Merasa salah jurusan, pengin kuliah Matematika saja
Memasuki semester 3-4, Ifansyah bahkan mengaku nyaris menyerah. Dia merasa salah jurusan.
Sebab, bagaimanapun, minat awalnya adalah kuliah di jurusan Matematika. Tapi dorongan guru BK membuatnya “terjebak” di Teknik Sipil. Memang terasa keren, tapi kini justru membuatnya merasa repot sendiri.
“Kadang berandai-andai, seandainya dulu pilih Matematika aja,” gerutu Ifansyah.
Sialnya, waktu tidak bisa diputar. Sementara dia tidak mungkin berhenti di tengah jalan karena sudah terlanjur keluar banyak uang.
Sering dalam pengandaian itu, dia terngiang-ngiang dengan gambaran bahwa jurusan Matematika hanya akan membuatnya lebih susah setelah lulus. Karena paling mentok hanya menjadi guru.
“Alih-alih membuatku tetap bersyukur karena bisa kuliah Teknik Sipil, pengandaian itu malah membuatku semakin nyesel. Sebab, kalau baca-baca, sebenarnya jurusan Matematika juga punya prospek kerja banyak. Data Analyst misalnya, dan lain-lain,” ungkap Ifansyah.
Perasaan sesalnya tak mengikuti kata hati mengambil Matematika pun akhirnya semakin menjadi-jadi.
“Apalagi pas baca Mojok, ternyata kuliah jurusan bergengsipun nggak menjamin lulus kerja yang bergengsi juga kan,” sambungnya dengan tawa.
Rasa bersalah pada orangtua karena UKT
Di antara sesal-sesal itu, Ifansyah juga menyimpan rasa bersalah yang mendalam pada orangtuanya. Sebab, UKT yang harus dibayarkan orangtuanya untuk jurusan Teknik Sipil tersebut amat sangat mahal untuk kedua orangtuanya yang berprofesi sebagai guru: berkisar Rp4 jutaan.
“Yang PNS kan cuma bapak, ibu masih honorer. Jadi bener-bener merasa bersalah sama mereka. Karena kelihatan betul kayak susah payah membiayai kuliahku,” ungkap Ifansyah.
Apalagi biaya kuliah bukan hanya soal UKT, tapi juga biaya hidup bulanan di perantauan. Belum biaya-biaya lain yang berhubungan dengan perkuliahan Ifansyah di Teknik Sipil.
“Aku tahu mereka kesusahan karena kadang ada momen mereka cuma bisa kirim uang bulanan lebih sedikit dari biasanya. Itu sambil menjelaskan, maaf ya Kak segini dulu baru bisa dikirim. Nanti kalau nggak cukup bilang biar Bapak usahakan,” kata Ifansyah. “Nelangsa hatiku mendengar itu.”
Termasuk ketika jelang membayar UKT tiap semester di jurusan Teknik Sipil itu. Ibu Ifansyah sering semaya: “Kak, kalau bayarnya agak telat nggak apa-apa kan? Batasnya tanggal berapa? Sebelum batas pembayaran itu nanti biar Bapak bayar.”
Hingga kini menjelang semester 5, Ifansyah sebenarnya masih mencoba mencari-cari beasiswa, setelah sebelumnya mendaftar dan gagal.
Kalau untuk kuliah sambil kerja, Ifansyah memilih menuruti saran orangtuanya agar Ifansyah fokus kuliah saja. Kalau sambil kerja takutnya malah kuliahnya jadi berantakan.
Alhasil, kini dia masih sepenuhnya bergantung pada biaya orangtua. Sambil sesekali meratapi, kenapa dulu hanya fokus konsultasi ke guru BK tapi tidak mempertimbangkan kemampuan ekonomi orangtua juga?
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Demi Turuti Anak Jadi Sarjana Orangtua Rela Hidup dalam Pura-pura, Pura-pura Sanggup Bayar UKT dan Sembunyikan Banyak Kepedihan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












