacam itu kan sebenarnya bisa juga ditemui di kampus lain non-UIN. Cuma, itu menjadi heboh karena label “UIN”. Padahal sebenarnya sama saja di kampus-kampus umum,” kata Arin dari sudut pandang perempuan.
Apalagi jika yang dipermasalahakan adalah soal outfit: di kampus salehah, di luar salehot. Bagi Zein dan Arin, itu adalah ekspersi berpakaian saja. Justru sudah tepat: Pilihan pakaian tertutup ya saat di kampus karena azas kesantunan. Sementara pakaian terbuka dipakai di luar kampus karena sudah lepas dari ikatan kesantunan kampus.
Justru menjadi masalah ketika berpakaian terbukanya saat di kampus. Toh, paling tidak banyak yang bisa menempatkan diri: Kalau mau bermesraan dengan pacar ya di jam-jam di luar perkuliahan.
Menebus kebebasan (1)
Kala pertama kuliah di UIN, Puspa (22), nama samaran, mengaku agak kagok. Pasalnya, dia melihat dua kutub yang bisa berseberangan sama sekali. Satu kutub agamis ketat, satu kutubnya lagi cenderung bebas.
Momen kuliah itu pada akhirnya menjadi momen Puspa berani tampil berbeda atas pilihannya sendiri: Lepas hijab di tongkrongan dan tak terlalu risih berkontak fisik dengan lawan jenis (pacarnya).
“Termasuk pacaran, ternyata bisa bebas dijemput dan boncengan. Dulu di pondok, rasanya terkekang di sisi itu,” ujar Puspa.
“Sesekali buka hijab pas nongkrong itu karena suatu kali aku bercermin. Ternyata kalau tanpa hijab dan ganti style yang nggak serba tertutup, aku merasa lebih cantik,” sambungnya.
Kendati begitu, Puspa memagari dirinya untuk setidaknya dua hal. Pertama, terbuka bukan berarti bisa bergaul sebebas-bebasnya hingga berbuat zina. Kedua, dia tetap menjaga ketaatan dalam perkara-perkara wajib seperti salat, puasa Ramadan, dan lain-lain.
Menebus kebebasan (2)
Fahri (23), nama samaran, pun nyaris serupa. Dulu di pesantren dia mengaku segalanya bersifat dogmatis. Dia tidak punya ruang untuk mempertanyakan banyak hal, termasuk menguliti eksistensi diri sendiri.
Alhasil, ketika kuliah, walaupun menjadi mahasiswa UIN, dia merasa bisa menebus kebebasan. Bagi Fahri, zaman sudah berubah. Ada hal-hal yang dianggap tak wajar di pesantren tapi kenyataannya biasa saja di perkotaan.
“Misalnya, pelukan dengan lawan jenis. Ternyata di kota biasa saja,” katanya.
“Kalau candaan anak pesantren, misalnya dosa, ya nggap apa-apa, kan sudah tahu caranya taubat hahaha,” lanjutnya dengan gelak tawa.
Tapi intinya, bagi Fahri, urusan moralitas harusnya jadi urusan personal nantinya dengan Tuhan. Karena menjadi bebas adalah pilihan.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Kuliah UIN: Awalnya Merasa Keren Pinter Teori, Lulus Baru Nyesel karena Nol Keterampilan Kerja hingga Usul Jurusan UIN yang Baiknya Dihapus Saja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












