Puluhan mahasiswa Papua asal Raja Ampat, Papua Barat Daya, terlantar di Yogyakarta setelah beasiswa yang dijanjikan tak kunjung cair. Mereka juga mengaku mendapat “pungutan misterius” sebesar Rp5 juta. Permasalahan ini sudah dilaporkan ke Ombudsman RI Perwakilan DIY.
Sekretaris Jenderal Ikatan Pelajar-Mahasiswa Papua (Imapa) DIY, Irto Mamoribo, dalam laporannya kepada Ombudsman DIY menyebutkan bahwa sebanyak 28 mahasiswa yang terlantar itu sudah tiba di Yogyakarta sejak September lalu.
Semula, jelas Irto, mereka mendapat janji program beasiswa melalui Dinas Pendidikan oleh pemerintah daerah Raja Ampat.
“Ada beberapa program beasiswa. Dinas sendiri menawarkan ke adik-adik mahasiswa antara lain yang pertama program KIP. Kemudian program kontrak kerja sama, terus kemudian program Wakil Bupati,” jelas Irto dalam laporannya, Senin (11/12/2023).
Namun, masalah kemudian muncul setelah ia mengetahui bahwa ternyata belum ada kerja sama antara Pemda Raja Ampat dengan kampus-kampus yang tujuan. Bahkan, pihak universitas juga mengaku kalau kerjasama antara Pemda dengan mereka baru sebatas wacana saja.
“Sementara anak-anak [28 mahasiswa] sudah dikirim ke sini. Jadi mereka ini tidak tahu apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka. Status beasiswa mereka ini belum jelas,” tegasnya.
Alhasil, Irto pun mendesak supaya Pemda Raja Ampat menandatangani nota kesepahaman (MoU) soal beasiswa ini. Tujuannya, kata dia, agar ada kejelasan bagi mahasiswa yang sebelumnya telah mendaftar.
“Kita desak Pemda segera melakukan MoU antara Pemda dan juga kampus. Dan mau tidak mau Pemda harus bertanggung jawab terhadap situasi dan kondisi teman-teman di sini,” tegasnya.
Mahasiswa Papua sempat kena pungutan Rp5 juta
Selain tak adanya kejelasan, Irto juga mengaku kalau korban 28 mahasiswa ini juga mendapat pungutan sebesar Rp5 juta. Uang ini wajib mereka bayar sekali dan berlaku sampai wisuda.
Menurut keterangan Irto, berdasarkan sejumlah cerita yang ia dapat, pungutan sebesar Rp5 juta ini dipergunakan untuk administrasi awal di kampus. Pada titik inilah Irto mulai merasa ada yang janggal pada beasiswa ini.
“Ini jadi timbul pertanyaan program model apa itu, kok mahasiswa diminta Rp5 juta. Padahal latar belakang orang tua mereka rata-rata di kampung dari nelayan semua, masa sekelas Dinas Pendidikan minta sama masyarakat,” jelasnya.
Oleh karenanya, Irto pun mendesak agar Pemda Raja Ampat bersikap transparan terkait program beasiswa itu. Apalagi, para mahasiswa yang sudah telanjur mendaftar juga telah tiba di Yogyakarta sejak dua bulan lalu. Ditambah lagi karena ketidakjelasan ini, sejumlah mahasiswa akhirnya terlantar.
“Kalau dari awal ada transparansi, misalnya Pemda transparan, mereka bisa dekat-dekat, kuliah di Papua yang biayanya bisa dijangkau. Yang jadi masalah Pemda tidak transparan. Fatalnya mereka di sini, terus Pemda cenderung lepas tangan,” ucapnya.
Harus menahan lapar di kos-kosan
Melansir Detik, salah satu dari 28 mahasiswa yang angkat suara terkait masalah ini adalah M (20). Dalam laporannya, M–yang merupakan salah satu mahasiswa program beasiswa itu–bercerita bahwa nasib mereka di Yogyakarta kini terkatung-katung.
Oleh karena tak ada kejelasan kapan dana beasiswa akan mereka dapat, M sampai harus menahan lapar di kos-kosan.
“Uang kos, uang makan, itu semua ditanggung orang tua. Kemarin bahkan ada teman-teman yang belum sempat bayar kos mengingat orang tua latar belakangnya cuma nelayan,” ujar M, Senin (11/12/2023).
Tak hanya itu, mirisnya lagi M bahkan mengaku kalau ada temannya yang belum membayar sewa kos selama dua bulan.Â
“Ada yang nunggak kos 2 bulan,” ungkapnya.
Sudah melaporkan dua oknum
Lebih lanjut, Irto juga bercerita bagaimana Pemda Raja Ampat bersikap lepas tangan soal pemberangkatkan para mahasiswa. Dia mengaku, karena banyak mahasiswa yang terlantar, ia pun harus turun tangan mencarikan kos untuk adik-adik mahasiswa itu.
“Kontribusi Pemda adalah ketika mereka berangkatkan antar adik-adik sampai di sini. Setelah itu kos pun Pemda nggak bantu cari, saya yang cari, begitu pas lepas Pemda balik mereka cuma meninggalkan uang Rp300 ribu sampai dengan hari ini,” kata jelasnya.
Ia melanjutkan, biaya makan hingga kos saat ini ditanggung orang tua masing-masing mahasiswa.
“Jadi sejauh ini terkait dengan biaya kos mereka maupun makan minum tiap hari tidak ada kontribusi dari Pemda. Kontribusi dari orang tua, justru orang tua juga yang jadi korban,” kata Irto.
Karena itulah, dia mengatakan telah melaporkan dua oknum ke Ombudsman RI DIY. Mereka antara lain adalah oknum yang berdinas di Dinas Pendidikan Raja Ampat dan satunya merupakan seorang alumni.
“Iya dua oknum yang kami laporkan ke ORI, Dinas Pendidikan sama alumni,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Hammam Izzuddin
BACA JUGAÂ Kalau Orang Indonesia Omong Soal Papua, Mereka Omong Apa?
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News