Terminal Bungurasih alias Terminal Purubaya menyimpan banyak cerita-cerita nelangsa, dari pengamen, pedagang asongan, ojek pengkolan, hingga mereka yang sedang mengadu nasib di tanah perantauan. Terminal yang meski berada di Kabupaten Sidoarjo ini jadi pintu gerbang utama Surabaya untuk transportasi umum lewat darat.
Mojok.co mencatat cerita-cerita nelangsa dari mereka dalam kesempatan pergi-pulang Rembang Surabaya di beberapa bulan terakhir ini.
***
Pukul 15.00 WIB persis, bus jurusan Surabaya Semarang yang saya tumpangi mulai tancap gas. Saat itu hari Minggu, 20 Agustus 2023, saya sedang dalam perjalanan pulang dari Surabaya, Jawa Timur ke Rembang, Jawa Tengah.
Saat bus mulai melaju perlahan, dari arah samping terlihat seorang bocah berkaos putih lusuh berlari dengan tergopoh mengejar bus yang saya tumpangi, sambil menenteng tas kecil dan kecrekan. Wajahnya tampak tegang, seolah tak ingin ketinggalan bus.
Ia adalah bocah pengamen yang sering saya jumpai dalam beberapa momen perjalanan Surabaya-Rembang atau sebaliknya.
Jika dari Terminal Bungurasih, biasanya ia akan nunut ngamen di bus pada jam tiga sorean. Lalu ia akan turun saat bus sampai di gerbang tol Tandes atau kadang juga ikut bablas sampai Terminal Bunder, Gresik.
Nah, paling sering saya bareng bocah pengamen ini kalau dalam perjalanan balik dari Rembang ke Surabaya. Biasanya ia akan masuk bus dari pom bensin Bunder di jam-jam memasuki waktu Isya.
Bocah yang suka duduk melamun di kursi dekat jendela
Dari beberapa kali bareng dengan si bocah pengamen ini, saya mencatat, ia selalu membawakan lagu-lagu bertema ayah dan ibu. Belakangan, ia sering menyanyikan lagu “Ayah Ibu” dari Karnamereka yang kebetulan memang sedang viral.
Suaranya jauh dari kata bagus. Ia juga sering tak hafal lirik, sehingga terkesan asal menyanyi.
Tapi, wajahnya yang polos dan tatapannya yang sering kosong membuat banyak penumpang tak tega. Sehingga, dari kursi ke kursi, pasti akan lebih banyak yang memberinya recehan ketimbang yang acuh tak acuh.
Apalagi. sejauh pengamatan saya, ia menjadi bocah pengamen satu-satunya dengan rute operasi Terminal Bungursih-Terminal Bunder dan sebaliknya. Belum pernah sekali pun saya menemui pengamen dari kalangan anak-anak di rute itu kecuali si bocah ini.
Setelah menerima recehan, ia akan langsung duduk di kursi yang kosong. Yang paling ia suka adalah kursi dekat jendela. Dari posisi itu, biasanya ia akan melamun menatap luar. Pandangannya akan terpaku lama saat melihat seorang anak digandeng atau digendong oleh ayah dan ibunya, Pemandangan yang memang sering dijumpai di pom bensin Bunder atau di jalur masuk Terminal Bungurasih.
Enggan menyinggung latar belakang keluarga
Namanya Ucil (10), begitu ia memperkenalkan diri saat akhirnya saya mendapat momen untuk ngobrol-ngobrol dengannya di perjalanan pulang edisi akhir Agustus 2023 ini.
Saat melihat Ucil berlari-lari mengejar bus yang melaju menuju pintu keberangkatan Terminal Bungurasih, saya lalu bergeser ke kursi bagian belakang yang masih kosong. Dengan asumsi, setelah mendapat recehan, Ucil pasti akan duduk di kursi kosong itu sambil melamun seperti kebiasaannya selama ini.
Benar saja, bocah berwajah dingin itu langsung mengambil duduk di kursi kosong depan saya. Saya pun bergeser ke depan, menjejerinya.
“Ibuk bapak onok lah (ada lah),” jawab Ucil pendek saja saat saya tanya, apakah ia ngamen atas izin orang tuanya. Atau barang kali ada kondisi yang membuatnya harus ngamen di saat anak-anak seusianya masih asyik bermain dan sekolah.
Menepis rasa iri pada anak-anak sebaya
Sayangnya, memang tak banyak informasi yang bisa saya kulik dari Ucil. Ia hanya bercerita sudah ngamen sejak umur tujuh atau delapan tahun.
Awalnya ia ikut-ikutan pengamen-pengamen lain. Lalu, mungkin karena banyak yang tak tega, Ucil pun diberi jam dan rute operasi sendiri. Sejak saat itulah ia mulai terbiasa keluar-masuk bus seorang diri, tanpa rasa takut.
Ia pun perlahan-lahan mulai mengenal beberapa kernet dan kondektur bus Surabaya-Semarang. Nama Ucil pun katanya ia dapat dari kernet-kernet itu, yang memanggilnya secara asal-asalan.
“Sudah nggak sekolah, harus cari uang. Ngamennya dari pagi. Paling jam sembilan jalan ke Bungur. Nanti pulang ke rumah kadang jam sepuluhan (malam),” ungkapnya datar.
“Aku seneng juga ngamen. Nggak iri sama anak-anak yang sekolah, main-main, ibuk bapaknya punya uang banyak. Ngamen di bus juga main bagi aku. Malah dapat uang,” ujarnya.
Obrolan kami hanya berhenti sampai di situ. Karena Ucil ternyata memilih turun di gerbang tol Tandes. Tanpa permisi, tanpa basa-basi, Ucil melewati saya yang duduk di sampingnya begitu saja. Ia lalu turun, masih dengan wajah dan gerak tubuh yang dingin. Riang tak riang, murung tak murung.
Entah apa yang ia pendam. Tapi kalimat “harus cari uang” yang Ucil lontarkan spontan sebelumnya seolah menyiratkan, ada kondisi pelik dalam hidupnya sehingga ia harus ikut “bertarung” di terminal bersama pengamen-pengamen lain yang usianya jauh lebih tua darinya.
Baca halaman selanjutnya…
Pedagang asongan yang sulit mencari satu pembeli di Terminal Bungurasih