Meski sama-sama berasal dari Jawa, Surabaya dan Jogja punya kultur yang berbeda bahkan dalam cara bicara. Orang Surabaya sering dikira ceplas-ceplos, tidak selembut orang Jogja. Perbedaan ini membuat orang Surabaya sedikit kesulitan dalam beradaptasi.
***
Saya pernah kaget saat dimarahi oleh pengendara sepeda motor di Jogja. Bikin saya sadar bahwa tak selamanya orang Jawa itu soft spoken, walaupun sebagai orang Surabaya saya pun tahu jika cara bicara kami dianggap kasar.
Waktu itu saya sedang membonceng teman dengan Mio matic saya. Saya yang asyik bergurau dengan teman saya tidak sadar kalau di depan sedang lampu merah. Sementara saya ngegas-ngegas saja tanpa bermaksud mengurangi kecepatan.
Saat sadar, motor saya sudah berada dekat dengan motor pengendara lain. Otomatis saya langsung mengerem secara mendadak, tapi cakram rem saya tidak terlalu makan. Saya dan teman saya panik sambil cengengesan.
Teman saya langsung menurunkan kedua kakinya untuk memperlambat laju roda belakang. Sedangkan setir saya sudah oleng tapi tak sampai jatuh. Namun tetap saja, kami masih kena semprot oleh salah satu pengendara motor lain.
“Piye to Mbak, ati-ati lek nyetir (Bagaimana sih mbak, hati-hati kalau menyetir).” ujar dia pelan, tanpa bentakkan.
Dari sana saya terkejut. Bukan karena dimarahi, tapi cara dia memarahi saya begitu lembut. Entah kenapa, teguran itu membuat saya malu sendiri dan sungkan. Persis seperti budaya Jawa, sungkanan. Sementara kalau di Surabaya, saya pasti sudah ditegur habis-habisan.
“Motomu picek a, Cok? (Matamu nggak lihat kah, Cok)” begitu bayangan saya kira-kira.
Tampangnya saja kalem
Ternyata tak hanya saya saja yang berpikir kalau orang Jogja itu tampak kalem dari luar, tapi punya emosi menggebu yang ia pendam. Adel (24), orang Surabaya yang sudah lebih dari 5 bulan kerja di Jogja pun mengalaminya.
Yang bikin Adel terkejut adalah, ia sering melihat warga Jogja misuh-misuh di jalan. Bahkan mengemudinya suka ngawur, padahal dari luar mereka tampak kalem. Pernah waktu itu, Adel menjumpai pengendara motor yang langsung belok tanpa memperlambat motornya.
“Harusnya kan mereka berhenti sebentar, lihat-lihat dulu kondisi sekitar. Aku hampir nyasrak!” cerita Adel saat dihubungi Mojok, Selasa (26/8/2025).
Sepemahaman Adel pula, jalan jalur kanan umumnya dipakai untuk mendahului. Otomatis, banyak motor kencang yang melewatinya.
“Nah, orang-orang di sini tuh justru jalannya kalem di sebelah kanan, padahal kirinya kosong. Jadi ya sering aku klakson hehe,” kata Adel.
Orang Surabaya harus menerka-nerka marahnya orang Jogja
Sialnya, Adel suka dikira orang pemarah karena terbawa gaya bicara orang Surabaya yang ceplas-ceplos. Jika tidak suka pada sesuatu, sikapnya pun bakal kentara. Berbeda dengan rekan-rekan kerjanya di Jogja.
Karena tampak kalem dari luar, Adel butuh usaha lebih untuk memahami suasana hati mereka. Terutama saat warga Jogja sedang marah. Caranya dengan menerka-nerka ekspresi mereka saat berbicara.
“Apakah dia tegang, mode serius, atau biasa saja? Soalnya kalau dari suara nggak begitu kelihatan dia sedang marah atau tidak,” ucapnya.
Sebab, Adel sering tidak paham dengan kosakata warga Jogja. Jadi alih-alih memahami emosi mereka saat berbicara, Adel justru berusaha fokus menangkap isi pesannya dan mempelajari artinya. Sedangkan Adel lebih memilih apa adanya. Alhasil, ia sering dibilang kasar oleh teman-temannya.
“Soalnya aku cenderung blak-blakan dan apa adanya kalau ngomong. Jadi kadang pas lagi ngobrol, orang suka nyeletuk ‘kasare’” ujar Adel.
Sebetulnya, kata Adel, lingkungan kerjanya terdiri dari orang-orang perantauan. Tidak hanya orang Jogja saja. Otomatis perbedaan bahasa itu sangat kentara terutama saat mereka sedang bercanda.
“Ada beberapa hal yang menurut mereka lucu, tapi menurutku agak kurang common bercandaannya,” ucapnya.
Orang Jogja suka ikut campur urusan orang lain
Selain itu, salah satu budaya yang tidak disukai Adel adalah sifat ramah tamah orang Jogja. Sebetulnya, hal itu tidak masalah selama masih dalam batas wajar. Sayangnya, ia sering sekali menjempui orang Jogja yang kepo dengan masalah personal.
“Beberapa orang yang kujumpai cenderung terlalu ingin tahu urusan pribadi orang lain, ya nggak semua sih tapi ada beberapa yang begitu,” kata Adel.
Sebagai orang Surabaya yang kurang peduli dengan urusan orang lain, kadang-kadang Adel merasa risih. Namun, untuk keramahan orang-orangnya, ia mengakui Jogja patut diacungi jempol.
Pada akhirnya, Adel banyak mendapatkan pengalaman yang berharga. Namun berusaha tetap menjadi dirinya sendiri. Pintar-pintar membaca situasi dan membawa diri sebab ia sadar jika tidak semua orang dapat memahaminya.
“Aku berusaha memperlakukan orang lain dengan baik, meskipun ada saja yang membuat kita tidak cocok. Dan itu wajar. Apalagi, aku cuman pendatang. Sebisa mungkin aku tetap sopan, ramah, dan menghargai orang lain,” kata Adel.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Mahasiswa Jakarta Terpaksa Belajar Bahasa Jawa biar Nggak Diketawain Orang Surabaya, Malah Geli Sendiri Pakai “Aku-Kamu” atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












