Bisnis sewa mobil adalah bisnis yang menggiurkan jika di kota besar macam Jogja, Jakarta, Semarang. Tapi buka bisnis sewa mobil di kabupaten, beda cerita. Edi (60), bercerita tentang lika-liku bisnis sewa mobil, yang punya sisi gelap yang tak disangka.
***
Semua bermula dari ketika Edi dipecat dari salah satu perusahaan swasta di salah satu kabupaten di Jawa Tengah pada 2016. Edi mulai kebingungan untuk mencari pemasukan tambahan mengingat usianya sudah memasuki masa senja. Dia memang masih jadi PNS di salah satu dinas, tapi sebagai PNS golongan kroco, tentu gajinya jauh dari kata cukup. Dia masih harus membiayai anaknya yang kuliah dan satu anaknya yang masih kecil.
Parahnya, dia dipecat tanpa pesangon. Mau melawan, tapi tak punya tenaga, akhirnya dia memilih untuk memutar otak, mencari jenis bisnis yang dia kuasai. Sebagai sopir, dia amat familiar dengan bisnis sewa mobil, dan itu yang dia pilih. Masalahnya adalah, dia tak punya modal.
“Aku akhirnya milih ambil utang bank. Sebenarnya ya saat itu nekat, wong saya nggak yakin berhasil, saya juga sudah tua. Kalau gagal, yo rampung mas nasibku.”
Saat itu dia berutang dalam jumlah yang cukup besar. Beliau tidak membuka berapa besarannya, tapi dia mengaku dari utang itu dia bisa beli dua mobil sejuta umat: Avanza dan Xenia. Kenapa dia beli mobil itu, sebab, mobil itu pasti laku untuk disewakan.
Koneksi yang dia punya, ditambah mobilnya memang jenis mobil yang sering laku, memudahkan segalanya.
Pakai jasa makelar, eh kena kasus narkoba
Awalnya, Edi memilih untuk menitipkan mobilnya ke makelar sewa. Jadi seperti ini cara kerjanya. Ada jasa makelar sewa yang mencarikan pelanggan, lalu pemilik mobil dapat uang dari makelar, dipotong jasa. Nah, harga sewa, ditentukan makelar. Edi mengaku, saat itu pemasukan lumayan stabil. Paling tidak, per hari dia bisa mendapat 200 ribu.
“Itu kalau yang laku cuma satu mobil, Mas. Nek 2, ya beda. Dua kali lipat, bisa lebih mahal kalau sewanya setengah hari. Kan mobil bisa diputer dua kali.”
Edi menjalani metode ini sekitar beberapa bulan, sebelum si makelar terkena masalah. Gara-gara anak makelar ditangkap polisi karena kasus narkoba, uang sewa tiba-tiba seret. Seminggu kadang hanya bisa diambil 3 kali, bahkan tak jarang tak bisa diambil sama sekali. Bilangnya, mobilnya nggak laku. Ternyata, mobilnya laku, hanya saja uangnya tak disetor ke Edi. Mau tak mau, Edi berhenti memilih untuk dikelola sendiri.
Awalnya Edi takut juga kalau bisnis sewa mobilnya seret karena dia tak lagi punya makelar yang bisa membantunya. Maka dari itu, Edi mulai ambil job jadi sopir pribadi orang-orang yang butuh jasa seperti ini.
“Orang kaya yang nggak punya sopir pribadi itu sebenarnya banyak, Mas. Nah, aku ambil jasa kayak gini dan laku ternyata. Kalau pas rame, seminggu aku beneran nggak libur. Padahal ya kadang cuma nganter antarkabupaten tok. Kadang malah aku dipanggil buat ambil laundry.
“Lho kok iso, Pak?”
“Orang kaya memang aneh-aneh, Mas. Nyuci baju aja maunya di kota.”
Gara-gara jadi sopir pribadi inilah, Edi bisa menyebarkan informasi kalau dia juga punya mobil untuk disewa. Dari bos-bos yang sering memakai jasanya itulah Edi menjalin koneksi. Akhirnya, sejak itu, sekitar 2017 hingga sekarang, mobilnya hampir tak pernah selo.
“Saking ramainya, Mas, waktu datengin wisuda anakku, aku sewa mobil orang. Lha pie, saking ramene je. Tapi ya lucu, pemilik bisnis sewa mobil malah nyewa mobil.”
Risiko bisnis sewa mobil, unitnya digadai
Bisnis Edi bukan tanpa kendala, justru bisnis sewa mobil ini punya risiko yang kelewat besar. Salah satu risikonya adalah, unit yang disewa bisa jadi dijual atau digadaikan. Dan Edi tak sekali mengalami ini.
Katanya, dia sudah mengalami unit miliknya digadaikan 3 kali. Semua pelakunya adalah penjudi. Ini yang bikin Edi pusing, sebab, kebanyakan mobilnya disewa penjudi. Jadi dia tak bisa blacklist orang-orang tersebut.
“Penjudi itu, Mas, kalau menang, ngasih komisinya bisa 100 persen sewa. Tapi nek kalah, ya berharap nggak digadaikan aja.”
Tapi untungnya, Edi punya koneksi preman dan polisi yang lumayan luas. Jadi tiap mobilnya lewat masa sewa, dia bisa minta informasi ke banyak orang dalam sekali waktu. Maka dari itu, mobilnya selalu bisa balik meski digadai oleh penjudi. Tapi katanya sudah 4 tahun terakhir tak ada penjudi yang sewa mobilnya.
“Pak, kalau mereka punya duit buat judi, kenapa nggak beli mobil sendiri ya?” Saya iseng bertanya, karena beneran nggak paham alur pikirnya.
“Lha kalau mereka bisa mikir, nggak mungkin jadi penjudi to, Mas?”
Benar juga ya.
Hanya saja, tak berarti Edi tak kehilangan apa-apa. Dia sudah kehilangan satu unit Xenia dijual oleh orang yang tak bertanggung jawab. Dan orang tersebut adalah saudaranya sendiri.
“Bilangnya disewa setahun, Mas, itu pas 2020. 3 bulan pertama, lancar. Seterusnya kok seret. Saya pikir karena pandemi. Ternyata, sama adik saya dijual.”
Baca halaman selanjutnya
Berbisnis di kabupaten itu penuh tantangan