Pada kenyataanya, akreditasi jurusan memang sangat menentukan nasib seseorang saat masuk bursa kerja. Menyandang gelar sebagai Sarjana Teknik Informatika (TI) maupun Sarjana Kedokteran, tapi jurusannya masih akreditasi C, ijazahnya hanya akan dipandang sepele oleh HRD.
***
Dalam menentukan tempat kuliah, ada banyak hal yang kudu dipertimbangkan. Baik itu jurusan, kampus, lengkap dengan akreditasinya. Salah-salah, malah penyesalan yang didapat.
Ada beberapa mahasiswa memilih kuliah karena pertimbangan kampus. Persetan dengan prestise jurusan, yang penting kuliah di kampus top.Â
Namun, tak sedikit juga yang memilih sebaliknya. Bagi yang memilih jalan ini, mereka beranggapan lebih baik masuk ke jurusan yang populer, meski nama besar kampusnya biasa-biasa saja.
Mojok sendiri mewawancarai sarjana yang kuliah di jurusan elite, tapi akreditasinya C. Mereka pun menyesal karena di dunia kerja, ijazah mereka sama sekali tak berguna.
Jurusan elite yang dimaksud sendiri adalah jurusan-jurusan yang tiap tahunnya punya banyak peminat, tingkat ketetatan tinggi, dan mata kuliahnya sulit. Bahkan, salah satu narasumber Mojok merupakan lulusan kedokteran PTN.
Gagal SNBT, malah ketipu akreditasi
Pengalaman tak mengenakan soal kuliah di jurusan akreditasi C diceritakan oleh Wahyu* (24). Ia merupakan mahasiswa Teknik Informatika (TI) di salah satu PTS Semarang yang baru lulus pertengahan 2023 lalu.
Perjalanan Wahyu buat masuk kampus ini sebenarnya cukup panjang. Pada SNBT 2019 (dulu SBMPTN) lalu, ia sebenarnya mengincar jurusan TI di beberapa PTN. Sayangnya, usahanya belum menemui hasil.
Karena tak mau gap year, dia pun memutuskan mendaftar jurusan TI di PTS Semarang, karena dekat dengan tempat tinggalnya, Salatiga. “Selain dekat, kalau dibanding PTS-PTS di Jogja, jurusan TI di sini biayanya lebih murah,” kenang Wahyu, Selasa (18/6/2024).
Sebelum mendaftar di PTS tersebut, Wahyu juga sudah memastikan beberapa kali ke admin kampus mengenai akreditasi jurusan. Namun, jawaban admin sangat belibet. Katanya, admin terus menyinggung kampus yang berakreditasi B tanpa pernah menjelaskan akreditasi jurusan TI.
Karena sudah mepet dengan batas pendaftaran, Wahyu pun tak mau ambil pusing. Sayangnya, ketika dia sudah punya akses di PDDikti, ia baru tahu kalau jurusannya ternyata akreditasi C.
“Ya bagaimana, admin tak pernah berterus terang dan jujur merasa ketipu. Tapi waktu itu mikir, ah yaudah yang penting kuliah,” jelasnya.
Kuliah plonga-plongo kayak bukan kampus
Satu semester kuliah di PTS tersebut, Wahyu masih merasa baik-baik saja. Pikirnya kala itu, “nggak ada bedanya kuliah di sini dengan kampus lain”.
Namun, perbedaan kualitas baru terasa saat memasuki pandemi Covid-19. Di saat banyak kampus, bahkan jurusan lain di kampusnya, sudah menemukan cara buat kuliah jarak-jauh, di jurusannya masih ketinggalan.
“Nggak ada zoom atau apa, diskusi kelas itu pakai grup WA karena dosennya gaptek semua. Padahal kami ini TI lho,” jelasnya. “Kami baru ada zoom itu semester 3, itu pun plonga-plongo aja nggak ngerti arahnya mau bagaimana.”
Wahyu menyontohkan, untuk mata kuliah 2 SKS yang harusnya ada 16 pertemuan, hanya dilakukan selama dua minggu. “Bayangkan saja, kita dua minggu cuma ada 2 pertemuan. Sisanya kita cuma disuruh bikin artikel mengenai topik tertentu di sisa pertemuan,” ungkapnya, kesal.
Baca halaman selanjutnya…