Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan adalah salah satu lokasi yang bisa merekam bagaimana absurdnya tingkah manusia. Ini dapat ditengok dari keadaan dan temuan para pemulung. Ada hal-hal ganjil tak terduga yang bisa membuat hati ngilu sampai geleng-geleng kepala.
***
Rabu (9/11/2022) siang kawasan TPST Piyungan sempat diguyur hujan deras. Meski sore sudah terlihat cerah, bekas hujan deras di siang harinya masih terasa dari tanah becek. Perlu kehati-hatian ekstra agar tidak terpeleset atau menginjak tahi sapi yang berserakan, apalagi saya hanya memakai sandal jepit.
Sejak beroperasi tahun 1996, truk-truk di TPST Piyungan bisa menumpahkan sampah hingga 750 ton setiap hari. Lokasi ini sempat ramai diberitakan karena buka tutup blokade oleh warga setempat. Mereka menolak perluasan lahan sampai menuntut pengelolaan air lindi.
TPS Piyungan Transisi I sendiri telah dibangun sejak bulan Mei 2022, seiring dengan penuhnya zona A dan B. Dikabarkan jika lahan seluas 1,1 hektare ini menelan anggaran hingga Rp19,8 miliar. Di lahan baru ini lah saya mendengarkan kisah dari para pemulung tentang keluh kesah mereka, barang-barang yang membuat mereka senang, dan kekhawatiran mereka akan terusir dari tempat mencari nafkah.
Mbah Jan (68) telah menjadi pemulung 27 tahun lamanya. Ia biasa mencari botol bekas untuk dijual. “Sekarang harganya turun semua. Dulu plastik botol ini satu kilo lima ribu sekarang cuma dua ribu. Tapi daripada di rumah nganggur, mending tetep cari uang aja untuk jajan,” keluhnya sembari mengambil salah satu botol untuk ditunjukan kepada saya.
Banyak dari pemulung ini adalah perantau. Baik itu dari Demak, Gunungkidul, sampai Wonosobo. Para pemulung tinggal bersama juragan yang membeli hasil rongsokan mereka.
Di area sekitar TPST Piyungan ini para pemulung membangun bedeng-bedeng berdinding gedek dan beratapkan seng. Ukurannya sekitar 3×2 meter, hanya cukup digunakan sebagai kamar tidur saja. Pengap dan gelap adalah dua kata yang cocok untuk menggambarkan keadaan tempat tinggal ini.
Kala datang ke sana, saya lihat beberapa bedeng juga memiliki televisi. Di sela-sela jalan becek antara bedeng, terlihat beberapa wanita sedang memasak menggunakan kayu bakar. Di sisi lain, seorang Ibu sedang sibuk menggendong anaknya. “Lagi meriang jadi rewel, Mbak,” katanya.
Mengonsumsi makanan mewah dari sampah
Sekitar pukul 16.00 WIB itu, para pemulung terlihat santai mencari nafkah. Banyak dari mereka berada di lubang galian mencari rongsokan. Sedangkan lainnya, ada di bilik-bilik bawah payung memilah temuan. Tidak hanya barang bernilai yang disisihkan. Namun, barang-barang yang masih layak, termasuk makanan. Kadang ada makanan yang tergolong mewah yang mereka temukan.
Hal tersebut dituturkan oleh Sumarni (50). Ia telah menjadi pemulung di TPST Piyungan selama 15 tahun.
“Macem-macem. Ada beras, minyak goreng, gula. Kadang dari supermarket ada ikan sama ayam. Kalau dari sana kan masih layak soalnya masih bungkusan. Jadi, bisa dimakan,” jelas mantan buruh warung makan di Pantai Baron ini.
Sumarni menjelaskan jika buangan dari pasar swalayan seringkali masih terbungkus rapi dengan plastik. Karena itu, tidak ada pengolahan khusus ketika memasaknya. Ia juga mengaku tidak pernah mengalami keluhan apapun ketika mengonsumsi sisa sampah ini.
Berbeda dengan Sumarni yang mengumpulkan berbagai jenis makanan asalkan terlihat layak, Sami (60) hanya mengambil sisa makanan dalam jenis-jenis tertentu saja.
