Wedang Tahu Bu Kardi boleh jadi merupakan pionir minuman dari sari kedelai atau kembang tahu di Jogja. Berawal dari resep yang dikirim sang anak yang sedang bekerja di Malaysia, kini sukses jadi salah satu rekomendasi kuliner khas di Jogja.
***
Tahun 2008, tidak bisa dilupakan oleh Ibu Sukardi (55). Saat itu, keluarga kecilnya dalam kebimbangan. Ia dan suaminya jualan sayur, khususnya petai di Pasar Demangan, Yogyakarta. Namun, sayur satu ini hanya datang musiman. Kalau sedang musim banyak, tapi kalau lagi nggak musim ia kesulitan jualan.
Sebuah resep kembang tahu dari Malaysia
Anak perempuannya yang bekerja di sebuah pabrik di Malaysia mengirimkan resep minuman yang terbuat dari sari kedelai yaitu kembang tahu. “Anak saya meyakinkan untuk mencoba jualan minuman dari kembang tahu. Soalnya di Jogja saat itu tidak ada yang jualan,” kata Bu Kardi, Rabu (29/8/2023).
Saya sengaja mampir untuk memesan semangkuk wedang tahu di kios kecilnya yang terletak di Jalan Asem Gede, Cokrodiningratan, Jetis Kota Yogyakarta. Udara pagi hari yang dingin di Yogyakarta menjadi alasan saya untuk berkunjung ke Wedang Tahu Bu Kardi.
Bahkan sejak membuka mata, pikiran dan hati saya langsung terbayang lembutnya kembang tahu yang berwarna putih susu, lumer dimulut. Hangatnya kuah jahe akan menjadi penyempurna sarapan pagi di hari Rabu.
“Anak saya itu jajan minuman kembang tahu sepulang dari pabrik, di Malaysia ternyata banyak yang suka,” kata Bu Kardi. Usai menikmati hangatnya semangkuk wedang tahu, saya meminta waktunya untuk berbincang tentang usaha wedang tahu yang ia dirikan 15 tahun silam.
Sukardi dan istrinya kemudian tertantang untuk membuat minuman seperti resep yang anak perempuannya kirim dari Malaysia. “Sampai ketemu resep yang pas itu mungkin sampai 50 kali mencoba,” kata Bu Kardi.
Menurutnya, tidak mungkin ia menjual wedang tahu dengan resep yang sama persis dengan yang anaknya berikan. “Kami buat sesuai dengan cita rasa orang Jogja. Kuahnya dari gula jawa, jahe dan aneka rempah-rempah,” kata Bu Kardi.
Pernah cuma laku 3 mangkuk dalam sehari
Ia dan keluarganya yakin, orang nantinya akan suka dengan minuman dari kembang tahu yang kemudian orang di Jogja mengenalnya sebagai wedang tahu. Alasannya, itu adalah minuman sehat yang tidak menggunakan pengawet atau pemanis buatan. Namun, perkiraannya salah. Bukannya laris, di awal jualan, pasangan suami istri ini justru banyak merugi.
“Pernah jualan dari jam 7 pagi sampai jam 3 sore, cuma laku 3 mangkuk,” kata Bu Kardi tersenyum. Bu Sukardi ingat, pertama ia jualan satu mangkuk wedang tahu ia jual dengan harga Rp4.000. Sekarang selang 15 tahun kemudian, satu mangkuk ia jual Rp8.000.
Ia sudah mencari tahu, orang-orang yang suka dengan minuman berbahan kembang tahu adalah keturunan Tionghoa. Maka sejak awal, ia dan suaminya memilih kawasan Kranggan sebagai tempat jualan.
Pertimbangannya, sebagai salah satu kawasan Pecinan dan banyak tempat makan, pasti orang-orang akan tahu kalau ada yang jualan kembang tahu di tempat itu. “Tapi kan banyak orang yang tidak tahu, tidak kenal dengan minuman dari kembang tahu,” kata Bu Sukardi.
Sedikitnya orang yang beli, tidak melemahkan semangat keduanya untuk jualan wedang tahu. “Pokoknya saya yakin saja ini nantinya akan laris, karena ini kan minuman sehat,” kata Bu Kardi.
