Suara gamelan bersahut-sahutan memecah heningnya malam. Perpaduan suara bonang, saron, kendang, dan gelegar gong membahana di pedukuhan kecil yang penuh rimbun pepohonan tersebut. Suaranya berasal dari sebuah rumah dengan ruang depan yang begitu lebar dan terang oleh cahaya lampu.
Di rumah itu, sekumpulan pemuda menari-nari begitu lincah mengikuti alunan musik gamelan. Anyaman bambu berbentuk kuda tampak menyatu dengan tubuh mereka sehingga tampak luwes dan leluasa dalam setiap gerakan.
Gelak tawa senang sesekali terdengar dari penari maupun penabuh gamelan ketika ada dari penari yang salah gerakan sehingga nyaris bertabrakan dengan penari lain, maupun ketika penabuh saron salah memukul bilahan logam sehingga alunan nada menjadi sumbang.
Sabtu malam, 12 Juni 2021 kala itu, malam di mana para pemuda berkumpul dan berlatih kesenian. Mereka melakukannya rutin setiap minggu sekalipun tidak pernah ada yang menanggap mereka untuk tampil. Seingat saya, terakhir mereka tampil adalah di sebuah sekolah dasar (SD) ketika perayaan kemerdekaan Indonesia tiga tahun silam.
Mereka terus berlatih meski tidak untuk tampil. Sementara itu, saya hanya duduk di bangku sambil menikmati kopi panas yang tersaji, mengamati para pemuda yang berlumur peluh, terus menari, pun tak peduli udara malam nan dingin di pedukuhan Kaliagung, Desa Sokoagung, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo tersebut.
Tarian berakhir tak lama setelah itu. Mereka memutuskan istirahat sejenak sebelum akhirnya bertukar posisi latihan, yang tadi menari akan menjadi penabuh, dan yang tadi menabuh gamelan akan menari. Pada sela-sela istirahat tersebut saya sempat diajak bergabung, entah untuk menari maupun menabuh, tetapi saya menolak.
Ya, saya memang pernah menjadi bagian dari kelompok seni Tri Budoyo, tetapi itu sudah belasan tahun yang lalu. Saya masih ingat cara menabuh bonang, pun masih sanggup mengikuti tarian, tetapi malam itu saya hanya ingin berpuas diri menjadi penonton.
Latihan dilanjutkan dengan tarian yang lebih pelan. Suara bonang bersahutan dengan saron, kendang, dan diamini oleh gelegar gong. Pun para penari menyuguhkan tarian yang sungguh luar biasa. Dengan segenap yang mereka miliki, tentu saja saya terheran-heran kenapa tidak banyak yang mengundang mereka untuk tampil.
Kelompok seni yang lahir karena ingin bersenang-senang
“Ada perbedaan zaman antara dulu dan sekarang, Mas. Perbedaan itu membuat penikmat kesenian desa seperti Tri Budoyo ini menjadi tampak sedikit,” ujar Lik Wagiyan, (52), ketika saya ajak berdialog sambil menikmati kopi dan menonton para pemuda berlatih. Lik Wagiyan sendiri adalah salah satu pendiri kelompok seni Tri Budoyo yang pertama kali dibentuk pada Juni tahun 1982 silam. Artinya tahun ini usianya 40 tahun.
“Dulu, ketika saya dan kawan-kawan membentuk Tri Budoyo, setiap kali pentas pasti ramai. Orang-orang dari luar desa datang. Bahkan dari luar kecamatan juga datang,” tegasnya sambil menyeruput kopi hitamnya.
“Pada masa itu, orang berjalan puluhan kilometer dari satu desa ke desa lain untuk menonton kesenian itu hal yang wajar. Apalagi kalau di desa mereka tidak ada kelompok kesenian, sudah pasti jalan kaki jauh tidak jadi soal,” terang Lik Wagiyan mengenang masa lampau.
“Kalau sekarang, jarang ada orang seperti itu, yang mau jalan jauh naik gunung turun gunung hanya demi menonton pentas kesenian.”
Saya paham yang dimaksud Lik Wagiyan. Pedukuhan atau Dusun Kaliagung memang area perbukitan yang jalannya sebagian masih tanah dan naik turun berkali-kali sehingga tidak semua tempat bisa dijangkau menggunakan kendaraan. Dengan kondisi jalanan seperti itu, sekalipun kelompok seni mengadakan pentas megah di lapangan SD, paling yang akan menonton hanyalah warga sekitar.
“Orang-orang di desa lain pasti memilih yang dekat-dekat saja kalau ada.”
Tarian belum usai di depan sana. Kopi di gelas saya pun belum tandas. Nampaknya, obrolan saya dengan Lik Wagiyan akan semakin panjang dan dalam. Saya lantas tertarik mengetahui bagaimana kelompok seni di pedukuhan terpencil bisa bertahan puluhan tahun jika memang hampir tidak ada penontonnya, dan Lik Wagiyan seketika memasang senyum penuh arti sebelum menjawab.
“Ini bukanlah sanggar seni, Mas. Ini adalah kelompok seni yang didirikan untuk diri kami sendiri.” Beliau menyeruput kopi hitamnya sekali lagi, yang kemudian juga saya ikuti.
“Kami membentuk Tri Budoyo puluhan tahun lalu itu bukan untuk mencari uang. Pada waktu itu, kami memang sangat menyukai kesenian dan menonton setiap kali ada pentas. Sampai suatu ketika, kami berpikir untuk membentuk kelompok seni milik kami sendiri.”
Beliau berhenti sejenak, lantas memandang ke atas tanpa memiliki fokus tertentu. Alunan gamelan lembut tampaknya membawa ingatan beliau melayang berpuluh-puluh tahun silam ketika gagasan terkait Tri Budoyo dimunculkan.
“Pikir kami, bagus juga kalau di Kaliagung ada kelompok seni kecil-kecilan. Setidaknya warga di sini tidak harus berjalan jauh kalau ingin menonton pentas seni. Maka dari itu, saya dan beberapa teman sepakat untuk mendirikan kelompok seni ini.”
Pada tahun 1982, Lik Wagiyan dan beberapa orang, termasuk salah satunya adalah ayah saya sendiri, sama sekali tidak memiliki keterampilan untuk menari maupun menabuh gamelan. Mereka hanya suka mengamati, mencoba-coba, latihan, dan terus belajar sampai akhirnya menemukan gerakan yang menurut mereka bagus.
“Kami iuran sampai cukup untuk beli ini itu termasuk pakaian dan gamelan besi yang sampai sekarang masih ada dan sudah mulai kumuh itu. Tetapi untuk kuda lumpingnya, kami menganyam sendiri.”
Lik Wagiyan mengatakan bahwa beliau dan teman-teman satu kelompok kesenian belajar dan berkembang bersama waktu demi waktu, sehingga menemukan konsep yang tepat untuk kelompok kesenian mereka.
“Ada yang sudah bisa menabuh gamelan karena belajar dari kelompok kesenian lain, lantas mengajarkan ke anggota kelompok lain. Begitu terus sampai akhirnya kami semua bisa. Dan seiring berjalannya waktu, kami mengusung nama Tri Budoyo, yang artinya tiga kebudayaan. Merujuk kepada kelompok kesenian kami mempelajari tiga kebudayaan seni yaitu Incling, tarian dengan kuda lumping yang temponya pelan dan panjang, Jathilan, yang lebih cepat dan pendek, dan ketiga adalah pentas Ketoprak.”
Tahun delapan puluhan adalah masa kejayaan kelompok seni Tri Budoyo. Antusias masyarakat masih sangat tinggi, pun pada masa itu belum terlalu banyak pilihan hiburan seperti pada masa kini. Kendati demikian, Lik Wagiyan mengatakan bahwa setiap kali mereka pentas, siapa pun yang menyelenggarakan pentas tidak harus membayar mahal.
“Yang penting cukup untuk penyelenggaraannya. Kadang, yang menyelenggarakan punyanya berapa, ya kami sanggupi sesuai dana. Yang penting ada untuk kelompok kami makan dan minum, itu saja. Kalau ada lebih uangnya, ya kami masukkan ke kas kelompok seni untuk memperbaiki apa yang perlu diperbaiki,” kenang Lik Wagiyan.
Tidak ada anggota yang dibayar setiap pentas
Saya lantas penasaran apakah masing-masing anggota menerima bayaran pentas atau tidak, dan sembari tertawa terkekeh kekeh, Lik Wagiyan menggeleng. “Tidak ada bayaran sama sekali. Kami ini menjalankan kesenian seikhlasnya saja. Semuanya gotong royong.”
