Di setiap konser di Jakarta, hampir selalu kita jumpai orang-orang yang menjual merchandise konser atau pernak-pernik konser seperti kipas, bando, hingga kaus unofficial (kw). Mau itu penampil lokal atau internasional, K-pop atau Barat, mereka selalu ada, berkeliaran di sekitaran venue konser. Di balik itu, ternyata mereka bisa meraup untung sampai jutaan rupiah sekali jualan.
***
Menjelang magrib, Sabtu (25/5/2024), saya sudah tiba di kompleks Stadion Gelora Bung Karno (GBK) untuk menyaksikan konser band heavy metal Avenged Sevenfold. Meskipun cuaca mendung dan ada pertunjukan konser, GBK tetap dipenuhi oleh warga Jakarta yang sedang lari sore, bercampur baur dengan para penonton konser, copet, penjual jas hujan, dan penjual merch.
Saya lantas memperhatikan dagangan para penjual merchandise konser. Mereka menjual kaus, kipas, bando, dan lanyard. Semuanya bertemakan Avenged Sevenfold. Yang menjadi perhatian saya, bentuk dari kipas dagangan mereka terasa familier, bentuk kipas yang pernah saya lihat beberapa bulan sebelumnya saat menonton konser band lain di GBK.
Namun, gambar yang ditampilkan di kipasnya berbeda. Kali ini mereka bergambar band Avenged Sevenfold, sedangkan beberapa bulan lalu kipas-kipas itu bergambar band Alvvays dan The Strokes. Kipasnya sudah “di-personalisasi” sesuai kebutuhan penampil, tapi bentuknya tetap.
Bayangkan, band indie pop seperti Alvvays saja ada kipasnya. Saya jadi menduga kalau ada supplier merch yang tau dan memanfaatkan tanggal-tanggalan konser. Oleh karena itu, saya berinisiatif untuk menanyai salah satu penjual merchandise konser.
Supplier merchandise yang tau tanggal-tanggal konser
Mulanya, beberapa penjual merchandise konser yang saya hampiri selalu menolak untuk ditanyai. Banyak dari mereka enggan karena takut, tapi ada juga yang menolak karena merasa jualannya jadi terganggu—sebentar lagi konsernya mulai. Sampai akhirnya, saya bertemu seorang perempuan yang bersedia ditanyai tentang kegiatannya ini.
Jeane* (50), seorang ibu rumah tangga, baru menjual merch konser sejak 2023 lalu. Alasannya berjualan merchandise cukup sederhana: karena ada duitnya. Sambil wawancara, satu lengannya menenteng beberapa lanyard, sementara lengan satunya lagi mengapit sejumlah kaus dan kipas. Ia kemudian membenarkan dugaan saya.
“Iya, ada supplier-nya, jadi sistemnya setoran. Tiap konser supplier-nya sama, kita diinfoin ‘ini ada koonser, mau ngambil barang enggak?’ Entar disiapin. Kita ngambil [barang] di [Jakarta] sini, dekat-dekat sini, lah,” ungkap perempuan asal Pancoran ini.
Selain menginfokan konser-konser yang akan datang, supplier-nya juga menerapkan sistem yang sederhana, semacam sistem dropshipper. Ia hanya mengambil untung dari barang yang terjual, barang yang bersisa bisa dikembalikan. Karena itu, jumlah orang yang mengambil barang dari si supplier tidak sedikit.
“Bisa sampai seratus [orang] lebih. Kalau untuk konser sekarang, enggak sampai, sih. Ya, mungkin 50-an ada, lah,” papar Jeane.
Ia saat itu berdagang berempat bersama anak-anaknya. Untuk konser kali ini, mereka mengambil 15 kaus, 20 kipas, 10 bando, dan 20 lanyard.
Lokasi konser tempat Jeane berjualan pun tidak hanya di sekitar GBK saja. Jualan perdananya ia lakukan di Balai Sarbini. Selain itu, ia juga pernah berjualan di Jakarta International Stadium (JIS). Satu hal yang pasti, barang-barangnya ia dapat dari supplier yang sama.
Konser K-pop paling menguntungkan
Barang-barang yang Jeane ambil dari supplier kemudian ia naikkan harganya sekitar 20-30% dari harga asli. Penjualan merchandise terbilang untung kalau ia berhasil menyentuh nominal Rp1 juta—rata-rata penghasilannya selama berjualan. Ada kalanya barang-barangnya sangat laku dan tak jarang juga hanya terjual sedikit. Semua tergantung ke penampilnya.
Namun, ada satu jenis konser yang menurutnya hampir selalu membuatnya untung, yaitu konser K-pop.
“Twice kemarin [untungnya] lumayan. Enggak sampai habis, tapi lumayan, lah. Ya, dapat Rp5 jutaan, lah. Hasil dagang berempat sama anak-anak. Itu selama tiga hari,” kata perempuan tamatan D3 ini.
Menurutnya, penonton konser K-pop merupakan pasar yang pas dengan dagangannya. Mereka sudi-sudi saja membeli pernak-pernik lucu seperti kipas dan bando, tidak seperti penonton konser Barat—apalagi band rock—yang biasanya hanya minat dengan kaus.
Ironisnya, pengalamannya yang paling rugi juga terjadi di acara K-pop.
“Saya jualan dari pagi sampai jam 11 malam, enggak laku. Cuman dapat Rp100 ribu. Sedangkan untuk makan aja udah lebih dari segitu. Itu bukan konser, sih, tapi acara nobar BTS di Gedung Kesenian Jakarta,” katanya.
Jeane juga menambahkan kalau konser tunggal lebih menguntungkan daripada festival. Ini karena di konser tunggal sudah dapat dipastikan hanya menampilkan satu penampil utama, sedangkan festival menampilkan beberapa penampil.
“Misal yang main [di festival] ada Tulus sama Mahalini. Kan, kita enggak tau siapa yang laku, jadi kita ambil aja semua [merchandise],” kata Jeane sambil membetulkan dagangan di lengannya.
Kendala berdagang merchandise
Selain dagangan yang tidak laku, Jeane juga mengalami kendala lain saat berjualan di sekitar venue. Beberapa venue ternyata tidak mengizinkannya untuk berjualan.
“Kalau di sini [GBK] enggak boleh jualan. Beda sama JIS, kalau di situ boleh. Jadinya kalau ada security kita harus sembunyi. Kalau enggak, barangnya bisa diambil. Saya alhamdulillah belum pernah sampai diambil,” ungkap ibu beranak tiga ini.
Jeane bercerita kalau sudah banyak rekan-rekannya yang tertangkap. Namun, Jeane punya siasat untuk menghadapi para security. Caranya dengan berjualan secara berkelompok. Ia bersama penjual merch lainnya—termasuk anak-anaknya—bergantian memantau situasi dan berjualan.
“Kalau sendiri kita jadi lengah. Kayak anak saya, saya kasih tau kalau ada [security]. Setop dulu, lah,” jelasnya.
Sebenarnya, walau diambil, pada akhirnya barang dagangan itu akan dikembalikan setelah acara selesai. Tapi tetap saja, hilang sudah kesempatan untuk berjualan. Dan karena itu, Jeane tetap keukeuh dengan strateginya itu.
“Namanya nyari duit, risiko pasti ada. Usaha aja dulu,” tambah Jeane.
Menghadapi pembeli yang tidak bayar pun Jeane pernah. Ketika sudah memegang barang dagangannya, tiba-tiba si pembeli hilang di tengah keramaian. Kalau sudah hilang begitu ia lebih memilih untuk mengikhlaskan.
Pernah ditipu artis yang sempat mau beli
Jeane juga membagikan pengalaman-pengalaman uniknya selama berjualan merchandise konser di Jakarta. Salah satunya baru terjadi seminggu yang lalu. Anaknya baru saja menonton konser K-pop, tapi tidak melewatkan kesempatan berjualan.
“Anak saya pernah nonton konser di sini [GBK]. Minggu kemarin, tuh, NCT. Sebelum masuk [venue], tetap bantu jualan dulu,” katanya, mengingat daya beli penonton K-pop yang tinggi.
Selain itu, ia juga bercerita pernah di-php salah seorang anak artis ibu kota.
“Ada anak artis mau beli barang saya. Udah mikir bakal untung, eh, enggak taunya nawar. Yang nawar, tuh, asistennya. Ampun, deh, pelit banget. Udah ambil-ambil semua, terus ditawar semurah-murahnya, eh, enggak jadi,” jelas Jeane kesal.
***
Hari itu, uang yang masuk dari penjualan merch-nya baru Rp300 ribu, dan itu masih kotor. Ia bilang kalau di konser kali ini penjualannya serat, sesuai dengan teori penonton konser K-pop dan penonton konser Barat yang ia bilang. “Kalau sekarang enggak laku, paling nanti pas bubaran,” pungkas Jeane penuh harap.
(*Bukan nama sebenarnya, narasumber meminta namanya disamarkan untuk alasan keamanan)
Reporter: Voja Alfatih
Editor: Hammam Izzudin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.