Pohon pusaka yang membuka siklus 500 tahunan zaman kejayaan Nusantara
Menariknya, Kiai Jadul menyatakan bahwa makna dari arti kata kencana yaitu “keemasan” dan wungu adalah “bangun/bangkit”. Dari pemaknaan simbolik wilayah Pracimantoro dan nama situs gua Kencana Wungu. Kiai Jadul memaknai peristiwa ini sebagai satu batas antara bangkitnya zaman keemasan bangsa Nusantara.
Maka acara doa bersama dengan menanam pohon merupakan respon atas akan datangnya zaman keemasan, yang Kiai Jadul meyakini memang sudah jadi kehendak alam untuk merestui acara ini bisa terjadi.
Jika ingin menarik pemaknaan simbolik dari apa yang Kiai Jadul lakukan tersebut, maka akan mendapatkan konteks relevansinya diperkembangan wacana nasional saat ini. Kita tahu banyak pakar dan ahli ekonomi dunia memprediksi, bahwa Indonesia akan menyongsong zaman keemasannya yang puncaknya pada tahun 2045.
Sedangkan dalam kacamata lain, banyak orang Jawa yang “waskita”(mempunyai penglihatan lebih atas kenyataan), juga menyatakan bahwa tahun ini merupakan titik pembuka siklus 500 tahunan yang diyakini sebagai pembuka zaman baru dari Indonesia emas.
Pohon sebagai simbol doa yang keramat
Bagi bangsa Nusantara, melihat sebuah pohon tidak hanya dari bentuk materinya semata. Lebih dalam dari hal itu, pohon mempunyai makna simbolik dan spiritual yang dalam. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa praktik masyarakat Nusantara yang sampai hari ini masih meyakini adanya pohon-pohon keramat.
Tidak hanya itu dalam tradisi agama-agama beberapa jenis pohon juga memiliki makna spiritual yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Dalam tradisi agama Budha misalnya kita mengenal pohon Bodhi yang menjadi pohon suci, tempat Sidharta Gautama menerima cahaya spiritual. Begitu juga dalam agama Hindu mengenal pohon Kalpataru atau Kalpawreksa yang memiliki arti sama dengan pohon beringin.
Menurut kepercayaan agama Hindu ada lima jenis pohon yang mereka yakini sebagai pohon kahyangan yaitu: hancandana vrksa, kalpa vrksa, mandana vrksa, parijata vrksa dan santanu vrksa.
Bahkan Dalam Islam, pentingnya menanam pohon ada dalam sebuah hadits Nabi: “Jika esok hari terjadi hari kiamat sedangkan di tangan salah seorang kalian ada sebuah tunas (bibit), maka tanamlah jika ia mampu menanamnya sebelum hari kiamat” (HR. Bukhari & Akhmad).
Begitu juga yang tertuang dalam Al Qur’an. Pohon menjadi perumpamaan atas diri seorang muslim yang memiliki iman kuat seperti pohon yang baik. Yang memiliki akar kuat menghujam ke tanah, batang dan dahannya menjulang ke langit dan memberikan buahnya untuk kehidupan sepanjang musim (QS Ibrahim 24).
Ritual menanam pohon untuk membangun hubungan manusia dan alam
Terlepas dari kepercayaan masyarakat atas jenis-jenis pohon dan mitos yang mengitarinya. Atau dalam konteks kepercayaan keagamaan narasi tentang pohon ternyata memiliki pijakan yang begitu argumentatif dan mendasar.
Artinya tidak salah jika seharusnya peristiwa menanam pohon tidak hanya sebagai sebuah selebrasi atau seremoni berbasis kepentingan semata. Tetapi lebih jauh dari hal itu, tindakan menanam merupakan sebuah laku rohani yang lekat kaitannya dengan kesadaran spiritual seseorang.
Dari hal itulah saya jadi memahami, bahwa acara penanaman pohon dan temu tokoh adat Nusantara jadi satu upaya untuk menjadikan ritual membangun hubungan antara manusia dan alam.
Ibarat sebuah pohon yang tinggi menjulang, peristiwa menanam pohon ini bisa menjadi monumen kebudayaan yang akarnya tetap berpijak pada kearifan tradisi masyarakat Nusantara. Dan pohon-pohon yang ditanam dan tumbuh selalu memberi nafas panjang bagi kehidupan.
Penulis: Doel Rohim
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Misteri Suara Andong Dini Hari di Jogja dari Kesaksian Warga hingga Kusir Andong Malioboro
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News