Kota Jogja dulu punya Bioskop Senopati yang kini beralih rupa menjadi shopping center. Bioskop yang punya julukan “surganya film panas” ini pernah jadi tempat “bentroknya” strata sosial anak muda Jogja.
Hampir sejam saya berkeliling-keliling tanpa tujuan di lapak buku shopping center Jogja. Entah, apa yang bikin saya datang ke tempat tersebut sore itu. Padahal, Jogja sedang diguyur hujan lebat sejak siang. Artinya, secara teori itu bukan momen yang tepat buat jalan-jalan. Apalagi ke suatu tempat tanpa tahu harus ngapain di sana.
Sayangnya, teori itu hanya mental saja. Setelah turun dari Trans Jogja jalur 3A di depan Benteng Vredeburg sekitar pukul 15.00 WIB, saya langsung berjalan cepat menembus butiran air hujan. Tidak basah kuyup, sih, tapi cukup bikin badan menggigil. Sialnya lagi, tak ada pedagang wedang ronde yang biasa mangkal di depan Taman Pintar.
Menemukan sisi lain shopping center selain buku
Sore itu, Kamis (4/1/2024), hanya ada puluhan kios buku di hadapan saya. Satu per satu pedagang menyapa; menanyakan buku apa yang sedang saya cari. Tetapi saya hanya melintas tanpa memberi respons.
Ribuan buku yang berjejer sama sekali tak menarik minat saya sore itu. Agaknya saya seperti orang linglung. Untung saja tangga dekat lorong di lantai satu dan sebatang kretek menyelamatkan saya dari kelinglungan.
Sambil duduk yang menghembuskan asap demi asap dari mulut, saya mulai mengamati beberapa pedagang yang mulai menutup lapak. Agaknya hujan bikin jualan mereka sepi hari itu. Atau memang sudah sepi sejak hari-hari sebelumnya? Entahlah. Saya masih berpikir sesuatu yang bisa saya jadikan tulisan di sana.
“Musim hujan bikin pedagang shopping center merana? Duh, klise,” kata saya dalam hati.
Ya, hampir tak ada hal lain yang bisa ditulis selain “buku” dari shopping center. Sejak lama, tempat itu memang sudah jadi rujukan orang-orang yang mau berburu buku. Dari yang bajakan, asli, buku-buku lawas hingga baru, semua ada di sini. Namun, sekali lagi, saya sedang tidak mau menulis soal buku.
Lapak buku ini dulunya adalah bioskop terkenal di Jogja
Dalam lamunan, tiba-tiba saya teringat dengan cerita salah satu kenalan saya, Deni Respati (58), yang dulu punya banyak kenangan di tempat ini. Mungkin dari anak tangga yang saya duduki ini, dulu Deni merayakan masa mudanya.
Apalagi bangunan besar di belakang gedung tempat saya duduk, dulunya adalah salah satu bioskop yang kondang di Jogja. Namanya Bioskop Senopati.
Perkenalan saya dengan Deni cukup unik. Pada suatu siang di tahun 2023, sebenarnya saya sedang liputan soal Angkringan Majas yang unik itu. Namun, di tengah obrolan saya dengan Mbak Dian, pemilik kedai angkringan, Deni tiba-tiba nimbrung obrolan kami.
Saya ingat betul, saat itu kami sedang mengobrol soal Jogja tempo dulu. Deni, warga asli Jogja yang kini menetap di Magelang, tiba-tiba nyeletuk soal tongkrongan favoritnya pada 1980-an dulu.
“Bioskop Senopati. Sekarang jadi Taman Pintar, lapak buku [shopping center] itu. Dulu mau cari film panas, kaset, pacar, bahkan nyari musuh, ada di sana semua,” ujarnya kepada saya.
Bioskop Senopati lokasinya sangat stategis
Jujur, sebagai orang yang baru menetap di Jogja pada 2017 lalu, saya terkejut. Ternyata ada bioskop selegendaris itu di Jogja. Maklum, saya tahunya hanya bioskop-bioskop yang sudah ada sekarang ini.
Bioskop Senopati sendiri terletak di Jalan Panembahan Senopati No. 1, Ngupasan, Kapanewon Gondomanan, Kota Jogja–persis di lokasi Taman Pintar saat ini.
Dahulu di lokasi tersebut terdapat dua theater yang berdampingan. Pertama, Theater Senopati atau Bioskop Senopati itu sendiri dan yang kedua, Yogya Theater. Pada era 1980-an sampai akhir 1990-an, tempat tersebut jadi spot nongkrong paling favorit para remaja di Jogja. Wajar saja, lokasi memang strategis; dulu di dekat bioskop ada terminal angkot dan pasar sayur.
Sayang sekali, sinar Bioskop Senopati meredup pada awal akhir 1990-an seiring dengan masifnya industri bioskop di Jogja. Pada awal 2000an bioskop ini berhenti beroperasi. Bangunannya dirobohkan pada 2003 dan setahun kemudian dibangun Taman Pintar di sana.
Kendati bangunan fisik sudah hilang dan telah berubah rupa, kenangan masa muda di tempat itu masih membekas di ingatan Deni.
Surganya film panas di Jogja pada masanya
Sekolah Deni, sejak SMP hingga SMA, lokasinya dekat dengan Bioskop Senopati. Kebiasaan bolos pun tak terhindarkan, dan itu sering Deni lakukan bersama teman-temannya. Paling tidak hal itu bisa mengusir rasa bosannya dari pelajaran sekolah yang melelahkan. Lagi pula, aksi nakal itu tak ia lakukan tiap hari.
