Jika gagal SNBP maupun UTBK-SNBT, seseorang biasanya memilih daftar kuliah jalur mandiri, sekalipun dengan potensi biaya yang lebih mahal. Dalam hal ini, sering kali gengsi lah yang mendominasi: takut tertinggal dari teman-teman seangkatan. Sehingga enggan pada pilihan gap year.
Bagi beberapa orang, bisa kuliah meski lewat jalur mandiri tetap sama leganya dengan lewat SNBP maupun UTBK-SNBT. Biaya mahal tidak jadi soal. Pokoknya yang penting bisa kuliah untuk meraih gelar sarjana.
Akan tetapi, di sisi lain, ternyata ada juga orang yang akhirnya menyesal tidak memilih gap year—dan memaksakan diri menempuh jalur mandiri—kala gagal di UTBK-SNBT.
Gagal UTBK-SNBT padahal termasuk siswa pintar, malu
Optimisme Zahro (26), bukan nama asli, berbuah tangis kala dia membuka pengumuman SNBP pada 2017 silam. Kala itu namanya masih SNMPTN.
Bagaimana tidak. Zahro terhitung sebagai salah satu siswa pintar di kelasnya, jurusan MIPA. Di kelasnya—dari kelas 1-3 SMA—dia langganan peringkat lima besar.
Tak heran jika kemudian banyak guru di jurusan MIPA optimis Zahro menjadi salah satu siswa yang bakal dengan mudah lolos SNMPTN. Saat itu Zahro mengincar jurusan Fisika di sebuah kampus negeri di Semarang. Namun, nyatanya dia gagal.
“Di titik itu saja aku udah merasa malu. Karena teman-teman kelasku banyak yang lolos. Mangkanya aku langsung minta uang orangtua buat daftar SBMPTN (sekarang UTBK-SNBT),” ungkapnya, Jumat (11/4/2025).
Zahro masih menjatuhkan pilihan pada jurusan dan kampus yang sama. Tidak sudi mengulang kegagalan sebelumnya, dia semakin tekun mempersiapkan diri: mengerjakan latihan soal SBMPTN hingga ikut bimbel.
Optimismenya kembali tumbuh. Dia bahkan tak sabar menanti detik-detik pengumuman beberapa minggu usai ujian berlangsung. Sial, hasilnya jauh dari harapan. Gagal lagi.
“Rasanya malu sekali. Pikiranku langsung sumpek. Kebayang macem-macem. Kalau aku nggak kuliah terus gimana? Pasti malu banget. Pasti iri juga sama temen-temen yang sudah bisa berfoto pakai jas almamater kampus masing-masing,” imbuhnya.
Menolak gap year demi lekas pakai jas almamater kampus
Pada dasarnya, orangtua Zahro tidak masalah jika dia gap year terlebih dulu. Di masa setahun jeda waktu itu, Zahro dibebaskan mengerjakan apa saja. Barangkali mau fokus belajar untuk mengikuti UTBK-SNBT tahun berikutnya.
Syukur-syukur malah cari-cari pengalaman lebih dulu. Bisa ngambil kursus—apapun yang Zahro pengin, coba-coba kerja, atau sekadar membantu orangtua mengurus toko kelontong mereka.
“Ini yang akhirnya aku sesali. Aku nggak mau. Marah. Bahkan sempet ngambek, diem terus di kamar sambil nangis terus. Karena aku penginnya kuliah tahun itu juga. Toh masih ada jalur mandiri,” ujar Zahro.
“Berapa biaya kalau kuliah jalur mandiri? Dengar-dengar kok mahal?” Pertanyaan dari bapak Zahro itu sebenarnya sudah menjadi isyarat bahwa si bapak akan keberatan jika biaya kuliahnya terlampau mahal.
Tapi waktu itu, Zahro mengakui sendiri, tak peduli. Pokoknya dia ingin kuliah tahun itu juga. Dia ingin seperti teman-temannya yang lebih dulu lolos SNBP: bisa pamer foto pakai jas almamater kampus, menyandang status sebagai mahasiswa, juga harapan hidup yang lebih baik sebagai sarjana. Nah, jalan yang tersisa ya lewat jalur mandiri.
“Akhirnya memang kuliah (di jurusan dan kampus yang Zahro incar semasa SNBP dan UTBK-SNBT). UKT hampir Rp6 juta. Kurang dikit lah. Di tahun itu, angka segitu udah gede banget,” tuturnya.
Baca halaman selanjutnya…
Seneng-seneng tanpa beban di kampus, tapi nelangsa setelah lulus












