Nasib naas menimpa pasangan suami istri asal Pemalang, Jawa Tengah bernama Suratmo (56) dan Sutijah. Niat hati ingin daftarkan anaknya menjadi aparat, mereka malah ketipu calo polisi. Jumlah uang yang telah mereka setorkan ke anggota polisi tersebut tak main-main: Rp900 juta.
Awalnya, pengrajin gerabah ini mengaku punya keinginan anaknya bekerja sebagai polisi. Sayangnya, kedua anaknya selalu gagal saat seleksi.
Pada momen tersebut, secara tak sengaja mereka bertemu dengan WT. Dia merupakan anggota polisi asal Pemalang yang mengaku bisa “meloloskan” anak Suratmo menjadi polisi.
Akhirnya, Suratmo pun menjual tanah seluas 2,6 ribu meter persegi. Hasil penjualannya dipakai untuk menyetor duit ke WT. Rinciannya, Suratmo menyetor sebanyak empat kali: Rp75 juta, Rp275 juta, Rp500 juta, dan Rp50 juta.
Setelah uang disetor, sayangnya WT tak menepati janjinya. Kedua anak Suratmo nyatanya tetap saja kandas dalam tes Bintara Polri. Bahkan, salah satunya sudah dinyatakan gugur dalam seleksi administrasi tingkat Polres. Sementara anaknya yang lain tersingkir di Semarang.
Suratmo pun telah melaporkan kasus ini. Sementara WT telah ditetapkan sebagai tersangka. Dia terancam hukuman pidana dan kode etik dari kepolisian.
3 hal bermanfaat dengan Rp900 juta ketimbang buat daftar polisi
Setelah berita itu tersebar di media sosial, respons warganet pun bertebaran. Ada yang mengaku ini sudah jadi rahasia umum dan tak sedikit juga yang menganggapnya maklum jika melihat kualitas polisi di Indonesia hari ini.
Kebetulan, berita tersebut muncul saat kredibilitas kepolisian sedang dipertanyakan. Mulai dari rekayasa kasus penembakan GR di Semarang, pemerasan polisi di DWP Jakarta, sampai kasus penembakan bos rental mobil setelah polisi menolak laporan.
Tapi yang lebih unik, banyak juga warganet yang berandai-andai: “Daripada buat daftar polisi, kira-kira Rp900 juta bisa dipakai buat apa, ya?”
Setelah melakukan komparasi, reporter Mojok membuat daftar tiga hal bermanfaat yang bisa dipakai dengan duit Rp900 juta, ketimbang dikasih calo polisi. Berikut ini daftarnya:
#1 Menggaji 3.000 guru honorer lebih punya manfaat
Mojok pernah membuat banyak liputan terkait guru honorer. Kebanyakan tulisan tersebut adalah soal duka dan keluhan mereka yang mendapat upah tak layak.
Salah satunya adalah Hani (25), guru honorer asal Bantul yang bahkan cuma diupah rata-rata Rp300 per bulan. Menurut Hani, apa yang dialaminya bukan fenomena tunggal. Nyatanya, ada banyak kawan-kawan seprofesinya yang punya nasib serupa.
“Bahkan yang lebih buruk pun tak kalah banyak,” jelas lulusan UNY ini, saat Mojok hubungi Sabtu (4/1/2024).
Kalau mengacu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 83/PMK.02/2022 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2023, keluhan Hani memang valid.
Berdasarkan PMK tersebut, besaran gaji pengajar honorer yang berasal dari luar satuan kerja penyelenggara adalah sebesar Rp300.000. Sementara pengajar honorer yang berasal dari dalam satuan kerja penyelenggara adalah Rp200.000.
Dengan demikian, jika dihitung, duit Rp900 juta yang Suratmo pakai buat membayar calo polisi, bisa buat menggaji 3.000 guru honorer.
Ya, tetap saja tak menutup fakta bahwa gaji guru honorer amat kecil. Tapi setidaknya, lebih bermanfaat daripada buat ngasih makan calo polisi, bukan?
#2 Meluluskan puluhan mahasiswa UNY
Makin ke sini, semakin banyak yang mengeluh soal tingginya biaya kuliah. Mahasiswa UNY pun banyak yang mengalaminya. Bagi mereka, uang kuliah tunggal (UKT) di UNY memang tak murah lagi.
Per 2024, UKT terendah di UNY adalah sebesar Rp500 ribu. Sementara yang tertinggi rata-rata berada di kisaran Rp6 juta.
Sebagai catatan, itu belum termasuk uang pangkal bagi mahasiswa jalur seleksi mandiri yang nominalnya amat besar. Ada yang dapat Rp10 juta, Rp25 juta, dan yang Rp50 juta pun juga banyak.
Mojok sendiri menemui salah satu mahasiswa UNY bernama Dandi (20). Dia merupakan mahasiswa jalur SNBT dan mengaku “aman” dari uang pangkal. UKT-nya pun sebesar Rp2,4 juta; nominal yang menurutnya masih ringan ketimbang kebanyakan temannya.
Dandi juga merupakan tipikal mahasiswa yang aktif. Baik di organisasi internal, maupun di ekstrakampus. IPK-nya pun juga cenderung tinggi buat mahasiswa semester empat, yakni 3,7.
Dengan asumsi Dandi menghabiskan Rp20 juta untuk membayar UKT sampai lulus (idealnya delapan semester). Artinya, duit Rp900 juta yang dipakai Suratmo buat membayar calo polisi bisa dipakai buat meluluskan 45 Dandi lain di UNY. Sementara yang UKT-nya lebih rendah dari Dandi, bisa jadi jumlahnya bisa ratusan mahasiswa.
Memang, ini tak bisa menutup fakta kalau biaya kuliah di UNY itu mahal. Tapi, meluluskan mereka setidaknya jauh lebih bermanfaat daripada nyetor duit ke calo polisi, bukan?
#3 Mending buat menggaji anggota Damkar di 10 kabupaten, atau daftar polisi?
Di media sosial, warganet menganggap polisi dan pemadam kebakaran (Damkar) adalah entitas yang saling berkebalikan. Jika polisi dianggap “evil”-nya, maka petugas Damkar adalah kebalikannya. Mereka dianggap lebih sigap, lebih mengayomi, dan di titik paling ekstrem: dianggap lebih punya manfaat daripada polisi.
Sayangnya, kalau ngomongin kesejahteraan, mereka masih di bawah polisi. Belakangan, banyak petugas Damkar yang mengeluh karena minimnya fasilitas yang mereka dapat. Sementara polisi, dalam penganggaran besaran APBN saja berada di posisi kedua. Pengadaan fasilitas penunjang seperti gas air mata, senjata, dan sejenisnya, juga tak pernah kurang-kurang.
Bahkan kalau membicarakan upah, petugas Damkar rata-rata hanya mendapatkan Rp2 juta per bulan (sesuai PP Nomor 5 Tahun 2024). Dengan demikian, duit Rp900 juta yang disetor Suratmo ke calo polisi, bisa buat menggaji 450 petugas Damkar.
Kalau rata-rata jumlah personel Damkar di tiap kabupaten adalah 40 orang (di Sleman 39), maka jumlah itu setara dengan 10 kabupaten.
Jadi, mending mana, Rp900 juta buat daftar polisi, atau mengupah petugas Damkar di 10 kabupaten?
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Bagi Saya, Polisi yang Baik Hati Hanya Ada di Lagu Slank atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan