80 tahun yang lalu, Sri Sultan Hamengkubuwono bertemu dengan pemuda Indonesia. Setelah lama tak bersua, orang nomor satu di Jogja itu kembali mengumpulkan para Pengurus Pusat Organisasi Pemuda Lintas Agama. Kali ini, ia ingin mengajak para pemuda untuk menjaga lingkungan, mengingat Jogja tengah mengalami krisis air.
***
Sri Sultan Hamengkubuwono X turun dari mobilnya pukul 09.02 WIB di Nawang Jagad, Kaliurang, Sleman, Yogyakarta pada Senin (20/1/2025). Kehadirannya disambut hangat oleh para perwakilan Pengurus Pusat Organisasi Pemuda Lintas Agama.
Orang nomor satu di Jogja itu tampak menyapa tamu undangan, hingga duduk di ruang transit VVIP dan VIP. Tak perlu waktu lama bagi Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk bercengkrama dan mencairkan suasana. Dalam percakapan itu, ia bahkan membahas soal kebiasaannya merokok di samping membahas rencana kampanyenya soal lingkungan.
“Rokok ini untuk menghidupkan petani tembakau,” ucapnya disambut tawa para pemuda. “Nikmatilah umur,” lanjutnya sambil menghisap sepuntung rokok di tangannya.
Percakapan itu terus mengalir hingga membahas topik utama: krisis air.
Mempertanyakan konsep kebhinnekaan
Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhass.
Kalimat pujian ini menjadi doa pembuka dalam acara menanam 100 pohon langka yang dihadiri oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dan pengurus pusat organisasi pemuda lintas agama. Kalimat itu berasal dari umat Buddha yang artinya Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna.
Sri Sultan Hamengkubuwono X mengaku agak terkejut karena baru pertama kali ini, dalam suatu acara besar, doa pujian umat Buddha menjadi pembuka. Sebab biasanya yang membuka selalu kelompok dari mayoritas.
“Bagi saya luar biasa. Saya tidak ada masalah,” ucapnya di Nawang Jagad, Jogja
Dia sendiri bertanya-tanya soal konsep kebhinnekaan yang dianut para pemimpin negeri ini. Menurutnya, berbeda-beda tidak harus menjadi satu. Justru, yang “satu” ini yang harus mengakui kebhinnekaan atau perbedaan.
Dengan begitu, tidak ada mayoritas dan minoritas. Semua, sekecil apapun perbedaan itu harus dihargai dan dilindungi oleh konstitusi.
“Jadi tidak ada dominasi. Kalau dominasi ya, apa-apa nanti hanya Islam sama orang Jawa,” katanya. Termasuk untuk merawat lingkungan, mereka bisa saling bekerjasama.
Pemerintah ngeyel bikin proyek
Dalam sambutannya, Sri Sultan Hamengkubuwono X tak lelah mengingatkan soal sumbu filosofi Yogyakarta yakni hamemayu hayuning bono yang artinya membuat dunia menjadi indah atau ayu. Terlebih, filosofi tersebut baru saja ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada 2023 lalu, setelah 9 tahun menunggu.
Melalui filosofi itu, Sri Sultan Hamengkubuwono X menegaskan tidak boleh ada yang merusak lingkungan, khususnya di daerah DIY Yogyakarta yang sebagian tanahnya tercampur dengan lava Gunung Merapi. Ia pun tak segan menindaklanjuti oknum yang berusaha mengeruk sumber daya alam di Jogja.
“Di Yogyakarta itu biarpun 50 sampai 100 meter ke bawah tetap lava, karena memang tanahnya itu seperti itu,” ucapnya.
Oleh sebab itu, dia mengimbau jika ada yang ingin membangun maka harus hati-hati sebab jenis tanahnya tidak murni padat. Namun, ada saja oknum yang salah paham. Alih-alih, memanfaatkan sumber daya alam mereka justru merusak.
Misalnya, pembangunan kabel bawah tanah di kawasan Tugu Jogja dan Underpass Kentungan, Sleman. Pembangunan itu, kata dia, menimbulkan berbagai masalah. Belum lagi, kebijakan lain yang membuat aliran air jadi sempit atau kasus perusahaan lingkungan yang mencemari sumur warga dengan minyak diesel.
“Tapi pengalaman yang terjadi, kalau kami beritahu itu sering ngeyel gitu. Ya, mungkin dia merasa lebih tahu misalnya gitu,” kata dia.
Meski begitu, ia tak melarang jika masyarakat ingin membangun sesuatu dengan tanah bercampur lava. Hanya saja, mereka perlu izin. Misalnya, saat ingin membangun di kawasan Malioboro dan sekitarnya, masyarakat bisa berkoordinasi agar tidak terjadi masalah dikemudian hari.
“Hanya untuk menjaga lingkungan saja ya. Bukan untuk mempersulit. Kan gitu?” ujarnya.
Jogja krisis air
Selain itu, Sri Sultan Hamengkubuwono X mewanti masyarakat untuk melestarikan air, sebab kondisi alam di Jogja saat ini tidak terlalu baik. Pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010 lalu, kondisi air dari lereng tidak mencukupi seperti dulu sehingga ketersediaan air makin terbatas.
“Kami sudah tidak mungkin lagi untuk bisa mendapatkan air dari Merapi, kecuali yang berada di sebelah timur yang sekarang masih berfungsi,” ucapnya.
Kini, banyak sungai yang tertutup oleh lahar. Kondisi Gunung Merapi pun kian rusak. Salah satu penyebabnya, karena tanah-tanah yang bercampur lava sekarang sudah mulai dikeruk untuk keuntungan pribadi.
Belum lagi, hutan seluas 200 hektare di sekitar gunung terbakar hebat. Ketika gunung sebagai paku alam rusak, maka volume air pun ikut berkurang. Oleh karena itu, dia berharap kegiatan menanam pohon di Nawang Jagat Ini dapat menambah sumber mata air baru.
“Kami tidak bisa mengambil lagi air untuk kepentingan Sleman maupun kota, sehingga kami mencari air itu sampai ke Purworejo,” kata dia.
Sri Sultan Hamengkubuwono X mengungkap selama ini mereka mempunyai kontrak dengan perusahaan air di Jawa Tengah, tepatnya di Purworejo Utara untuk membangun bendungan.
“Kami minta 800 liter per detik, karena kami butuh 27 ribu liter per detik. Kami khawatir di tahun 2025 hingga 2030, penduduk Jogja sudah 4 juta, sehingga kami sekarang punya BUMD khusus untuk menangani air,” ujarnya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Kolong Flyover Janti adalah Tempat Terbaik untuk Menikmati “Kehidupan Malam” Jogja atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.