Setiap melintas di simpang tiga Seturan, selatan kampus UPN Jogja, ada perasaan yang mengganjal. Di trotoar, seorang perempuan yang menjadi pemulung setia menanti anaknya yang sudah 13 tahun hilang.
Simpang tiga Seturan di selatan UPN Veteran Yogyakarta atau UPN Jogja itu merupakan titik yang ramai. Ada Indomaret, kedai kopi ternama, dan pusat pertokoan yang mengelilinginya. Kendaraan pun lalu lalang tanpa henti selama 24 jam.
Jalan itu merupakan salah satu rute yang sering sekali saya lewati. Terakhir, pada Selasa (19/3/2024) malam, saya coba menengok trotoar tempat beberapa pemulung kerap mangkal. Namun, Gianti (46) kembali tak terlihat.
Menjelang lebaran, orang tua yang anaknya merantau pasti merindukan kebersamaan. Namun, seperti lebaran 13 tahun belakangan, Gianti tak pernah melihat sosok anaknya lagi.
Pertemuan saya dengan Gianti terjadi pada Senin (2/10/2023) silam. Saat itu, ia tidak seorang diri menepi dan bersandar di dinding pagar UPN Jogja. Ada pemulung lain yakni Imam (60). Di trotoar selatan kampus UPN Jogja, mereka kerap singgah.
Saat itu, Imam memang hendak bermalam di tempat itu karena ia mengaku hidup menggelandang. Sementara Gianti, hanya singgah sejenak. Ia tinggal di Singosaren, Bantul.
Mengorek kenangan kehilangan anak sambil bersandar di dinding UPN Jogja
Keduanya menceritakan kehidupannya sebagai pemulung. Tiba-tiba, Imam bertanya penasaran apakah bertanya apakah saya mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta. Memang dulunya begitu. Namun, saya menjelaskan kalau sekarang sudah bekerja sebagai wartawan. Saat bicara soal profesi saya, tiba-tiba Gianti menyahut.
“Mas, bisa bantu saya nggak ya?” tanyanya.
Dengan lirih, ia lalu bercerita kalau kehilangan anaknya sekitar 13 tahun silam. Anak satu-satunya itu minggat dari rumah dan tak pernah kembali.
Dulu, anak lelaki bernama Rohim Surniawan itu ia titipkan ke panti asuhan. Gianti mengaku tak tega jika anaknya harus hidup bersamanya yang sehari-hari mencari rongsokan. Sementara suaminya, tidak lagi menafkahi secara rutin.
“Dulu suami saya suka main tangan. Rohim pas kecil sering nangis. Dia sudah paham dan minta saya pisah sama bapaknya,” kenangnya di tepi keramaian Jalan Seturan Raya.
Namun, saat itu ada kondisi yang membuat Gianti mengaku belum bisa bercerai dengan suaminya. Ia ingin mengumpulkan uang terlebih dahulu sebelum memutuskan berpisah. Sayangnya, di masa ia sedang berjuang, tiba-tiba anaknya pergi dari panti asuhan tanpa sepengetahuannya.
“Mungkin dia kecewa sama saya, sama keluarganya, saya nggak bisa apa-apa dulu,” ujarnya lirih sembari menyandarkan diri di tembok pagar UPN Jogja.
Dua tahun setelah kehilangan jejak sang anak, secara tidak sengaja mengaku pernah melihat wajah Rohim di sebuah video YouTube tentang anak jalanan di Jakarta. Tepatnya di kawasan Bukit Duri.
“Saya pernah ke Jakarta buat nyari dia tapi nggak ketemu,” kenangnya.
Pada 2016 ia mengaku terpuruk dan nyaris putus asa karena mengetahui Kampung Bukit Duri terkena penggusuran. Semakin sulit baginya untuk mencari keberadaan sang anak.
Harapan bertemu anak yang tak pernah padam
Ia berharap suatu saat nanti bisa bertemu kembali dengan anak itu. Saat bertemu dengan saya, ia mengaku tak membawa foto sang anak. Namun, saya memberikan kartu nama barangkali nanti ia akan menghubungi dan memberikan foto anak itu.
“Sekarang ibu sudah cerai sama bapakmu. Ibu sudah menikah lagi,” katanya.
Di tengah ketidakpastian hidup, harapan Gianti untuk bertemu sang anak tak pernah surut. Andai punya uang lebih ia mengaku pasti akan mencari ke Jakarta lagi.
“Dulu sempat pasang iklan di Kedaulatan Rakyat. Tapi nggak ada hasil,” ujarnya.
Kini, Gianti hanya berusaha menjalani hidup. Mencari uang dari jalanan untuk menghidupi diri sekaligus menabung sedikit demi sedikit. Siapa tahu, suatu saat nanti, anaknya kembali.
Perempuan ini mengepul rongsok dari sore hingga malam. Sementara pagi dan siang, ia bekerja di bersih-bersih di sebuah kos eksklusif di sekitar Jalan Seturan Raya. Tak jauh dari tempatnya beristirahat malam hari ini.
Meski sudah menikah lagi, Gianti tak bisa berpangku tangan ke suaminya yang hanya bekerja serabutan. Perempuan ini memilih melawan kerasnya jalan.
Hingga kini, Gianti tak pernah menghubungi kontak saya. Namun, setiap melintas di selatan UPN Jogja, saya selalu teringat kisahnya.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Cek berita dan artikel lainnya di Google News