Rumah-rumah gedongan bertingkat yang kosong di Desa Bubakan, Girimarto, Wonogiri jadi saksi kesuksesan penjual bakso dan mie ayam wonogiri yang merantau.
***
Di Wonogiri, warung mie ayam nyaris seperti angkringan di Jogja. Keberadaannya selalu terlihat di setiap beberapa ratus meter. Namun, jumlah penjual di dalam kota belum seberapa ketimbang mereka yang memutuskan merantau untuk berdagang olahan mie merakyat ini.
Saat saya melakukan perjalanan ke Wonogiri selama empat hari, sejak Senin (30/10/2023) hingga Kamis (2/11/2023), banyak warga dan pedagang mie ayam di pusat kota yang menceritakan kawasan timur Wonogiri sebagai tempatnya para perantau. Warga dari kecamatan seperti Girimarto, Jatipurno, Jatiroto, hingga Puhpelem, banyak tersebar di Jakarta hingga beberapa kota besar di luar Jawa.
Sumarno (57), pemilik Mie Ayam Es Asem yang cukup legendaris di Wonogiri mengungkapkan saat dirinya mulai berjualan di tahun 1980-an, sudah banyak pedagang dari kawasan timur yang merantau ke Jakarta.
“Dulu saya belajar ke Pak Sabar dan Pak Jangkung yang sudah lebih dahulu mahir bikin mie ayam. Mereka asalnya dari Jatiroto,” ungkapnya saat saya jumpai di kediamannya.
Senada, Edi Sulistianto (44), seorang pengusaha kuliner di Wonogiri juga menceritakan saudaranya dari Puhpelem, kecamatan paling timur di kabupaten ini yang sukses berjualan mie ayam di Jakarta. Pada akhir 1990-an, saudaranya sudah punya belasan gerobak yang setiap hari berkeliling di sudut-sudut ibu kota.
Mereka juga menceritakan sebuah desa yang terkenal sebagai asal para juragan mie ayam dan bakso. Warganya merantau ke berbagai daerah meninggalkan rumah gedong di kawasan yang cukup terpencil di perbukitan timur Wonogiri. Tempat itu adalah Desa Bubakan yang terletak di Kecamatan Girimarto.
Jalan berliku menuju Desa Bubakan
Bubakan berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat Kabupaten Wonogiri. Jalan menuju ke lokasi tersebut penuh kelok dan tanjakan. Perjalanannya memakan waktu sekitar satu jam menggunakan kendaraan roda dua.
Pada awal perjalanan melewati lahan-lahan gersang, cuaca panas masih terasa. Namun, semakin lama, hawa sejuk menyapa. Girimarto merupakan kawasan dengan tanah yang cukup tinggi dan berbatasan langsung dengan Karanganyar. Di sisi utaranya, samar-samar terlihat Gunung Lawu.
Sepanjang jalan, saya menjumpai lebih dari dua puluh warung mie ayam. Setiap kilometer, selalu terdeteksi satu warung mie ayam di pinggir jalan. Itu yang bisa saya lihat sekilas sambil mengendarai motor. Jumlah aslinya tentu lebih banyak.
Namun, semakin mendekat ke Desa Bubakan, penjual mie ayam semakin jarang terlihat lagi. Barangkali karena kebanyakan yang menjualnya merantau ke luar kota. Sepanjang perjalanan saya mengamati dua tipikal rumah gedongan. Ada yang model rumah jawa berlantai satu dan beberapa tampak bergaya arsitektur klasik perkotaan yang bertingkat dengan saka besar yang tampak di terasnya.
Saat tiba di depan pintu gerbang desa, permukiman Bubakan tampak jelas. Desa ini berada di bukit sehingga dari bawah, rumah-rumah terlihat berjejer ke atas. Sebagian di antaranya memang terlihat besar dan megah.
Seorang perempuan yang baru selesai meladang, tiba-tiba menyapa saya dan rombongan. Ia bertanya, “Mau ke mana Mas?”
Saya menjelaskan hendak melihat rumah-rumah para perantau penjual mi ayam yang berasal dari Bubakan. Perempuan itu dengan antusias langsung menjelaskan bahwa desa ini tumbuh karena para perantaunya.
“Bukan Cuma ke Jakarta. Ada yang ke Sumatera, Dayak (Kalimantan), Papua, sampai ke Malaysia jualan bakso dan mie ayam,” terang Sarmi (55).
Mereka yang tidak merantau memilih mata pencaharian sebagai petani. Tidak seperti beberapa kawasan lain di Wonogiri, tanah Bubakan terbilang subur. Air cukup lancar untuk mengairi lahan pertanian.
Hidup susah di tanah rantau dengan rumah mewah di kampung halaman
Saya kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri jalan menanjak menuju Kutukan, satu dari sepuluh dusun yang ada di Bubakan. Sebelumnya, Tim Liputan Mojok sudah membuat janji dengan Kasno (42), kepala dusun Kutukan.
Sesampainya di Kutukan, pemandangan rumah-rumah bertingkat tampak semakin jelas di atas bukit. Sekilas, bangunan mewah itu sepi dari aktivitas penghuni. Pintu dan jendelanya tertutup rapat.
Kasno menjawab rasa penasaran kami dengan cerita bahwa sebagian rumah itu memang ditinggal oleh para penghuninya. Mayoritas warga Bubakan, khusus Kutukan, adalah para perantau.
“Kalau saya perkirakan dari total 180-an KK di Kutukan, 60 persennya itu merantau,” tuturnya.
“Itu Merantau ke Sumatera, sebelahnya ke Serang, selatannya ke Jakarta dan Subang,” sambungnya sambil menunjuk satu per satu rumah besar di sekitar kediamannya. Kasno mengajak kami naik ke atas dak rumahnya supaya bisa lebih jelas memandangi setiap sudut Kutukan.
Rumah-rumah mewah ini menurutnya jadi saksi kesuksesan para perantau. Nyaris semua perantau dari tempat ini adalah pedagang bakso dan mie ayam wonogiri. Sebagian kecil merupakan pekerja namun juragannya juga sesama orang Wonogiri.
“Yang bekerja itu yang muda-muda. Belajar dulu ke juragan. Setelah mahir buka usaha sendiri,” jelasnya.
Meski punya rumah besar-besar di kampung halaman, menurut Kasno, hidup para perantau tetap penuh perjuangan di kota-kota besar. Kasno juga sempat punya pengalaman merantau sehingga merasakan sendiri betapa berat perjuangan mencari uang jauh dari rumah.
“Rumah di kampung besar tapi namanya hidup di rantau itu ya tetap rekasa, Mas. Di Jakarta itu ibarat ‘urusan lo sendiri urusan gue sendiri’ nggak kaya di desa,” kelakarnya.
Rumah mewah di kampung ibarat hanya dinikmati setelah mereka benar-benar memutuskan pensiun dari pekerjaan di masa tua. Sebab, selama masih aktif berdagang mereka umumnya pulang 3-4 bulan sekali.
“Kadang bisa lebih cepat kalau ada hajatan di kampung,” tuturnya.
Baca halaman selanjutnya…
Saat Ramadan ramai kontes burung mahal antar perantau yang pulang