Saat itu wedang tahu dijual menggunakan sepeda onthel. Setiap hari, suaminya akan bersepeda sekitar 8 kilometer dari kediaman mereka di Dusun Jetak, Sidokarto, Godean menuju Jalan Asem Gede di sekitar pasar Kranggan.
Namun, karena ingin masih sepi pembeli, Pak Kardi kadang jualan ke gang-gang di wilayah Kota Jogja. “Cerita sedihnya itu pernah bapak keliling jualan kembang tahu, terus kesasar dan linglung. Sama polisi kemudian diminta tenang dulu. Saking bapak nggak tahu jalan saat itu,” kenang Bu Kardi.
Menemukan titik balik jualan di 2016
Meski hasil jualan masih tidak menentu, Bu Kardi dan Pak Kardi tetap yakin, pada saatnya akan semakin banyak orang yang mengenal wedang tahu racikan mereka.
Dulu beberapa kali saat jam istirahat kantor di siang hari saya mampir ke Wedang Tahu Bu Kardi. Saya ingat, Pak Kardi menggunakan sepeda onthel saat jualan. Seiring waktu saya sering tak menemuinya. Saya berpikir, bapak itu tidak lagi jualan. Rupanya, dalam beberapa tahun, terjadi perubahan yang baik dalam usaha wedang tahu pasangan suami istri ini.
Perubahan yang baik itu terjadi pada tahun 2016. Ini tak lepas dari era media sosial yang kian masif. Banyak anak-anak muda yang ketika membeli kemudian memposting foto atau video ke media sosial mereka.
“Sejak itu makin banyak orang yang tahu tentang Wedang Tahu Bu Kardi,” kata Ridho (27) anak ragil Bu Kardi yang membantu jualan. Ridho adalah calon penerus Wedang Tahu Bu Kardi. Ia sudah ditempa untuk mandiri. Ridho bahkan pernah jualan keliling sendiri wedang tahu keliling. Sama seperti yang orang tuanya alami, rupanya orang-orang banyak yang nggak tahu tentang wedang dari kembang tahu.
Orang Jogja lebih familiar dengan wedang ronde yang penjualnya banyak bertebaran di sudut-sudut Kota Jogja.
Hal itu diakui Diah (26) seorang karyawan dari Tangerang yang tinggal di Jogja. Ia tak menyangka jika di Jogja ada yang jual minuman kembang tahu. “Ini minuman kesukaan sejak kecil dan memang sudah jarang yang jualan, ternyata di Jogja ada yang jual,” kata Diah.
Menurutnya cita rasa Wedang Tahu Bu Kardi sesuai dengan seleranya. Tidak begitu manis dengan kuah jahe yang kuat.
Wedang Tahu Bu Kardi kini selalu habis sebelum tengah hari
Ketika mulai banyak orang tahu tentang Wedang Tahu Bu Kardi, pembeli makin banyak. Bahkan, keluarga ini tak lagi jualan sampai sore hari. “Kalau di Asem Gede, kami buka dari jam 06.45, sampai paling jam 11.00 sudah habis,” kata Bu Kardi.
Selain di Jalan Asem Gede, di pagi hari mereka juga jualan wedang tahu di sekitar Pasar Pathuk, Malioboro. Di tempat itu, mereka buka dari pagi hingga pukul 09. 30. “Kalau yang di Pasar Pathuk nggak habis dibawa ke sini,” kata Bu Kardi.
Selain jualan pagi hari, Wedang Tahu Bu Kardi kini juga jualan sore hingga malam hari di tempat yang berbeda yaitu di Jalan Menteri Supeno Umbulharjo (barat XT Square) dan di dekat perempatan Mirota Kampus Godean. “Kalau sore kami buka dari jam 17.00 sampai jam 21.30,” imbuh Ridho.
Jika dulu cukup sulit menjual wedang tahu, kini hampir pasti wedang tahu yang Bu Kardi jual habis.
“Kalau hari biasa habis sekitar 150 mangkuk, kalau akhir pekan bisa 200 mangkuk atau lebih,” ujar Bu Kardi.
Bu Kardi mengatakan, setelah memiliki empat tempat jualan, ia tidak ingin muluk-muluk, yang penting ia ingin mewariskan ilmu dan usaha jualan ke anak-anaknya. Itu sudah lebih dari cukup.
Penulis: Agung Purwandono
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGA Wedang Bajigur Tamansari, Langganan SBY, Olahan Pensiunan Guru
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News