Roni (28) pernah berkeinginan menjadi dokter spesialis. Makanya, setelah menyelesaikan kuliah kedokterannya, ia kemudian mendaftar ke Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di salah satu PTN elite. Sayangnya, Roni ditolak mentah-mentah. Alasan utamanya karena jurusan kedokteran tempatnya berkuliah masih akreditasi C saat ia lulus.
Roni sendiri merupakan mahasiswa kedokteran di salah satu PTN. Ia lolos melalui jalur SNBT (dulu SBMPTN) pada 2014 lalu. Jurusan Kedokteran, saat itu, memang menjadi jurusan anyar di kampusnya. Usianya baru sekitar 2-3 tahun. Hingga menyelesaikan pendidikan profesi dokternya pada 2021, akreditasi jurusannya pun masih C.
“Waktu mendaftar [PPDS], di syaratnya itu kalau sarjana kedokteran minimal harus IPK 2,75 buat FK yang akreditasi A dan IPK 3,00 buat FK yang akreditasinya masih B,” jelas lelaki asal Surabaya yang kini berdomisili di Solo, kepada Mojok, Selasa (2/4/2024).
“Aku sempat bingung sebentar, ‘lantas, bagaimana dengan yang akreditasinya masih C?, jangan-jangan enggak diperhitungkan’. Tapi aku gas-gas saja,” ia melanjutkan.
Ternyata kekhawatirannya itu terjadi: Roni tak diterima. Ia gagal pada seleksi administrasi. Hal tersebut jelas membuatnya kecewa karena waktu dan biaya tak sedikit telah ia habiskan untuk kuliah kedokteran. “Ya gimana enggak sakit hati, ditolak karena akreditasinya C,” tegasnya.
Kampus top memang menolak lulusan kedokteran akreditasi C untuk daftar PPDS
Beberapa kampus top sebenarnya telah menghapus persyaratan yang mencantumkan batas minimum akreditasi jurusan kedokteran bagi para pendaftar PPDS. PTN elite seperti Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Padjadjaran (Unpad), hingga Universitas Hassanudin (Unhas) adalah beberapa di antaranya.
Bahkan, Universitas Gadjah Mada (UGM) juga telah menghapus kebijakan tersebut beberapa tahun ke belakang ini. Kampus terbaik di Jogja ini hanya memberikan syarat IPK minimun yang berbeda bagi tiap pendaftar pada masing-masing akreditasi.
Melansir laman resmi ppds.fk.ugm.ac.id, untuk lulusan jurusan kedokteran akreditasi A, misalnya, UGM memberi ambang batas IPK minimal 2,50. Adapun bagi lulusan kedokteran akreditasi B, IPK minimum yang diminta lebih tinggi, yakni 2,75. Sementara bagi yang akreditasi C, batas miminal IPK mereka harus 3,00.
Kendati demikian, memang ada beberapa PTN top yang masih menolak mahasiswa kedokteran yang ketika lulus jurusan mereka masih akreditasi C. Salah satunya Universitas Brawijaya (UB).
Melalui laman pendaftaran dan pemberkasan PPDS UB, kampus asal Malang ini menyebut kalau mereka hanya menerima ijazah/sertifikat profesi dokter dengan akreditasi paling rendah B. UB juga membedakan ambang batas IPK bagi para pendaftarnya. Bagi lulusan kedokteran akreditasi A, IPK minimum yang diminta adalah 2,75. Sedangkan yang akreditasi B yakni 3,00.
Selain UB, PTN lain yang menolak lulusan kedokteran akreditasi C adalah Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Bersyukur karena merasa terhindar dari ‘perbudakan’ masa pandemi Covid-19
Roni jelas kecewa dengan kegagalannya masuk PPDS. Bahkan, ia beberapa kali sempat mengutarakan protesnya di media sosial dengan menyebut kebijakan ini amat diskriminatif. Bagaimana tidak, menurut lulusan kedokteran ini, dokter spesialis di Indonesia masih sangat sedikit, sementara untuk mengikuti pendidikannya saja malah dipersulit.
Tapi di sisi lain, narasumber Mojok yang uneg-unegnya pernah saya tulis dalam liputan “Cerita Mahasiswa Kedokteran Surabaya Lulus Kuliah Enggak Jadi Apa-apa, Susah Kerja Karena Akreditasi Jurusan C” ini mengaku juga bersyukur atas kegagalannya itu.
Pasalnya, ia tahu kalau pada 2021 lalu, saat pandemi Covid-19 begitu parah menginfeksi masyarakat Indonesia, banyak peserta PPDS yang pada akhirnya menjadi “korban”.
“Banyak temanku yang lagi PPDS pada cerita kalau mereka dieksploitasi atas nama pendidikan. Banyak yang jadi tenaga kerja pada akhirnya, padahal statusnya kan peserta didik,” jelas Roni, saat kembali Mojok hubungi Minggu (7/4/2024). “Mereka jadi orang-orang yang rentan. Bahkan pada mengeluh kalau itu ibarat perbudakan,” sambungnya.
Per survei PB IDI pada Agustus 2020 lalu saja (saat awal pandemi), dari 7.800 responden peserta PPDS, 978 di antaranya mengaku tertular Covid-19. Selain itu, sebanyak 62,9 responden mengaku APD yang mereka kenakan berasal dari donatur atau usaha sendiri. 31 persen di antaranya bahkan tak pernah mendapatkan fasilitas swab PCR.
Jumlah tersebut bisa jadi lebih besar karena selama dua tahun berikutnya, pandemi di Indonesia terus memburuk. Maka, tak heran muncul kasus mahasiswa PPDS UNAIR meninggal dunia karena Covid-19.
Merasa tak rugi kuliah kedokteran, hanya menyesal karena akreditasi C
Merasa hilang semangat menggeluti dunia medis, Roni banting stir menjadi pengusaha. Sejak beberapa bulan ke belakang, ia sibuk mengelola usaha cuci sepatu di kota asalnya, Surabaya. Ia mengaku terinspirasi bisnis ini dari dr. Tirta.
Kendati gagal mewujudkan keinginannya, Roni mengaku tak ada sesal. Hanya saja, pada akhirnya memang ada kekesalan karena jurusan kedokteran di kampusnya masih akreditasi C.
“Aku enggak menyesal pernah punya cita-cita jadi dokter, meski akhirnya kehilangan gairah. Aku juga enggak menyesal lama kuliah kedokteran,” tegasnya. “Cuma yang masih sedikit mengganjal, ketidaktahuanku milih jurusan yang akreditasinya masih C. Kalau aku tahu, mungkin jalan hidupku beda dengan yang sekarang,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News