Gedung Singa sebagai salah satu gedung tua di Surabaya belakangan mencuri perhatian orang Belanda. Gedung tua berusia 123 tahun yang berada di kawasan Kota Lama Surabaya itu konon mengambil bagian dari simbol-simbol Mesir kuno.
***
Meski sempat diresahkan dengan ulah parkir liar dan fotografer arogan, Kota Lama Surabaya sebagai wisata heritage tetap memiliki daya tarik tersendiri. Tidak hanya dalam skala domestik, tapi juga mancanegara.
Tak tanggung-tanggung, Walikota Surabaya Eri Cahyadi menyebut ada peluang kerjasama dengan Belanda kaitannya dengan pengembangan kawasan wisata Kota Lama di Kota Pahlawan.
Obrolan mengenai hal tersebut terjadi antara Cak Eri—sapaan akrab Eri Cahyadi—dengan Duta Besar (Dubes) Belanda untuk Indonesia, Lambert Grijns di ruang kerja Walikota Surabaya, Senin (29/7/2024) lalu.
Dari Gedung Singa berlanjut ke proyek baru Kota Lama Surabaya
“Terkait dengan cagar budaya, beliau (Grijns) sangat interest (tertarik) dengan Kota Lama. Bagaimana bisa ada (terintegrasi) dengan kawasan Eropa, Arab, dan Cina. Mereka takjub luar biasa, salah satunya adalah Gedung Singa yang menjadi perhatian beliau,” tutur Cak Eri dalam laporan resmi Humas Pemkot Surabaya.
Cak Eri mengatakan, pertemuannya dengan Lambert Grijns memungkinkan terjadinya sister city antara Surabaya dengan kota-kota lain di Belanda. Misalnya sister city dengan Rotterdam. Mengingat, kota tersebut menurut Grijns punya kemiripan dengan Kota Pahlawan.
Sebelum ke sana, kata Cak Eri, pihaknya menyebut berpeluang menjalin kerjasama dengan Dubes Belanda untuk Indonesia untuk proyek-proyek lanjutan Kota Lama. Antara lain revitalisasi Gedung Singa dan Makam Peneleh.
Untuk Makam Peneleh, Cak Eri mengaku pihak Dubes Belanda untuk Indonesia akan memberikan bantuan berupa data siapa saja yang dimakamkan di sana. Proyeksinya, makam legendaris tersebut nantinya akan menjadi living library.
Kemudian akan ada upaya juga terkait pengelolaan air di Surabaya. Mencakup upaya bagaimana sungai-sungai di Kota Pahlawan kelak bisa menjadi bersih. Jika sudah bersih, maka Pemkot menyiapkan transportasi air.
“Sudah ada kajiannya (transportasi air). InsyaAllah juga akan dibantu Belanda nanti, karena di sana (Belanda) ada taksi air. Mungkin itu bisa dilakukan di Surabaya,” jelas Cak Eri.
Tangan Belanda di balik berdirinya Gedung Singa Surabaya
Di antara gedung-gedung tua yang direvitalisasi di kawasan Kota Lama Surabaya, Grijns memang sangat tertarik pada Gedung Singa.
Bukan tanpa alasan kenapa Dubes Belanda untuk Indonesia tersebut amat tertarik dengan Gedung Singa. Pasalnya, gedung tua berusia 123 tahun tersebut ternyata melibatkan tangan orang Belanda dalam proses pembangunannya.
Grijns tak menampik bahwa Pemkot Surabaya di bawah Cak Eri sangat berhasil dalam mengelola sebuah warisan sejarah. Bahkan ia tak segan menyebut kalau Kota Pahlawan bisa menjadi percontohan bagi kota-kota lain di dunia dalam mengembangkan warisan sejarah menjadi kawasan wisata heritage yang saling terintegrasi satu sama lain. Karena di Kota Lama sendiri mengintegrasikan antara Kawasan Eropa, Arab, hingga Pecinan.
“Pemkot Surabaya membuatnya (Kota Lama) menarik bukan hanya untuk orang Surabaya atau turis, tetapi juga untuk mahasiswa yang tinggal di sini, dan untuk sektor swasta yang pengusahanya di sini,” tutur Grijns.
Gedung tua sejak 1901 dengan simbol Mesir Kuno
Dalam buku Alweer een sieraad voor de stad: Het werk van Ed. Cuypers en Hulswit-Fermont in Nederlands-Indië 1897-1927 karya Obbe Norburis, tertulis bahwa pembangunan Gedung Singa Surabaya berlangsung pada 1901. Artinya, saat ini sudah berusia 123 tahun.
Gedung tua tersebut awalnya bernama Gedung Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente (Perusahaan Umum Asuransi Jiwa dan Tunjangan Hidup). Di Surabaya, orang-orang sejak zaman dulu kerap menyebutnya denga nama Gedung Singa karena patung dua ekor singa bersayap persis di depan pintu masuk.
Dalam bukunya, Norburis menyebut kalau rancang bangun awal dari Gedung Singa didesain oleh arstiket Belanda, Marius J. Hulswit. Namun, proposal desai Hulswit tertolak.
Arsitek Belanda yang lain, Hendrik Petrus Berlage lalu ditunjuk untuk merancang desain gedung perusahaan asuransi jiwa tersebut. Hingga jadilah Gedung Singa yang kini sudah menjadi salah satu gedung tua di Kota Pahlawan.
Menurut Bambang Eryudhawan (arsitek lulusan ITB), dua patung singa bersayap di pintu masuk gedung bukan hanya patung kosong belaka. Dua patung bersayap itu sangat dipengaruhi oleh penemuan-penemuan arkeologi di Mesir pada akhir abad 19 M dan awal abab 20 M.
“Karena temuan hasil eksplorasi-eksplorasi Eropa ke Mesir itu kemudian menimbulkan eksotisme baru di Eropa,” ujar Yudha seperti Mojok kutip dari National Geographic.
“Bukan cuma dari sisi pengetahuan, tapi juga kebudayaan Mesir kuno itu muncul di museum-museum di Eropa,” sambungnya.
Penggarap patung dua singa bersayap itu adalah Joseph Mendes da Costa, pematung tersohor asal Belanda. Konon memiliki maksud simbolis: singa-singa bersayap itu adalah penjaga bagi uang dan pengguna asuransi di perusahaan asuransi jiwa tersebut. Sehingga tercipta rasa aman bagi para pengguna.
Persis di atas pintu masuk terdapat juga mosaik porselen bergambar Raja Firaun yang di kanan-kirinya terdapat sosok Ibu Eropa dan Ibu Jawa. Mosaik tersbut dibuat oleh Jan Toroop, seorang pelukis bergaya pointillisme, simbolisme, dan art-nouveau, berdarah Jawa-Belanda.
Karena campur tangan dari orang Belanda serta kaya akan nilai simbolis itulah, tak heran jika Grijns memiliki perhatian khusus untuk merevitalisasi Gedung Singa Surabaya sebagai bagian dari kawasan wisata heritage terintegrasi di Kota Lama Surabaya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA: Gedung Tua Surabaya Berusia 147 Tahun Diromantisasi Lagi, Saksi Pahit di Kota Pahlawan Sejak 1877
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.