Menerima beasiswa LPDP tidak selalu menyenangkan seperti yang dilihat banyak orang. Nyatanya, ada juga kondisi tidak enak yang harus mereka rasakan. Salah satunya, Abdu Rahim (35) yang sudah mencicipi asam garam kehidupan sebagai penerima beasiswa LPDP.
#1 Ekspektasi dari orang-orang sekitar
Saat mendapat beasiswa LPDP di tahun 2015, Abdu langsung mendapat tekanan mental. Bagaimana tidak, baginya, beasiswa LPDP bukan sekonyong-konyong hadiah yang jatuh dari langit. Mereka ada tanggungjawab moral untuk menyelesaikan studi tepat waktu.
Setelah lulus, mereka dituntut untuk berkontribusi dalam negeri. Sementara, cari kerja di zaman sekarang tidak mudah meskipun memiliki gelar sarjana.
“Orang tuh melihatnya kayak, ‘wah, pintar banget bisa dapat LPDP,’. Mereka punya ekspektasi kalau kami harus selalu perform. Nggak cuma di akademik tapi di kehidupan sehari-hari,” kata Abdu saat dihubungi Mojok, Sabtu (23/8/2025).
“Apalagi waktu berangkat ke luar negeri, kami kayak ditunggu suksesnya, kehebatannya. Nah kalau tiba-tiba perform kami turun, rasanya kayak ngecewain banyak pihak,” lanjutnya.
Padahal, tidak semua ilmu perkuliahan bisa langsung diterapkan langsung saat mereka kembali di Indonesia. Apesnya, malah mereka nggak ada kerjaan atau tidak dihargai di negara sendiri.
“Mungkin ada yang bilang, ‘kok bingung? Kan waktu ngumpulin esai udah nulis mau ngapain?’. Ya benar, esai itu dibuat sebelum mulai kuliah. Pastinya kami juga ingin melakukan itu, tapi ternyata banyak variabel lain yang belim kami tau waltu menulis esai itu,” kata Abdu.
Sepengalaman Abdu, faktor-faktor itu baru terbuka saat ia sudah kuliah atau bahkan setelah lulus. Dari situ ia jadi sadar, betapa sulitnya mewujudkan keinginan yang sudah ia tulis dalam esai.
“Aku berharap, ini tidak terdengar seperti dalih semata. Aku hanya ingiin bilang kalau ini nggak mudah, tapi kami tidak pernah lupa. Saya yakin para penerima beasiswa LPDP lainnya pun mikir, mau gimana ngasih kontribusi balik,” ujar Abdu.
#2 Butuh modal awal untuk penerima beasiswa LPDP
Persiapan Abdu untuk kuliah di luar negeri membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ia harus mengurus visa, insurance, Indonesia Health Services, hingga membayar tiket pesawat dengan uangnya sendiri.
Meskipun pada akhirnya nanti biaya tersebut bakal di-reimburse tapi ia tetap membutuhkan modal yang tidak sedikit di awal.
“Saya sendiri sempat harus utang buat nutupin biaya awal, apalagi kalau bawa keluarga ke luar negeri. Keluarnya makin banyak,” ujar Abdu.
Lebih dari itu, kebutuhan hidup di luar negeri juga lebih mahal dibandingkan dengan Indonesia. Mojok pernah mewawancarai Wulida Wahidatul (25) yang kuliah di Amerika Serikat (AS). Ia mengaku harus berhemat dengan menggunakan transportasi umum, memasak sendiri, dan mengelola keuangannya.
Baca Halaman Selanjutnya
Penerima beasiswa LPDP banyak haters












