Mengerjakan skripsi sejak semester 7, hingga semester 12 ini seorang mahasiswa di kampus Salatiga masih berkutat di bab 1. Bahkan bab 1 itu saja harus revisi sebanyak 12 kali. Hal tersebut lantaran ulah si dosen pembimbing (dosbing) yang terkesan keterlaluan. Padahal si mahasiswa kampus Salatiga tersebut kuliah dalam kondisi sakit-sakitan.
***
Nimas (23) sedang berada di salah satu rumah sakit di Semarang saat Mojok hubungi Senin (6/5/2024) siang WIB. Ia sedang dalam masa observasi untuk menjalani operasi sinusitis yang sudah ia idap sejak lama.
“Gejalanya udah dari kelas 3 SMA. Pada 2022 juga udah disuruh operasi. Tapi masih berusaha nggak apa-apa, sampai sekarang nafas ngandelin hidung kanan aja karena yang kiri kesumbat,” tutur Nimas.
Meski dalam kondisi yang sakit-sakitan, Nimas memiliki kesibukan yang sangat padat. Ia saat ini tercatat sebagai mahasiswa aktif semester 12 di salah satu kampus di Salatiga, Jawa Tengah. Nimas meminta saya agar tak menyebut nama kampusnya tersebut.
Di samping itu, Nimas juga bekerja di dua tempat sekaligus. Yakni sebagai barista dan sebagai guru honorer di salah satu SD di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
“Jadi awal kuliah (2018) aku udah kerja di coffee shop. Terus waktu udah skripsian (per semester 7) aku nyambi lagi kerja di SD. Jadi dobel,” ujar mahasiswa Kampus Salatiga tersebut.
Nimas sendiri asli Kabupaten Semarang. Lantaran kerjaannya ada di Kabupaten Semarang, maka setiap hari ia pulang pergi (laju) Kabupaten Semarang-Salatiga. Kondisi kuliah sambil kerja dobel-dobel itu harus Nimas jalani karena sang ayah sudah tiada (anak yatim). Pilihannya laju Kabupaten Semarang-Salatiga juga untuk menemani ibunya di rumah.
Revisi terus-terusan hingga cuti kuliah karena sakit
Nimas mulai mengajukan judul sebenarnya sudah sejak semester 7, bebarengan dengan masa KKN. Di masa itu, Nimas mengaku tak masalah bolak-balik dari posko ke kampus. Total ia harus menerima 10 kali penolakan sebelum akhirnya ada satu judulnya yang dapat ACC.
Di akhir semester 8, mahasiswa kampus Salatiga itu kemudian menjalani seminar proposal (sempro). Dari sinilah ia mulai berhadapan dengan drama-drama dosen pembimbing yang keterlaluan.
“Waktu revisian aku banyak banget salahnya. Aku revisi lagi, salah lagi. Revisi lagi, salah lagi. Itu sampai semester 9,” tutur mahasiswa kampus Salatiga tersebut. “Setelah sempro itu aku ganti judul sampai tiga kali.”
Lantaran penyakit sinusitis yang ia idap sejak SMA sempat membuat kondisi Nimas drop, Nimas kemudian memilih off kuliah di semester 10. Ia memilih istirahat dan fokus recovery dulu. Sambil merenung, apa yang sebenarnya keliru dari caranya mengerjakan skripsi.
Revisi bab 1 hingga semester 12
Setelah merasa agak pulih, Nimas kemudian lanjut skripsian—tentu sambil membagi waktu untuk kerja—di semester 11. Akan tetapi, drama dengan dosen pembimbing kampus Salatiga itu pun masih terus berlangsung.
“Aku sering janjian bimbingan (di jam-jam yang sudah ditentukan si dosen pembimbing). Pas aku udah mau masuk ruangannya, tiba-tiba si dosbing itu me-cancel gitu aja,” keluh Nimas.
“Pernah juga aku nunggu sampai jam 5-an sore. Padahal sore aku harus kerja (di coffee shop). Terus kata si dosbingku itu kesorean. Akhirnya disuruh pulang,” sambung mahasiswa kampus Salatiga itu.
Tak menyerah, Nimas kemudian mengajukan bimbingan secara online. Karena energinya sendiri juga sangat terkuras karena harus bolak-balik Kabupaten Semarang-Salatiga, yang mana lebih sering tidak ada hasilnya. Terlebih ia masih harus membagi waktu untuk bekerja. Belum lagi kalau ada revisian.
Si dosen pembimbing kampus Salatiga itu sebenarnya menyetujui. Namun, si dosen pembimbing masih terus melanggar komitmen. Alhasil, hanya untuk bab 1 saja Nimas belum bisa menuntaskan hingga di semester 12 sekarang.
Mengajukan ganti dosbing tapi tak bisa
Bimbingan online berujung buntu. Pasalnya komunikasi antara Nimas dan si dosen pembimbing macet. Tiap kali mahasiswa kampus Salatiga itu mengirim WhatsApp, hanya berujung dibaca saja oleh si dosen pembimbing, Tak ada balasan. Dan itu berlangsung selama berbulan-bulan.
“Aku sebel kan. Orang pengen cepet-cepet lulus kok. Terus aku chat kalau nggak bisa bimbingan offline dan online karena bapak sibuk, apabila diperbolehkan saya tidak apa-apa diganti dosbingnya,” ucap Nimas.
Hanya saja, si dosen secara halus menolak diganti. Sebab, tak lama setelah Nimas mengirim pesan tersebut, si dosen pembimbing di kampus Salatiga itu langsung menelepon Nimas. Ia memastikan akan segera mengecek revisian Nimas yang sudah ia kirim ke si dosen pembimbing.
Meski begitu, karena mulai agak frustrasi, Nimas sampai mengajukan pergantian dosen pembimbing ke Dekanat. Sayangnya nihil belaka. Pihak Dekanat meminta Nimas untuk mengkomunikasikan dengan dosen pembimbing yang bersangkutan.
Kalau begitu, mau tidak mau Nimas masih harus proses bimbingan dengan si dosen pembimbing tersebut. Mengingat sebelumnya si dosen pembimbing sudah menolak untuk diganti.
Baca halaman selanjutnya…
Ibu sampai khawatir anaknya DO