Ada tujuh alasan mengapa satu tahun masa kepemimpinan Prabowo-Gibran layak diberi nilai 3/10 alias rapor merah. Dari janji politik tak ditepati, hingga krisis legitimasi.
***
Setahun sudah pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berjalan. Namun, alih-alih menunjukkan kemajuan, laporan terbaru Center of Economic and Law Studies (CELIOS) justru menggambarkan potret suram: publik menilai kinerja pemerintahan buruk, janji politik tak banyak ditepati, dan gaya kepemimpinan dinilai terlalu militeristik.
Laporan berjudul “Rapor Kinerja 1 Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran” itu diterbitkan awal Oktober 2025. Metodenya sendiri menggabungkan dua pendekatan riset.
Pertama, penilaian pakar (expert judgment) yang melibatkan 120 jurnalis dari 60 media nasional, dipilih karena dianggap memiliki akses informasi yang luas dan kemampuan analisis kebijakan yang tajam. Kedua, survei publik nasional terhadap 1.338 responden dari berbagai wilayah–mulai dari desa hingga kota besar–yang dilakukan pada 30 September hingga 17 Oktober 2025.
Kedua survei ini dilakukan secara independen tapi saling melengkapi. Pakar menilai dari sisi teknokratik dan kebijakan, sementara publik menilai dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya bertemu di satu titik: baik pakar maupun publik sama-sama menilai pemerintahan Prabowo-Gibran gagal memenuhi ekspektasi rakyat.
#1 Janji politik Prabowo-Gibran tak ditepati
Dalam aspek pemenuhan janji politik, misalnya, 99 persen responden menilai janji kampanye Prabowo-Gibran belum terealisasi. Sebanyak 56 persen menyebut janji baru “sebagian kecil berhasil” sementara 43 persen menilai “tidak berhasil sama sekali.”
Hal ini tercermin pula pada penilaian capaian program: 72 persen responden menilai kinerja kabinet “buruk hingga sangat buruk”. Kebijakan dianggap tidak menjawab kebutuhan publik, terutama dalam penanganan ekonomi rumah tangga dan harga kebutuhan pokok.
“Program populis seperti Makan Bergizi Gratis justru menjadi sumber masalah baru,” tulis CELIOS dalam laporannya. Program ini, yang dijalankan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) di bawah Dadan Hindayana, dikritik karena banyaknya kasus keracunan dan buruknya tata kelola anggaran.
#2 Kepemimpinan lemah dan komunikasi yang tak jelas
Salah satu temuan paling mencolok dalam laporan CELIOS adalah soal kepemimpinan Prabowo-Gibran. Dalam enam indikator penilaian utama, aspek ini memperoleh rapor merah. Antara lain:
- Kepemimpinan kabinet: 64 persen menilai buruk.
- Tata kelola anggaran: 81 persen menilai buruk.
- Komunikasi kebijakan: 91 persen menilai sangat buruk.
- Penegakan hukum: 75 persen menilai buruk.
CELIOS menilai lemahnya kepemimpinan ini terlihat dari minimnya arah strategis dan koordinasi antarkementerian. Kebijakan di sektor ekonomi, hukum, hingga sosial berjalan seperti potongan puzzle yang tak saling terhubung. Setiap menteri bergerak sendiri, dengan logika politik dan kepentingan sektoral masing-masing.
Masalah lain muncul pada komunikasi publik. Sebanyak 91 persen responden menilai cara pemerintah menjelaskan kebijakan sangat buruk. Informasi sering disampaikan setengah matang, penuh jargon, dan sulit dipahami masyarakat. Alhasil, kebijakan yang seharusnya menenangkan publik justru menimbulkan kebingungan.
“Pemerintah gagal mengkomunikasikan arah kebijakannya sendiri,” tulis CELIOS.
Menurut lembaga think-tank ini, tanpa komunikasi yang jernih dan kepemimpinan yang solid, kebijakan kehilangan legitimasi dan kepercayaan publik pun perlahan terkikis.
#3 Krisis kompetensi di kalangan menteri kabinet Prabowo-Gibran
Hal lain yang dinilai CELIOS adalah kinerja para menteri di kabinet Prabowo-Gibran. Dari 40-an pejabat kabinet yang dinilai, hanya segelintir yang dipandang berhasil.
Agus Harimurti Yudhoyono (Menko Infrastruktur) menduduki posisi teratas dengan skor +50 dari pakar dan +1.042 dari publik. Di bawahnya ada Nasaruddin Umar (Menteri Agama) dengan skor +48, serta Abdul Mu’ti (Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah) dengan +44.
Sebaliknya, Bahlil Lahadalia (Menteri ESDM) dinilai sebagai pejabat terburuk dengan skor -151 (pakar) dan -1.320 (publik). Ia dikritik karena kebijakan energi yang penuh konflik kepentingan dan minim terobosan.
Dua nama lain yang juga menuai kritik tajam ialah Dadan Hindayana (Kepala BGN) dan Natalius Pigai (Menteri HAM).
“Sektor energi dan HAM menjadi dua bidang dengan kepercayaan publik paling rendah,” tulis CELIOS.
#4 Ekonomi warga berat karena jeratan pajak
Di luar ruang-ruang rapat kabinet dan klaim pertumbuhan ekonomi yang stabil, kehidupan masyarakat di lapisan bawah justru berjalan makin berat. Hasil survei CELIOS terhadap 1.338 responden menunjukkan 27 persen warga merasa kondisi ekonomi keluarga mereka lebih buruk dibanding tahun lalu. Sementara 45 persen mengatakan tidak ada perubahan.
Hanya 28 persen yang mengaku hidupnya sedikit lebih baik.
Kenyataan di lapangan menunjukkan paradoks: pajak dinaikkan, pungutan makin banyak, tapi manfaat program pemerintah tidak terasa. Sebanyak 84 persen responden menilai pajak dan pungutan pemerintah saat ini terlalu berat, dan lebih dari separuh (53 persen) menyebut program ekonomi pemerintah tidak memberi dampak apa pun terhadap keseharian mereka.
CELIOS menilai situasi ini sebagai tanda melemahnya daya beli dan ketimpangan manfaat kebijakan.
“Pajak naik, harga naik, tapi layanan publik tidak membaik,” tulis laporan itu.
Dengan tekanan ekonomi yang kian menumpuk, masyarakat menilai kebijakan ekonomi Prabowo-Gibran terlalu fokus pada proyek besar, bukan kesejahteraan rumah tangga.
#5 Ruang demokrasi kian menyempit di era Prabowo-Gibran
Kritik juga datang dari sisi politik dan kebebasan sipil. 28 persen publik menilai kebebasan berpendapat tidak terlindungi, dan 63 persen menganggap Prabowo-Gibran menjalankan pemerintahan dengan pendekatan militeristik.
CELIOS mencatat adanya kecenderungan sentralisasi kekuasaan dan penyempitan ruang demokrasi, diperparah oleh dominasi purnawirawan militer di kabinet serta penerapan UU ITE terhadap kritik warga.
“Pendekatan keamanan lebih dipilih dibanding dialog,” tulis laporan itu, menyoroti sejumlah kasus penangkapan aktivis dan pembubaran aksi unjuk rasa.
#6 Krisis lingkungan dan korupsi
Ketika kampanye, Prabowo-Gibran menjanjikan masa depan pembangunan yang “berkelanjutan dan ramah lingkungan”. Namun, setahun setelah menjabat, janji itu tampak mulai pudar di balik proyek-proyek besar dan ekspansi industri ekstraktif. Survei CELIOS menunjukkan bahwa 48 persen responden menilai pemerintah kurang atau bahkan tidak memperhatikan isu lingkungan hidup dan perubahan iklim.
Dalam evaluasi sektor ini, Bahlil Lahadalia (Menteri ESDM) kembali menempati posisi terbawah dengan skor –75, diikuti Raja Juli Antoni (Menteri Kehutanan) dengan –47. Kedua nama itu dinilai gagal menunjukkan arah transisi energi dan perlindungan hutan yang jelas. Pembangunan yang digadang sebagai “energi hijau” justru dinilai semakin bergantung pada batu bara dan izin tambang baru di kawasan konservasi.
CELIOS juga menyoroti lemahnya transparansi dalam proyek-proyek investasi hijau dan hilirisasi nikel, yang kerap menimbulkan konflik lahan di tingkat lokal.
“Pemerintah bicara soal keberlanjutan, tapi praktiknya masih menempatkan lingkungan sebagai korban pembangunan,” tulis laporan itu.
Dalam isu korupsi, hasilnya serupa. Sebanyak 43 persen publik menilai upaya pemberantasan korupsi tidak efektif, sementara hanya 21 persen yang melihat adanya langkah nyata. CELIOS menilai pemberantasan korupsi masih berhenti di slogan, tanpa reformasi sistem hukum dan pengawasan anggaran yang konsisten.
“Jika korupsi tetap dibiarkan dan lingkungan terus dikorbankan,” tulis laporan itu, “pemerintahan ini akan kehilangan bukan hanya legitimasi, tapi juga masa depan.”
#7 Krisis legitimasi, 3/10 buat Prabowo-Gibran
CELIOS menutup laporannya dengan peringatan keras: jika pola pemerintahan ini berlanjut–minim transparansi, komunikasi lemah, dan kebijakan tidak berpihak pada publik–maka krisis legitimasi akan semakin dalam.
“Pemerintahan yang kuat bukan yang menolak kritik, tetapi yang berani mendengarnya,” tulis CELIOS.
CELIOS pun mencatat nilai rata-rata kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran hanya 3 dari 10. Sebanyak 77 persen responden menilai kinerja kabinet buruk atau sangat buruk, sementara hanya 5 persen yang menilainya baik.
Presiden Prabowo Subianto meraih nilai rata-rata 3, dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka hanya 2. Bahkan, dalam perbandingan dengan survei 100 hari pertama pemerintahannya, nilai Prabowo turun dari 5 menjadi 3, sementara Gibran anjlok dari 3 menjadi 2.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Prabowo dan Pejabat Negara Kita Perlu “Kuliah Komunikasi” agar Tak Arogan dan Nirempati terhadap Tuntutan Rakyat atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
