Gedung Tua Surabaya Berusia 147 Tahun Diromantisasi Lagi, Saksi Pahit di Kota Pahlawan Sejak 1877

Ilustrasi - Gedung tua SIOLA di Jalan Tunjungan punya museum untuk romantisasi Surabaya selain Kota Lama. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Setelah peresmian Kota Lama, Surabaya akan memiliki tempat “romantisasi” lagi yang berada di kawasan Jalan Tunjungan. Yakni sebuah gedung tua berusia 147 tahun bernama SIOLA. Di dalamnya terdapat museum yang tengah dipersiapkan Pemerintah Kota (Pemkot) dengan wajah baru.

***

Jika melintas di kawasan Jalan Tunjungan Surabaya, ada sebuah gedung besar berwarna merah dan berkelir putih (saat ini) yang begitu mencolok. Gedung tua tersebut menjadi salah satu ikon di tengah Kota Pahlawan selain tentu mal-mal yang tinggi menjulang.

Gedung tua itu bernama SIOLA. Bangunan bersejarah yang saat ini difungsikan sebagai museum dan Mal Pelayanan Publik (MPP).

Bagi orang Surabaya, SIOLA sebenarnya sudah tak asing lagi. Namun, menjelang akhir Juli 2024 ini Pemkot tengah mempersiapkan museum di lantai 1 gedung tua itu dengan wajah baru: menjadi tempat romantisasi baru menyusul Kota Lama.

Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, belakangan memang tengah gencar-gencarnya memoles kota pimpinannya sebagai kota wisata dan heritage. Kota Lama menjadi “produk” paling baru yang bisa dinikmati. Meskipun sejak peluncurannya awal Juli 2024 dibayangi dengan masalah parkir liar dan fotografer ugal-ugalan.

Gambaran perjalanan panjang Kota Pahlawan

Melansir dari website resmi Pemkot, museum Surabaya di gedung tua SIOLA tersebut akan menyuguhkan visualisasi perjalanan panjang Kota Pahlawan. Mulai dari zaman kerajaan, era Hindia Belanda, masa pendudukan Jepang, hingga situasi saat Sekutu tiba.

“Ada cerita tentang terjadinya Surabaya karena ada Kerajaan Demak sampai Hujung Galuh, lalu bercerita kapan terbentuknya Surabaya,” ujar Cak Eri, sapaan akrab Eri Cahyadi saat meninjau museum di gedung tua SIOLA pada Kamis, (25/7/2024).

“Lalu setelah Indonesia lepas dari Sekutu seperti apa? Di situ alat transportasinya tempo dulu seperti apa?,” sambungnya.

Tak sampai di situ, Cak Eri juga menghendaki adanya patung Presiden RI pertama, Ir. Soekarno (Bung Karno), dengan bentuk lebih besar. Hal tersebut sebagai bentuk kebanggaan karena Bung Karno lahir di kota yang kini ia pimpin tersebut.

Lengkap juga dengan kisah Bung Karno dari masa lahir, sekolah, indekos di rumah HOS Tjokroaminoto, hingga hasil-hasil perjuangannya memerdekakan Indonesia.

Mengenal orang-orang yang membesarkan Surabaya

Sajian lain dari musem di gedung tua SIOLA tersebut yakni penjelasan mengenai bentuk dan tata Kota Surabaya, transformasi Surabaya menjadi kota pelabuhan, sistem komunikasi hingga pemerintahan, lini masa moda transportasi, ekonomi dan mata uang, hingga sosio dan kultur budaya.

Dalam konteks ini, akan disuguhkan visualisasi para wali kota yang pernah memimpin Kota Pahlawan dari masa ke masa serta bagaimana tata kelola kota di masing-masing era.

Gedung tua SIOLA di Jalan Tunjungan Punya Museum untuk Romantisasi Surabaya MOJOK.CO
Museum di gedung tua SIOLA Surabaya siap hadirkan wajah baru. (Dok. Pemkot Surabaya)

“Jadi tahu setiap era kepemimpinan wali kota membangun ini. Lalu wali kota ini membangun ini. Karena karakter setiap wali kota berbeda-beda,” beber Cak Eri.

Para musisi dan seniman yang membesarkan nama Surabaya, dari masa silam hingga sekarang, juga akan mengisi sudut-sudut museum di gedung tua SIOLA. Dari Gombloh hingga musisi ternama saat ini, lalu perwajahan Ludruk yang menjadi kesenian khas dari ibu kota Jawa Timur tersebut.

Gedung tua Surabaya pusat bisnis asing sejak 147 tahun lalu

Cak Eri tentu berharap wajah baru museum nantinya bisa menarik lebih besar minat pengunjung, terutama dari kalangan pelajar dan anak muda. Karena memang tujuannya adalah sebagai destinasi wisata edukasi sejarah.

Karena terlepas dari konteks museum, gedung tua SIOLA sendiri sebenarnya merekam perjalanan panjang dan bersejarah. Usianya tercatat sudah 147 tahun.

Merangkum dari berbagai sumber sejarah, gedung tua SIOLA dibangun di kawasan Jalan Tunjungan pada 1877 oleh Robert Laidlaw, seorang investor berkebangsaan Inggris. Ia memberi nama gedung itu Het Engelsche Warenhuis sebagai pusat usaha tekstil bernama Whiteaway Laidlaw.

Pada 1935, perusahaan tersebut gulung tikar lantaran pengelolanya dari keluarga Laidlaw meninggal. Gedung tua itu lantas dibeli oleh pengusaha Jepang dan mengganti nama gedung menjadi Toko Chiyoda. Saat itu tercatat sebagai toko tas dan koper besar di Indonesia.

Gedung tua yang sempat mangkrak

Saat Sekutu tiba di Surabaya dan membuat Jepang tunduk, gedung tua di Jalan Tunjungan itu sempat kosong tak berpenghuni. Bahkan pada 1945 itu pula, gedung tua tersebut menjadi gedung pertahanan arek-arek Suroboyo menghadapi serangan dari Sekutu.

Efek perang membuatnya sempat rusak dan mangkrak. Sampai akhirnya pada 1950 Bung Karno mengambilalih gedung tua ini sebagai aset Pemkot Surabaya.

Lalu pada tahun 1960, lima orang pengusaha, Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem dan Aang mengontrak gedung tersebut dari Pemkot Surabaya untuk membuka pusat grosir. Namanya kemudian diubah menjadi gedung SIOLA sebagai akronim dari nama mereka masing-masing.

Kejayaan SIOLA sebagai pusat grosir di Jalan Tunjungan berakhir pada 1998. SIOLA kalah saing dengan pusat perbelanjaan modern di Surabaya yang mulai menjamur. Antara lain Pasar Atum, Pasar Turi, Plaza Surabaya, hingga yang paling besar: Tunjungan Plaza.

Atas rentetan kegagalan dan kepahitan para pengusaha yang mengiringi gedung SIOLA, gedung tua tersebut kemudian dikembalikan ke Pemkot Surabaya. Hingga akhirnya pada 2015, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengalihfungsikannya sebagai museum bernama Museum Surabaya.

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin

BACA JUGA: Stadion Tambaksari Surabaya Saksi Banyak Peristiwa Sejak 1920 tapi Terpaksa Ditinggalkan, Mau Nostalgia pun Tak Bisa karena “Terhalang” GBT

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

 

 

Exit mobile version