Warga Semarang tentu tak asing dengan kuliner khas bernama Tahu Gimbal. Tak cukup sulit menemukan masakan yang kaya rasa akan petis udang tersebut. Salah satunya bisa ditemui di kawasan Taman Indonesia Kaya, Jalan Pandanaran.
Namun, kebingungan melanda saya saat hendak memilih lapak yang berjejer-jejer dengan pilihan menu Tahu Gimbal yang sama. Sebagai warga Surabaya yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Kota Semarang, jujur saya kebingungan.
Tak cukup menelisik isi dari Tahu Gimbalnya saja, tapi saya harus terseret dengan persaingan antar pedagangnya kalau mau mendapatkan rasa yang asli. Mohon maklum, sebab saya termasuk orang yang sering kali zonk saat memilih kuliner.
Misalnya, saat bertandang ke sebuah restoran di Kudus. Ketika teman-teman saya memesan menu tradisional dengan rasa rempah yang kuat, saya justru memilih seafood dengan rasa yang kureng alias hambar. Belum lagi, harganya yang tak sepadan.
Lidah Jawa Timur saya ini memang terbiasa mencicipi masakan yang tidak terlalu manis, gurih dan asin, serta sedikit pedas. Di Semarang pun, saya malah memesan kerang dara goreng yang rasanya benar-benar B aja. Oleh karena itu, saya tidak ingin menyesal saat mencoba Tahu Gimbal.
Lapak Tahu Gimbal di Semarang yang berjejer
Mulanya saya pikir, Tahu Gimbal khas Semarang bakal tak jauh berbeda dengan tahu tek yang ada di Surabaya. Ada tahu goreng, lontong, dan telur yang dilumuri bumbu kacang bercampur petis. Hanya saja, menu Tahu Gimbal lebih kompleks karena berisi “gimbal” atau gorengan tepung yang dicampur udang.

Masakan khas Semarang itu bisa dijumpai di sepanjang jalan, baik di ruko maupun lapak. Kebetulan, saat saya bersama karyawan Mojok lain bermain ke Taman Indonesia Kaya, kami menemukan lapak Tahu Gimbal.
Cuaca Semarang yang semakin panas saat siang membuat perut kami keroncongan. Kami pun memutuskan untuk makan Tahu Gimbal sembari niup di lapak. Masalahnya, langkah saya tiba-tiba terhenti saat hendak menyebrang jalan dari Taman Indonesia Kaya ke lapak tersebut.
Bukan hanya karena pengendara motor maupun mobil yang mengebut, tapi kebingungan saat melihat banner-banner lapak. Lebih dari delapan lapak menggunakan nama ‘Pak Edy’, ‘Pak Edi’, ‘Haji Edy’.
Misteri nama pemilik, ternyata bukan satu kongsi
Mulanya, saya mengira tahu gimbal dijual oleh orang yang sama atau satu pemilik di Taman Indonesia Kaya, Jalan Pandanaran. Namun, setelah saya amati lebih jauh ternyata pemiliknya berbeda. Seperti yang saya sebutkan tadi, ada Edy pakai “y” dan ada yang pakai “i”. Ada juga yang pakai haji.
Baca Halaman Selanjutnya
Akhirnya melihat lapak satu-persatu