“Saya nggak seperti teman-teman yang apa-apa mau. Kalau nemu paling saya kasihin ke lainnya. Sayur-sayur seperti kembang kol itu mending beli. Di warung 2500 udah dapet,” ujarnya.
Dirinya sendiri pernah mengonsumsi daging ayam yang ditemukan dalam kondisi bagus dengan plastik pembungkus yang masih utuh. Mantan petani dari Tanjungsari ini turut menyebutkan jika sebenarnya ia tidak tahu pasti asal dari makanan-makanan yang dibuang ini.
Menemukan uang kaget
Saya berkeliling sembari menahan napas selama mungkin. Bagi saya, bau busuk tetap terasa menyengat meski Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) DIY sempat menyemprotkan 30 ribu liter eco enzyme pada Sabtu, (17/9/2022) lalu.
Di antara bau dan gundukan barang sisa dari warga Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul ini, para pemulung mengaku menemukan benda berharga meski hanya sesekali. Ngatimin (50) bercerita jika ia pernah menemukan emas walau hanya dua gram. Ia lalu menjualnya dengan bayaran 200 ribu. Jumlah yang lumayan karena hampir setara dengan upah memulungnya selama dua hari.
Nadzifah mengaku juga menemukan hal yang sama. Ia mendapati uang sebesar Rp400 ribu. “Tetangga itu malah dua jutaan sekali nemu. Tapi dibagi-bagiin. Terus orangnya itu cuma ambil berapa gitu,” tambahnya.
Jumlah yang mereka temukan terkadang mencapai angka yang fantastis. Pemulung lain bernama Pardi (45) pernah menemukan uang dolar Singapura. Ketika ditukarkan di bank, ia mendapat uang sebesar Rp30 juta.
“Namanya rezeki. Ya tidak disangka,” ujar lelaki tiga bersaudara ini.
Pardi turut mengisahkan jika dirinya pernah menemukan sebuah tas berisikan HP dan alat make-up. HP merek Redmi ia berikan anaknya meski sempat ditawar dua juta. Sedangkan alat make-up, ia pilih untuk dijual. Menurutnya, pemiliknya adalah seorang perempuan yang barangnya tidak sengaja terbuang.
“Tapi susahnya jadi pemulung ya panas. Bau. Kotor seperti ini,” jelasnya sembari menunjukan tangannya yang penuh bercak kotoran kepada saya.
Soal keadaan pemulung yang dilekatkan dengan hal-hal jorok dan rendahan, Murdani (75) bercerita kepada saya. Menurutnya, pemulung itu memang pekerjaan rendahan, tetapi sejatinya bisa memberikan penghasilan yang lumayan. Ia sendiri berhenti dari pekerjaan itu karena usia dan tenaga yang sudah tidak perkasa. Saat ini dia menjadi pengurus Masjid Piyungan sekaligus sebagai tukang sapu di TPST Piyungan. Ia membersihkan sampah yang sekiranya tercecer.
Menjumpai mayat bayi adalah hal biasa
Saya bertemu dengan delapan orang pemulung. Seluruhnya mengatakan pernah menemukan atau setidaknya tahu persoalan ini. Mbah Jan mengatakan jika ia sempat menjumpai dua bayi sekaligus dalam satu hari. Jenazah ini ditemukan di samping mobil bego di zona pembuangan yang lama.
Awalnya mayat ini sempat dikira mainan anak, tetapi ketika disenggol ternyata badannya lembek dan kenyal. Hingga akhirnya diketahui jika itu adalah bayi manusia.
“Mungkin itu orang yang aborsi. Meteng ra nduwe bojo, bar metu terus diguwang. Ha penak le gawe karo le ngurusi,” komentar perempuan yang telah 27 tahun lamanya berprofesi sebagai pemulung ini.
Nadzifah (36) juga pernah melihat mayat bayi. Ini ditemukan oleh teman pemulungnya. “Bayinya laki-laki. Sudah diwadahi kardus. Badannya kotor, tapi ya sudah meninggal,” jelasnya.
Ketika menemukan mayat bayi atau sekadar potongan tubuh manusia, para pemulung ini bersama-sama akan mengurus dan menguburkannya. Hal ini diakui oleh Murdani (75).
“Selama saya di sampah, kalau cuma lima aja ada. Saya nggak nemu sendiri, cuma dipasrahi untuk dimakamkan. Namanya juga perilaku orang di dunia,” ujar pengurus majid ini sembari tersenyum.
Pardi turut menjelaskan jika mayat yang ditemukan memang hanya diurus oleh warga secara mandiri. “Tidak lapor siapa-siapa. Repot polisinye saben-saben ngurusi kaya ngono. Tulang-tulang aja juga pernah kok. Tapi cuma diem aja,” katanya sembari melinting kretek di bedengnya.
Kapok mengambil barang keramat
TPST Piyungan kembali berhasil mengejutkan saya. Pasalnya, barang-barang keramat ternyata juga bisa ditemukan di sini. Hal ini diungkapkan oleh Pardi. Ia pernah menemukan tombak dan keris berbahan besi kuning. Mantan petani ini percaya jika barang semacam itu ada penghuninya dan menyimpan kekuatan gaib.
“Dulu itu ada yang ngambil semacam itu. Terus sakit keluarganya. Jungkel-jungkel seperti orang kesurupan. Saya apal banget masalah ini, Mba,” jelas Pardi pada saya.
Menurut penjelasan Pardi, ketika seseorang membawa barang semacam tadi, anggota keluarganya bisa terdampak jika tidak kuat. Pardi mengetahui persoalan ini karena ia diminta untuk menolong mereka.
“Sampai sekarang kalau ada orang yang kesulitan saya menolong dengan senang hati dan tidak minta bayaran. Tidak semua orang mengetahui ini. Yang bisa tahu ya yang pernah tirakat, puasa ngebleng (sehari semalam), puasa mutih, bertapa,” jelasnya.
Pardi mengaku menjalankan hal-hal yang ia sebutkan di atas semasa muda. Kala itu, ia adalah salah satu santri di Ponorogo, Jawa Timur.
Di lain waktu, ia juga pernah menolong seorang pemulung yang tidak bisa melangkah dan kesulitan kencing karena mengambil wayang dengan tokoh Semar. “Dia ngeluh air kencingnya gak bisa keluar. Jalan kencingnya sampai mlembung-mlembung gitu. Keras dan kesakitan dia,” tuturnya.
Setelah ia panjatkan doa-doa, wayang semar tersebut ia lepas setelah ia simpan satu bulan lamanya. “Saya labuh ke tempat yang baik buat dia,” jelas Pardi.
Pengalaman-pengalaman di belakang memberinya sebuah pelajaran. Hingga suatu ketika ia menemukan sebuah batu dalam bungkusan kecil, ia memilih untuk menyingkirkannya agar tidak dilangkahi oleh orang-orang.
“Cuma batu di dalam kantong. Segini besarnya,” tutur Pardi seraya memperlihatkan jempolnya.
Menurutnya, bahaya dan penanganan barang-barang semacam tadi bisa diketahui melalui mimpi. “Misi-misi seperti itu semua lewat mimpi. Setengah tidur, bukan ketiduran pulas. Jadi nggak secara langsung kodamnya.”
Pardi turut bercerita jika seluruh barang yang ditemukan pasti ia jual. Kecuali kitab suci Al-Qur’an yang selalui ia simpan. “Banyak saya nemu Al-Qur’an. Itu orang-orang tidak bertanggung jawab. Masih utuh itu, tapi kalaupun cuma dua lembar juga saya simpan.”
Diusik hantu kala bekerja
Cerita ini saya peroleh dari Sugiyatno (50). Pria yang telah bekerja sebagai pemulung hampir genap 30 tahun. Sebelum di TPST Piyungan, ia adalah pemulung di Blambangan, Magelang. Ia sempat bekerja menjadi pengayuh becak, tetapi karena penghasilan yang tak pasti ia kembali memilih pekerjaan pemulung.
“Nggak lanjut karena sepi. Kalah sama taksi dan ojek, apalagi kalau sekarang,” jelas pria asli Wonosari, Gunungkidul ini.
