Sebelum berangkat saja ke Iran, sudah banyak tentangan yang didapat dari orang sekitar. Utamanya, karena mayoritas penduduk negara itu Syiah. Namun, lelaki asal Surabaya justru membuktikan bahwa anggapan banyak orang tentang Iran tak semuanya benar.
***
Syahrul Ramadan (29), sudah setahun setengah tinggal di Tehran, ibukota Iran. Lelaki asal Surabaya ini menemukan banyak hal yang mematahkan ekspektasinya.
Meski berada di antara negara-negara yang berkonflik, selama tinggal di Tehran ia mengaku tak pernah merasakan ketegangan. Kota itu, baginya punya infrastruktur yang menarik. Pembangunan ada di mana-mana. Taman di berbagai sudut kota.
“Intinya, walaupun dibilang diembargo sama Amerika, ternyata kok maju begini. Fasilitas publiknya juga memadahi,” tuturnya saat Mojok wawancarai Selasa (30/4/2024).
Keputusan merantau tinggalkan seorang anak dan istri ini ia ambil dengan pertimbangan panjang. Sejak masih duduk di bangku SMA berbasis pesantren Muhammadiyah, ia mengaku sudah membaca sejumlah karangan tokoh dari Iran.
“Aku baca beberapa karya Ali Syariati, tokoh revolusi Islam di Iran. Menariknya, ada bukunya dengan pengantar dari Amien Rais yang tokoh Muhammadiyah,” katanya antusias.
Ketika kemudian lanjut berkuliah di UIN Surabaya, lebih banyak lagi buku pemikiran Ali Sariati dan tokoh Islam Iran lain yang ia baca. Ketertarikannya untuk menempuh studi di sana kemudian muncul.
Ia sempat terpikir untuk mencari beasiswa S2 kuliah di Iran. Namun, mengingat masih banyak urusan organisasi dan kerja di Surabaya ia memutuskan untuk menundanya. Syahrul kemudian lanjut S2 di dua kampus sekaligus yakni di UIN Sunan Ampel Surabaya dan Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Namun, keinginan untuk kuliah di Iran itu memang tak banyak ia bicarakan ke orang sekitar. Sebab, Iran, bagi banyak kalangan Islam merupakan negara yang tabu. Memilih studi di sana yang Islamnya berbasis Syiah dianggap tak wajar.
Banyak yang menentang saat hendak berangkat dari Surabaya menuju Iran
Pada Agustus 2020 silam, akhirnya Syahrul menuntaskan S2. Selepas itu, ia mulai mencari beasiswa doktoral di Iran.
Selama sedang mempersiapkan beasiswa, ia meminta izin ke istrinya, yang beruntungnya memang terbuka dan mengerti cita-cita besar sang suami. Namun, kepada kedua orang tuanya, Syahrul tidak meminta izin dahulu sebelum diterima.
“Akhirnya sampai dapat beasiswa di Mustafa Intertional Univeristy studinya Pemikiran Islam,” ucapnya.
Bapaknya, meski agak berat tetap memberikan restu. Sementara ibunya, sempat berharap Syahrul mengurungkan niatnya kuliah di Iran. Bukan karena melarang studi ke luar negeri tapi lebih ke negara yang ia pilih. Stigma tentang Iran memang banyak dirasakan orang Indonesia. Kebetulan, kedua orang tua Syahrul juga aktif di organisasi Muhammadiyah.
“Akhirnya, aku mencoba meyakinkan orang tuaku dengan cara meminta restu ke beberapa tokoh Muhammadiyah. Jika tokoh-tokoh ini tidak memberikan respons positif, maka orang tuaku akan ngikut,” kenangnya.
Syahrul lalu menghubungi beberapa tokoh Muhammadiyah seperti Prof Syafiq Mugnif hingga Prof Din Syamsyudin. Semuanya, menurut Syahrul, memberikan respons positif. Sudah jarang, ada kader Muhammadiyah yang studi di Iran.
“Meski begitu, pas cerita ke beberapa teman, mereka pada kaget. Ya ada juga yang tanya ‘mau cari apa di Iran’,” kata Syahrul.
Bagi teman-teman yang sekadar nyeletuk saja, ia akan menjawab ala kadarnya. Jelas, ia ingin studi. Namun ia akan berkelakar, “mau cari kopi enak” hingga “mau cari hiburan”. Tetapi, bagi teman-teman yang memang ingin diskusi, ia terbuka untuk memberikan jawaban panjang lebar.
Upaya mematah stigma banyak orang dengan kuliah di Iran
Bagi mereka yang meragukan, lelaki asal Surabaya ini justru ingin membuktikan bahwa sepulang dari Iran ideologinya tak berubah. Tidak lantas menjadi Syiah walaupun tentu akan mempelajarinya di dalam perkuliahan.
Setelah setahunan di sana, nyatanya ia justru mengaku kecewa. “Kecewa karena tidak ada doktrin Syiah yang aku rasakan. Memang, saat diskusi ada pemaparan soal bagaimana pandangan ulama Syiah mengenai suatu hal, tapi hal semacam itu lumrah di berbagai kampus,” paparnya.
Sebelum berangkat, ia sering membaca tulisan di internet yang menyatakan orang Sunni kerap dapat diskriminasi selama di Iran. Sejauh ia berkuliah di sana, tak ada pengalaman maupun menyaksikan situasi semacam itu.
Di Tehran, ia juga masih bisa menemukan masjid berbasi Sunni. Bahkan, Syahrul kemudian menjadi Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Iran.
“Aku sering ketemu dosen dan memperkenalkan latarbelakangku sebagai orang Muhammadiyah dari Indonesia. Mereka senang bahkan sering membantu,” katanya.
Ia mendapati berbagai aliran Islam dan agama lain bisa hidup berdampingan dengan masyarakat Syiah Iran. Di sana juga ada sinagog berdiri, padahal, Iran merupakan salah satu pengecam terdepan Israel.
Cukup hidup bermodalkan 500 ribu per bulan
Selain itu, hal yang membuatnya kerasan adalah biaya hidup yang relatif terjangkau. Beasiswa selama kuliah di Iran yang Syahrul dapat mencakup biaya pendidikan, fasilitas asrama, dan uang saku bulanan sebesar 15 juta Rial Iran atau 1,5 juta Toman. Nominal tersebut setara dengan Rp580 ribu kurs terkini.
Jumlah yang terbilang sangat sedikit untuk hidup sebagai mahasiswa di Indonesia sebulan. Namun, menurut Syahrul uang itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Di sini biaya kebutuhan hidup murah. Mungkin karena kemandirian negaranya, mengingat situasi embargo Amerika Serikat,” katanya.
Kehidupan di Tehran, Iran menurut perantau asal Surabaya ini memudahkannya sebagai orang asing. Infrastruktur transportasi mulai dari kereta bawah tanah hingga bus kota cukup memadahi meski kebanyakan orang menggunakan mobil pribadi.
Oh iya, itu jadi salah satu hal menarik yang ia temui. Di mana-mana orang punya mobil pribadi. Bahkan, ketika berinteraksi dengan seorang satpam, ternyata penjaga kampusnya itu kemana-mana menggunakan mobil pribadi.
Setahunan tinggal di Iran, membuatnya nyaman. Di sana, selain Syahrul, ada lebih dari seratus mahasiswa asal Indonesia yang tersebar di beberapa kota seperti Tehran dan Qom.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.