Bahkan menurut Lik Wagiyan, hanya demi loyalitas dengan kelompok kesenian, beberapa anggota rela menunda bekerja demi menyelesaikan pentas. Mayoritas penduduk Kaliagung adalah petani gula jawa yang harus mengambil nira dua kali sehari, pagi dan sore, tidak pernah mengenal libur.
Sekali saja tidak mengambil nira, maka nira tersebut sudah tidak bisa diolah menjadi gula Jawa. “Dulu banyak anggota yang rela mengambil nira larut malam karena siang sampai sore harus ngurusin pentas. Semua itu, kalau bukan karena memang suka dan loyal, mana mungkin bisa?”
Loyalitas dan semangat bersenang-senang dengan kesenian tersebut yang akhirnya dipertahankan bertahun-tahun kemudian, bahkan sampai saat ini. Saya bisa melihat wujud nyata loyalitas itu, tampak pada pemuda-pemuda yang dengan antusias berlatih di depan saya.
Beberapa dari mereka—sama seperti kebanyakan pemuda di pedukuhan Kaliagung—bekerja sebagai kuli angkut kayu. Beberapa yang lain merantau ke Jogja. Beberapa yang lain masih sekolah. Dan mereka semua selalu meluangkan waktu setiap malam minggu hanya untuk berlatih.
“Mereka, anak-anak muda itu, juga sungguh luar biasa,” ucap Lik Wagiyan sambil mengalihkan pandangannya ke arah sekumpulan pemuda yang masih berlatih.
“Berlatih meski tidak akan ada pentas. Bahkan, kalau ada pentas juga tidak dibayar. Ditambah lagi, setiap kali pentas, mereka semua mengangkut gamelan dan segenap peralatan dari rumah ini ke area pentas.”
Mata Lik Wagiyan tampak begitu salut dengan kegigihan para pemuda anggota kelompok seni generasi saat ini. “Jalan di daerah ini kan susah. Gamelan dan lain sebagainya tidak bisa diangkut dengan kendaraan. Mau tidak mau, harus anggotanya yang mengangkat sampai lokasi.”
Ya, saya ingat masa-masa itu juga. Ketika saya masih aktif di kelompok kesenian Tri Budoyo dan harus berkilo-kilo mengangkat gamelan. Tangan membawa Saron sementara pundak dikalung satu buah gong, dan pundak lainnya masih harus membawa kuda lumping. Perjalanan membawa gamelan itu sungguh melelahkan. Pun masih harus langsung menata gamelan di area pentas. Pun masih harus pentas.
Setelahnya, mengemas dan kembali mengangkut gamelan ke tempat semula. Benar seperti kata Lik Wagiyan, kalau bukan karena loyalitas, apa lagi yang mau membuat anggota kesenian melakukan itu?
“Gamelan dan peralatan kesenian ada di sini, di rumah Lik Karso, salah satu anggota senior juga. Dikemasi dan diangkut ke tempat pentas. Nanti masih dikembalikan juga. Dulu semua itu dilakukan dengan jalan kaki. Kalau sekarang, sudah ada beberapa jalan yang bisa dilewati motor, maka bisa diangkut dengan motor. Tetapi tetap saja, mengangkut ke area yang bisa dilewati motor itu kan susah juga.”
Iya. Tetap susah ketika harus mengangkut berkilo-kilogram besi melintasi jalan tanah yang naik turun. Terlepas dari itu, saya lantas penasaran bagaimana kelompok kesenian mempertahankan kondisi segala peralatan seni mulai dari gamelan maupun kostum sementara tak ada banyak pemasukan yang didapat, terlebih juga karena beberapa tahun belakangan, mereka tak lagi tampil.
“Itulah hebatnya Lik Karso,” ungkap Lik Wagiyan kagum. “Beliau ini mau merelakan rumahnya sebagai markas kesenian kami. Gamelan, baju, kuda lumping, semuanya ada di rumah beliau ini. Dan luar biasanya, beliau ini selalu merawat baik-baik semua peralatan, tanpa pamrih.” Kami sontak memandang ke arah Lik Karso yang sedang ikut menabuh Saron jauh di depan sana.
