MOJOK.CO– Menyoal vonis mati yang dialamatkan kepada Herry Wirawan, Komnas Perempuan punya pandangan berbeda. Sebagaimana sikap awal yang pernah mereka sampaikan tahun lalu, lembaga ini konsisten menolak hukuman mati untuk Herry, serta semua terpidana yang divonis mati.
Mahkamah Agung (MA) secara resmi menolak permohonan kasasi Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati di Pondok Pesantren Madani, Bandung, Jawa Barat. Dengan demikian, Herry dinyatakan tetap akan dihukum mati, sebagaimana putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Mengutip laman resmi MA, kasus Herry bernomor 5642 K/PID.SUS/2022. Dalam surat tersebut, tercantum bahwa keputusan vonis hukuman mati telah diputuskan oleh Ketua Majelis Hakim, Sri Mulyani, sejak 8 Desember 2022.
“Amar putusan JPU (Jaksa Penuntut Umum) dan terdakwa ditolak,” tulis amar putusan MA, dikutip Senin (16/1/2023).
Sebagaimana diketahui, sebelumnya eksekusi mati terhadap predator seks Herry Wirawan masih harus menunggu putusan kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Namun, setelah delapan bulan berlalu sejak Herry Wirawan mengajukan kasasi pascavonis mati Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, MA tak kunjung mengeluarkan putusan. Maka, putusan MA itupun memperkuat putusan banding PT Bandung pada April 2022.
Menanggapi putusan tersebut, Kementerian Agama (Kemenag) berharap bahwa vonis yang dijatuhkan pada Herry dapat memberi efek jera.
“Semoga penegakan hukum atas pelaku kejahatan kemanusiaan, termasuk tindak asusila di lembaga pendidikan, ini bisa memberikan efek jera,” kata Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Waryono Abdul Ghafur.
Tak ada korelasi antara hukuman mati dan efek jera
Menyoal hukuman mati yang dialamatkan kepada Herry Wirawan, Komnas Perempuan punya pandangan berbeda. Sebagaimana sikap awal yang pernah mereka sampaikan tahun lalu, lembaga ini konsisten menolak hukuman mati untuk Herry, serta semua terpidana yang divonis mati.
“Komnas Perempuan, pada dasarnya menolak hukuman mati untuk pidana apa pun,” kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, dikutip dari Detik, Senin (16/1/2023).
Menurut Andy, narasi yang beredar selama ini menyebut hukuman mati dapat memberi efek jera bagi para pelaku kejahatan, khususnya kekerasan seksual. Namun, ia menyebut bahwa sama sekali tidak ada kaitannya antara hukuman mati dengan efek jera.
“Kajian banyak negara mengenai hukuman mati menemukan bahwa hampir tidak ada korelasi antara efek jera dan hukuman mati,” kata Andy.
Jika disebutkan bahwa pelaku tak akan mengulangi kejahatannya, ia sepakat mengingat mereka dipastikan bakal kehilangan nyawa. Akan tetapi, apakah mereka dinilai jera atau tidak, ini tidak bisa dipastikan lantaran belum ada tolok ukur yang jelas.
“Sementara untuk masyarakat luas, fenomena hukuman mati juga tidak menunjukkan kausalitas yang cukup untuk menimbulkan efek jera,” kata Andy.
Apa yang dikatakan Andy selaras dengan temuan profesor hukum Columbia University Jeffrey Fagan. Pada 2006 lalu, saat menyampaikan pemaparannya dalam Forum Kolokium Hukum Pidana, Fagan menyebut belum ada bukti valid yang menunjukkan korelasi antara hukuman mati dengan efek jera.
Menurutnya, persepsi hukuman mati bakal menimbulkan efek jera hanyalah pemikiran yang bersifat asumtif alias tidak berdasar. Fagan mengakui, memang pada tahun 1970-an muncul sejumlah penelitian yang mengklaim ada hubungan antara hukuman mati dengan efek jera. Namun, penelitian-penelitian tersebut cacat secara teknis dan metodologis.
“Saya memiliki beberapa keraguan tentang validitas sebab akibat [hukuman mati dengan efek jera]. Kejahatan itu sifatnya impulsif, bisa berulang, dan terjadi dengan faktor beragam seperti gangguan kognitif, kerusakan otak organik, merasa dilecehkan, penyalahgunaan narkoba, alkohol dan sejumlah faktor lain,” tulisnya.
Data Death Penalty Information Center pada tahun 2015 juga membuktikan bahwa sejak tahun 2008 hingga 2014, negara bagian di Amerika Serikat yang tidak menerapkan pidana mati justru memiliki tingkat kriminalitas lebih rendah dibandingkan negara bagian yang masih menerapkan pidana mati.
Tidak membantu pemulihan korban
Sejak pertama kali diputuskan pada 2016 soal vonis kebiri dan pidana mati bagi pelaku kekerasan seksual, nyatanya semenjak saat itu pula kasus serupa masih berulang. Bahkan, mengutip data Komnas Perempuan, pada 2016-2021 kasus kekerasan seksual terus meningkat tiap tahunnya.
Selain terbukti tak membawa efek jera, vonis mati juga tak membantu pemulihan korban kekerasan seksual. Peneliti hukum pidana Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana menuturkan, bahwa dalam kasus kekerasan seksual, fokus utama seharusnya bukanlah penghukuman pelaku, tetapi aspek perlindungan terhadap korban.
Ia mengakui, memang dalam putusan hakim, pelaku bakal dikenai berbagai ganti rugi materiil buat pemulihan korban. Misalnya, kewajiban membayar restitusi sebesar lebih dari 300 juta rupiah.
“Tetapi perlu ditegaskan pula, bahwa setiap korban kekerasan seksual umumnya akan mengalami kerugian secara fisik dan psikis juga,” kata Dio, dikutip dari laman IJRS, Senin (16/1/2023)
Banyak korban, kata Dio, mengalami trauma dan ketakutan. Namun, sebagian besar proses penegakan hukum malah tidak menyelesaikan permasalahan yang dialami korban tersebut.
Padahal, aspek pemulihan korban harusnya diutamakan, baik melalui pendampingan hukum, psikis maupun medis, agar korban juga dapat menjalani pemulihan untuk fisik dan mentalnya.
“Jangan sampai fokus utama hanya sekedar tentang pelaku, tetapi mengabaikan aspek perlindungan dan pemulihan korban itu sendiri,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda