Beberapa dosen Universitas Negeri Malang (UM Malang) mengeluhkan beban berat yang ditimpakan kampus terhadap mereka. Di sisi lain, ada banyak skema pemotongan pendapatan yang bagi mereka bisa memengaruhi kualitas pembelajaran mahasiswa.
***
Tamara* sudah belasan tahun mengajar di UM Malang. Selain mengajar, ia banyak terlibat di tim khusus untuk berbagai program dan kegiatan kampus. Kesibukan ini membuatnya kadang berangkat pagi pulang malam meski buah hati di rumah menanti.
Awalnya, ia masih menganggap itu bagian dari tugas dan kewajibannya sebagai dosen. Apalagi, meski mengaku tidak pernah memperhitungkan detailnya, masih ada mekanisme pemberian kompensasi yang jelas untuk berbagai kegiatannya di luar Beban Kinerja Dosen (BKD).
Namun, sejak UM menyandang predikat Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) berdasarkan Peraturan Pemerintah No.115 Tahun 2021 ia merasa banyak hal yang berubah. Utamanya soal hak-hak mereka berupa remunerasi dari kerja di luar beban utama.
“Dulu itu sebetulnya nggak ada yang namanya remunerasi. Dulu selesai, surat tugasnya kami kumpulkan, langsung dibayar,” ungkapnya kepada Mojok Rabu (24/1/2024).
Tamara misalnya, mendapat tugas terlibat dalam dua jabatan proyek internal di UM Malang terkait pelayanan mahasiswa. Posisinya di kegiatan tersebut cukup penting karena kompetensinya berkaitan dengan layanan khusus kepada mahasiswa.
“Intinya, hanya ada satu orang dengan kompetensi tersebut di dalam pengurusan program,” katanya.
Kompensasi atas keikutsertaan tersebut umumnya pembayarannya per enam bulan. Namun, pada 2023 lalu polanya berubah. Pada Juli, ia hanya mendapat kompensasi untuk satu kepengurusannya. Selanjutnya, pada Desember hal serupa kembali terjadi.
“Padahal kita kerjanya di dua program. Jumlahnya nggak terlalu banyak, tapi terasa lah kalau pendapatan hampir Rp2 juta untuk kerja enam bulan tidak terbayar,” keluhnya.
Dosen UM mengajar sampai 30 SKS tapi pendapatan tertahan 30%
Untuk keterlibatan pada satu program itu, per enam bulan ia mendapat honor Rp1,8 juta yang artinya Rp300 ribu per bulan. Tamara mengaku untuk tugas-tugas lain yang nominalnya lebih kecil ia sering tidak memperhitungkan.
“Kami sudah biasa, jadi juri kompetisi di kampus dan berbagai pendampingan, itu tidak ada perhitungannya. Kalau dihitung pun Rp100-200 ribu. Itu tidak jadi soal,” paparnya.
Ia mengungkapkan sudah melayangkan protes ke pimpinan. Namun, tidak ada solusi untuk hak yang seharusnya ia dapat.
“Kerja sampai jam 9 malam baru pulang meski aku punya anak dan keluarga. Sebenarnya saya senang dengan kerjaan ini. Tapi sewajarnya kan ada hak yang harus kami dapat,” tegasnya.
Stovia*, dosen UM Malang lain juga mengeluhkan persoalan tuntutan melampaui batas yang tidak sejalan dengan pemenuhan hak-haknya. Ia mengaku pernah mengajar sampai 30 SKS dalam satu semester.
“Bayangkan 30 SKS itu dengan sekitar lima mata kuliah berbeda. Menyiapkan lima mata kuliah itu berat,” keluhnya.
Jika menilik aturan Kemendikbudristek, batas rentang beban SKS paling sedikit 12 SKS dan paling banyak 16 SKS pada setiap semester sesuai dengan kualifikasi akademik dosen. Padahal, itu sudah termasuk kewajiban dosen di luar pengajaran yang mencakup pengabdian masyarakat dan penelitian.
Beban bertambah banyak, akan tetapi Stovia mengeluhkan tidak ada kompensasi setimpal. Ia menuturkan, UM mengeluarkan kebijakan remunerisasi untuk kelebihan jam mengajar hanya dibayarkan 70% dari hak dosen. Untuk mencairkan sisanya, dosen harus melakukan publikasi artikel ilmiah terlebih dahulu.
“Itu pun sepertinya pencairan 30% sisanya nggak semua dosen yang merasakan. Kami pernah tanya, kalau ini tidak cair, jatah kami kemana? Sebab kerjaan kami lakukan tuntas. Malah kampus menandai dosen-dosen yang mempertanyakan hal ini,” paparnya.
Baca halaman selanjutnya…
Saat dosen cuti hamil jelang melahirkan, harus tetap mengajar