“Tanpa pamrih. Bayangkan, setiap malam minggu, beliau menyambut kami semua yang ingin berlatih. Beliau juga menyediakan kopi, teh, dan cemilan untuk kami semua. Kalau ada baju sobek, dijahit sendiri. Kalau kulit sapi untuk kendang sudah tidak layak, beliau menggantinya sendiri. Barulah kalau memang ada kerusakan cukup parah, semisal bonangnya bolong dan harus ditambal, maka kami akan iuran.”
Sebelum saya mengobrol dengan Lik Wagiyan tadi, saya memang menyempatkan melongok kondisi gamelan besi yang sudah bertahan puluhan tahun tersebut. Kondisinya sudah usang dan berdebu, pun tampak bekas tambalan lubang pada bonang. Dengan kondisi tersebut, saya menjadi bertanya-tanya akan sampai kapan gamelan itu bertahan.
Jika suatu saat gamelan tersebut tak lagi bisa digunakan, apa jadinya kelompok seni Tri Budoyo? Mau membeli gamelan lagi? Tentu harga gamelan saat ini sudah teramat tinggi, berkisar antara 35 juta rupiah sampai ratusan juta rupiah. Dari mana kelompok seni di pedukuhan terpencil dapat memiliki uang sejumlah itu?
Percaya akan selalu ada penerus
Tarian selesai di depan sana. Para pemuda tampak bersimbah keringat, namun dengan leluasa tertawa bahagia sambil sesekali mengoreksi beberapa gerakan. Mereka tampak kelelahan, dan melihat mereka, saya menjadi penasaran apakah Lik Wagiyan pernah merasa begitu lelah dan enggan melanjutkan kelompok seni Tri Budoyo.
“Kelompok seni kami ini bisa dibilang bukan kesenian yang sebenarnya. Kami dari dulu hanya meniru. Tidak pernah mendatangkan pelatih. Kenapa kami terus bertahan? Ya karena tadi, kami memang menyukainya. Ada kepuasan tersendiri saat mengurusi kesenian ini. Kami melakukan semua ini untuk kami sendiri. Berawal dari suka, dan hasrat untuk melestarikan, maka urusan saya lelah atau tidak, apakah masih menjadi soal?”
Saya bisa memahami tekad Lik Wagiyan. Pun anggota-anggota senior tentu akan sepemahaman dengan beliau. Saya hanya mengkhawatirkan tentang generasi di masa mendatang, akankah memiliki tekad sekuat mereka atau tidak.
Lik Wagiyan terkekeh-kekeh ketika saya mengutarakan hal itu. “Kamu itu seperti saya yang mengkhawatirkan bagaimana masa depan anak saya,” jawabnya di sela-sela kekehan.
“Kita hanya harus percaya, kan? Lihat itu mereka. Kecapekan, tapi bisa tertawa-tawa seperti itu. Tidak semua dari mereka bisa merantau ke kota jauh karena banyak hal. Dan mereka yang di sini, pemuda-pemuda itu, selalu antusias saat berkumpul bersama setiap malam minggu. Dengan itu semua, apa lagi yang harus dikhawatirkan?” ujar ayah dari dua anak tersebut.
Ya. Mereka, pemuda-pemuda di depan sana, memang tampak begitu menikmati kebersamaan pada kelompok seni Tri Budoyo. Tak tampak dari mereka yang terpaksa bergabung maupun setengah hati selama proses latihan.
“Mereka bergabung atas dasar sukarela. Tidak membayar dan tidak dibayar. Kalau mereka misal ingin memiliki hidup lebih baik dan merantau jauh ke kota, ya itu keputusan mereka. Intinya, mereka yang ada di sini memang benar-benar karena mereka ingin di sini.”
Tak bisa dimungkiri, sebenarnya saya menyinggung terkait diri saya sendiri. Saya khawatir mereka akan menjadi seperti saya, yang harus merantau dan terjerat rutinitas sehingga membuat saya tidak memiliki waktu untuk pulang seminggu sekali.
Saya khawatir banyak dari mereka yang akan memilih jalan seperti saya juga, sehingga lambat laun, tak ada lagi pemuda-pemuda yang menari dengan penuh peluh seperti yang saya lihat saat ini. Saya khawatir kalau kelompok seni Tri Budoyo akan benar-benar selesai hanya karena tidak ada lagi penerusnya.
Atau, seperti kata Lik Wagiyan, saya saja yang terlalu mengkhawatirkan banyak hal. Ya, semoga saja memang demikian.
BACA JUGA : 18 Pertanyaan untuk Silampukau dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.