MOJOK.CO – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggelar peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-50 di kompleks JI-Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (10/1/2022). Presiden Joko Widodo hadir dalam acara tersebut dan memberikan pidato politik bersama Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Sebagai salah satu parpol terkuat dan terbesar di Indonesia saat ini, PDIP punya sejarah panjang. Ia disebut-sebut lahir dari gagasan Sukarno, kemudian patah dan bertumbuh di masa Orde Baru, hingga eksis dan mendominasi sejak masa Reformasi.
Lantas, bagaimana sejarah PDIP itu sendiri?
Sejarah awal PDIP
Akar ideologi PDIP, disebut-sebut punya pertalian erat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI)—yang didirikan Sukarno pada 1927. Namun, sejarah awal pendirian partai berlogo banteng ini justru tak lepas dari kebijakan otoriter Orde Baru yang memaksa menyatukan parpol-parpol dalam satu wadah, yakni Fusi Partai.
Menurut Stefan Eklof dalam bukunya Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia: The Indonesian Democratic Party (PDI) and Decline of the New Order (1986–98) (2004), pada tahun 1970-an Suharto memaksa PNI yang nasionalis, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang militeristik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katholik yang agamis, serta Partai Murba yang sosialis untuk menggabungkan diri menjadi Kelompok Demokrasi Pembangunan.
“Kelompok ini yang akhirnya menjadi cikal bakal Partai Demokrasi Indonesia (PDI),” tulis Eklof.
Sementara itu, kemunculan Megawati Sukarnoputri, menurut Eklof, tak lepas dari peran Benny Moerdani, panglima ABRI yang menjabat pada 1983-1988. Benny disebut-sebut sebagai salah satu sosok yang menjadi oposisi sesungguhnya Orde Baru. Bahkan, secara terang-terangan ia kerap mengkritik praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dialamatkan pada Suharto dan kroni-kroninya.
Suharto yang mulai gerah pun berupaya menyingkirkan Benny secara halus. Ia pada akhirnya merancang satu upaya untuk membersihkan pengaruh Benny dari militer Indonesia yang—dalam bahasa Eklof—disebut “debennyisation”.
“Benny yang mulai awas kemudian mulai melirik keluarga Sukarno untuk menandingi Suharto,” kata Eklof.
Menurut Eklof, ada dua alasan mengapa Benny pada akhirnya memilih keluarga Sukarno. Pertama, Sukarno dianggap masih punya pengaruh besar di kalangan akar rumput, meski sudah didelegitimasi habis-habisan oleh Orba. Kedua, Benny disebut-sebut merasa berhutang budi dengan Sukarno di masa lalu.
Singkat cerita, kemudian Benny pun berhasil membujuk salah satu anak Sukarno yakni Megawati, untuk bergabung ke PDI. Bahkan, menurut Eklof, Mega yang awalnya tidak pandai bicara di muka publik, berhasil tampil menjadi figur yang kuat di internal partai karena “bimbingan Benny”.
Peristiwa Kudatuli, awali kelahiran PDIP
Nama Megawati mulai naik dan semakin diperhitungkan dalam kancah politik. Namun, di saat bersamaan konflik internal di dalam partai justru terjadi. Banyak ahli menduga, konflik ini terjadi lantaran PDI dibangun atas tiga ideologi besar yang saling berseberangan: agamis, sosialis, dan nasionalis.
Kendati demikian, Eklof berpendapat bahwa konflik internal ini juga tak lepas dari intervensi pemerintah Orba. Alasannya, Suharto khawatir Megawati bakal meradikalisasi massa akar rumput untuk melawan kekuasaan Orde Baru.
Buktinya intervensi pemerintah terlihat ketika PDI mengangkat Megawati sebagai ketua umum (untuk meredakan konflik), Suharto justru menjegalnya. Saat itu, The Smiling General menerbitkan larangan mendukung pencalonan Megawati dalam Kongres Luar Biasa (KLB) pada 2-6 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur.
Padahal, larangan tersebut sejatinya berbeda dengan keinginan peserta KLB. Secara de facto, Megawati dinobatkan sebagai Ketum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI periode 1993-1998. Sehingga, Munas 22-23 Desember 1993 di Jakarta pun, Mega dikukuhkan sebagai Ketum DPP PDI secara de jure atau resmi.
Suharto tak habis akal. Pada 15 Juli 1996, ia mengukuhkan Suryadi sebagai Ketum DPP PDI dalam Kongres Medan. Pendukung Megawati, termasuk di antaranya Budiman Sujatmiko, yang tak terima atas putusan itu menggelar Mimbar Demokrasi di halaman kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta Pusat.
Dalam rekaman kesaksian yang ditulis Jerome Tadie berjudul Wilayah Kekerasan di Jakarta (2009), saat itu muncul rombongan berkaos merah kubu Suryadi yang kemudian bentrok dengan kubu Megawati. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli atau disingkat menjadi “Peristiwa Kudatuli”.
Di hari berikutnya, Kongres Medan diputuskan tidak sah karena Suryadi dianggap terlibat dalam penculikan dan penganiayaan kader PDI. Dukungan terhadapnya pun melemah, yang di waktu bersamaan laju Megawati sebagai ketua umum makin tak terbantahkan.
Stefan Eklof mencatat, sejak pemerintahan Suharto lengser pada Reformasi 1998, laju PDI di bawah pimpinan Megawati semakin kuat. Nama Megawati sebagai ketum juga makin tak terbantahkan setelah ia kembali ditetapkan sebagai ketum DPP PDI untuk periode 1998-2003 pada Kongres ke-V di Denpasar, Bali.
Pada 1 Februari 1999, Megawati kemudian mengubah nama PDI dengan menambah kata “Perjuangan” di belakang agar dapat mengikuti pemilu dan kemudian dideklarasikan pada 14 Februari 1999 di Istora Senayan, Jakarta.
PDIP melakukan Kongres I pada 27 Maret-1 April 2000 di Hotel Patra Jasa, Semarang, Jawa Tengah. Kongres tersebut menghasilkan keputusan Megawati Sukarnoputri sebagai Ketum DPP PDIP periode 2000-2005. Hingga Kongres ke V, pada 8 Agustus 2019, Megawati kembali terpilih menjadi Ketum untuk periode 2019-2024 secara aklamasi.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda