Bus Prayogo jadi salah satu perusahaan otobus legendaris asal Yogyakarta yang kini masih bertahan. Menghadapi gempuran kredit sepeda motor yang begitu mudah, bus ini sukses membaca peluang hingga mengembangkan diri di bus pariwisata dan antar kota antar provinsi.
***
Rasa penasaran tentang Bus Prayogo akhirnya terjawab. Dulu bus ini mudah sekali saya jumpai di jalur Jogja Godean-Kenteng maupun Jogja-Wates. Sebelum pandemi saya bahkan beberapa kali naik bus ini dari titik nol kilometer hingga Sedayu di Bantul.
Namun, sejak pandemi tak satu pun saya lihat Bus Prayogo melewati Jalan Wates atau Jalan Godean. Padahal bus ini tergolong legendaris. Saat masih kecil, bus ini jadi langganan keluarga saya untuk berkunjung ke rumah nenek. Dari Cilacap, kami berhenti di Sentolo dan berganti menggunakan Bus Prayogo menuju terminal Kenteng dilanjutkan menuju terminal kecil di Sembuhan, Minggir Sleman.
Pertanyaan itu akhirnya terjawab saat saya ngobrol dengan Mas Ardhi Ashari (33), karyawan PO Bus Prayogo bagian operasional di tempat kerjanya, Ngijon, Minggir, Kabupaten Sleman, Kamis (13/6/2024).
“Setelah pandemi, trayek Jogja-Godean-Kenteng dan Jogja-Wates sudah nggak ada, Mas,” katanya. Sekarang, Po Bus Prayogo yang berdiri tahun 1988 ini fokus pada trayek jarak jauh dan bus pariwisata.
Saya lantas ngobrol panjang lebar dengan Mas Ardhi tentang sejarah Bus Prayogo. Namun, keberuntungan sepertinya memihak saya pada hari itu. Saat mengambil foto. Saya justru bertemu dengan Pak Maryanto (64), sosok di balik lahirnya PO Bus Prayogo.
“Lho, tanya sejarah kok sama Ardhi. Saya kan yang buat,” katanya tertawa. Pagi menjelang siang itu, Pak Maryanto sedang santai, ia duduk di kursi sambil mengawasi pekerjanya yang tengah memperbaiki armada-armada milik Po Bus Prayogo.
Berawal dari usaha truk
Maryanto menceritakan bagaimana ia mendirikan Bus Prayogo hingga kemudian mampu bertahan hingga kini. Bermula ketika ia usaha truk di sekitar 1983. Ia beralih ke bus penumpang di tahun 1988.
Momen untuk membuka usaha bus penumpang adalah selesainya jembatan Ngapak di atas Sungai Progo yang menghubungkan Sleman dan Kulon Progo. “Saya kepikiran, adanya jembatan pasti membuat orang-orang dari Kulon Progo banyak yang ke Yogyakarta,” kata Maryanto.
Ia dibantu oleh mertuanya, Mugi Hartono, yang dikenal sebagai pemilik dan pendiri PO Bus Suharno. “Saat itu dibantu pinjamgan ke bank, saya ya tetap melunasi pinjaman bank itu sendiri,” kata Maryanto. Jasa mertuanya ia abadikan sebagai nama perusahaan, PT Prayogo Mugi Hartono.
Tahun 1988, ia kemudian mengalihkan bisnisnya dari usaha truk ke usaha bus penumpang. Selanjutnya bus-bus kecil PO Prayogo mulai merambah jalanan di Yogyakarta, khususnya Jogja bagian barat. Dua tahun sebelumnya, di Jogja juga lahir periusahaan bus PO Bimo yang banyak melayani rute Jogja Wonosari.
“Bisnya kecil-kecil, dulu itu trayeknya ya Yogyakarta Wates, Yogyakarta Godean. Dulu itu busnya masuk ke perkampungan di Kulon Progo,” kata Maryanto.
Pemilik Bus Prayogo yang jeli membaca zaman
Maryanto bercerita, pada masa jayanya, ia punya lebih dari 40 armada bus untuk trayek Yogyakarta Wates. “Garasi ini dulu nggak muat nampung, penuh,” katanya menunjuk halaman garasi yang jadi bengkel Bus Prayogo.
Pendapatan dari usaha bus saat itu ia putar lagi untuk memperbanyak armada. Sampai kemudian di awal tahun 2000, ia membaca tanda-tanda zaman, jika bus penumpang jarak pendek akan menghadapi tantangan.
Pertanda itu membuatnya melakukan strategi yang di kemudian hari mampu menyelamatkan bisnisnya di masa depan.
Baca halaman selanjutnya
Kredit murah sepeda motor yang mengancam Bus Prayogo