Pengalaman melihat hantu ia alami ketika memindahkan alat dan barang memulungnya ke lokasi baru yakni zona transisi. Pekerjaan ini dilakukan selepas salat tahajud sekitar pukul satu. Karena keadaaan gelap, ia menyalakan lampu motornya sebagai alat penerangan. Sementara dirinya merapikan barang-barang, entah mengapa lampu motornya tiba-tiba mati.
“Ada suara krosek-krosek. Waktu saya toleh ada bayangan besar diem aja. Saya kan orang Islam jadi saya kasih salam. Assalamulaikum,” tuturnya.
Pada bayangan itu, Sugiyatno berkata bahwa dirinya hanya ingin mencari rezeki. Semisal tidak dibolehkan ia akan pindah. Setelahnya, ia menuju ke sepeda motor dan kembali pulang. Untungnya tidak ada kejadian nahas lain yang dialami sampai ke bedeng tempat ia dan kawan-kawan pemulungnya tinggal.
Sugiyatno menjelaskan jika kawasan ini memang angker. Suatu ketika, mobil bego yang tanpa supir bisa hidup sendiri. Di lain waktu, tiga orang temannya yang sedang bekerja lembur tiba-tiba juga merasa disapa dan disentuh pundaknya. Kejadian ini membuat mereka langsung melarikan diri.
“Makanya dicarikan kiai itu. Lalu ketika malem Jumat dipimpin doa,” tuturnya.
Sapi yang memakan emas
Sapi akan ditemukan di sepanjang TPST Piyungan. Satu hal lain yang selalu ada selain sampah. Sapi-sapi gemuk ini akan dibiarkan sepanjang hari dan baru digiring pulang kala sore menjelang. Sedangkan sisanya, dibiarkan bermalam di tempat sampah.
Mudah dilihat jika para sapi memakan sampah dan meminum limbah di TPST Piyungan. Meski begitu, Murdani sebagai salah satu pemilik sapi mengaku tidak kesulitan kala menjualnya.
“Lha jagal lagi motong sapi malah ada emasnya. Lembu itu kan makan plastik yang sekiranya asin-asin. Nah, mungkin terbawa. Kalau uang receh sama paku ikut termakan ya sudah biasa,” jelasnya.
Menurut Murdani, mengembala sapi di TPST Piyungan merupakan usaha yang sangat menguntungkan. Dirinya tidak perlu mencari makan, minum, atau memandikan ternak ini. Usaha ini cukup santai jika dibandingkan dengan pemulung yang harus bekerja sedari pagi pukul tujuh hingga sore pukul lima.
Larangan memulung dan harapan diberi jalan hidup
Ketika saya tanya pada para pemulung mengenai harapan ke depannya, beberapa dari mereka berterus terang ingin berhenti dari pekerjaan ini. Salah satu yang mengakuinya adalah Ngatimin.
“Pengen kerja lain le ora rekoso. Pengen berhenti walau sebentar, tapi kalau nggak kerja ya nggak dapet duit. Anak saya dua belum mentas,” harapnya. Ia bercerita jika anak bungsunya masih duduk di kelas 6 sekolah dasar.
Di tengah kebutuhan yang terus mendesak ini, pemerintah setempat justru melarang pemulung untuk mendirikan bangunan liar dan menaruh hasil pulungan di zona transisi. Warga setempat juga tidak dibolehkan menggembalakan sapinya. Hal ini terlihat dari baliho-baliho yang dipasang di sepanjang area.
Merespons hal ini, para pemulung hanya berharap jika pemerintah bisa lebih menaruh perhatian kepada mereka. “Pemerintah jangan semena-mena. Kita rakyat kecil juga butuh perlindungan, butuh makan. Punya hak. Kami kan juga manusia. Jangan seenaknya nyuruh pergi,” kata Sugiyatno.
Sembari berjalan pulang bersama saya, Sugiyatno berharap ada pilihan pekerjaan lain jika pemerintah ingin para pemulung berhenti dari profesi ini. “Kalau dibangun pabrik pengolahan, yang bisa kerja cuma yang muda-muda. Lha gimana nasib kami? Kasih jalan kami harus bagaimana,” pungkasnya.
Reporter: Delima Purnamasari
Editor: Agung Purwandono