“Tahu waktu juga lah, hanya kalau lagi bosan saja melipir ke Senopati,” ujarnya membela diri.
Deni mengakui, salah satu daya tarik Bioskop Senopati kala itu adalah film-film yang ditayangkan. Ya, bioskop ini memang terkenal sebagai surganya film panas. Baik yang produksi dalam negeri maupun mancanegara. Sekadar informasi saja, pada masa Orde Baru, film-film panas memang bebas beredar. Pendeknya, ia sedang dalam masa keemasan.
Hal itu bahkan sudah kelihatan dari penjudulan film. Seperti “Bebas Bercinta”, “Rahasia Rumah Bordil”, “Ranjang yang Ternoda”, “Gairah Malam”, hingga “Kenikmatan Tabu”. Poster-posternya juga menunjukkan kalau itu adalah film-film erotis. Hebatnya, film-film tersebut bebas beredar di bioskop-bioskop pada 1980 sampai dengan 1990-an meski Orde Baru lagi masif-masifnya dengan kampanye “film harus memberikan pesan moral dan menciptakan rasa taqwa kepada Tuhan”. Cukup aneh memang.
Nonton film panas dengan penuh perjuangan
Deni sendiri cukup menikmati tren tersebut. Terlebih ia berada di tempat yang tepat. Kepada saya, ia bercerita film panas pertama yang ia tonton di Bioskop Senopati berjudul “Call Girls” buatan luar negeri. Namun, film itu ia tonton dengan penuh perjuangan.
“Seingat sayaharga tiketnya dulu Rp750. Buat anak SMA miskin kayak saya, itu uang yang besar. Makanya saya dan teman-teman kudu tabung terlebih dahulu,” akunya.
Alhasil, Deni bersama tiga temannya yang lain harus menabung. Selama seminggu mereka berhemat. Mulai dari mengurangi jajan di sekolah sampai beberapa kali pulang sekolah berjalan kaki karena uang transport harus ditabung.
Ketika uang sudah terkumpul pun masalah baru muncul. Saat itu, untuk film-film erotis dibatasi bagi penonton berusia 18+ saja. Sementara Deni dan kolega masih 17 tahun.
“Mau enggak mau kita kudu patungan lagi buat beli rokok sama minum [alkohol], buat nyogok penjaganya. Lama-lama malah akrab, jadi kalo ada film esek-esek lagi gampang kita nontonnya,” kisah Deni.
Tempat yang menunjukkan kelas sosial dan kenakalan remaja
Selain film-film panas, satu hal yang diingat Deni tentang Bioskop Senopati adalah tempat “bentroknya” remaja-remaja jelata dengan anak orang kaya. Kata dia, antara anak-anak prasejahtera seperti dia dengan anak-anak orang berada bisa dilihat hanya dengan tempat nongkrongnya saja.
“Dulu di lantai 2 juga ada wahana mainan. Lagi ngetren-ngetrennya dingdong waktu itu. Sekali main Rp150 seingatku. Nah, yang main di situ udah jelas anaknya orang kaya. Kita yang jelata-jelata di lantai 1 aja, lihat-lihat kaset,” kata Deni.
Tak hanya menunjukkan kelas sosial para remaja di masanya, Bioskop Senopati juga jadi tempat di mana para muda-mudi merayakan kenakalan mereka. Deni bercerita kalau berbagai hal yang ilegal sekalipun, bisa dijumpai di sini.
“Pil-pilan [narkoba] gampang banget pindah tangan. Sudah jadi rahasia umum juga kala itu. Banyak orang tahu tapi diam saja,” ujarnya.
Pria yang kini tinggal di Magelang ini mengaku, kalau untuk narkoba untungnya dia bisa terselamatkan. Deni bersyukur ia dan teman-temannya tak ada yang punya niat mengonsumsi barang haram tersebut. Hal-hal nakal yang ia pelajari dari Bioskop Senopati, paling mentok adalah belajar ngerokok, minum-minuman keras, dan bercumbu bersama pasangan.
“Dulu itu minuman keras bebas dijualin, angkringan-angkringan sekitar Senopati nyediain semua. Kalau malam itu anak-anak muda pada minum-minum di sana.”
Cinta pertama yang jadi teman hidup
Deni pun berkisah, momen paling tak terlupakan yang ia rasakan di Bioskop Senopati adalah penemuan cinta pertamanya. Ya, pacar pertama Deni yang kebetulan sekarang jadi istrinya, ia temukan di Bioskop Senopati.
“Kita dulu beda sekolah, tapi saya sering melihatnya main di sekitaran Senopati,” kisah Deni.
Waktu beberapa kali bertemu, Deni mengaku sempat ragu untuk berkenalan. Takut kalau ternyata perempuan itu orang berada. Jelas levelnya berbeda, pikir Deni. Namun, teman-temannya terus mendorongnya untuk berani berkenalan. Dan setelah tahu kalau perempuan tadi ternyata juga kalangan jelata seperti dia, nyalinya pun muncul.
“Setelah beberapa kali jalan, pacaran lah kita. Ya namanya anak muda, kalau pacaran ya ngapain sih. Apalagi di Senopati yang remajanya bandel-bandel,” ujarnya yang diikuti gelak tawa.
Deni mengaku pacaran cukup lama. Meski sempat berpisah karena pacarnya pindah ke Kota Magelang, mereka akhirnya menikah pada 1997.
“Pokonya Bioskop Senopati itu menjadi tempat yang enggak bakal saya lupakan di Jogja.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Riwayat 5 Bioskop Mati di Jogja, Ada yang Berubah Jadi Teras Malioboro
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News