MOJOK.CO – Animo masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam menyongsong Pemilu 2024 cukup tinggi. Kendati demikian, masalah-masalah yang dihadapi, khususnya politik uang (money politic) juga menunjukkan kecenderungan yang sama.
Lembaga penelitian Kolaborasi Strategis (Kolasse) mencoba memetakan pengetahuan warga DIY, yang tersebar di 50 kelurahan di 5 lima kabupaten/kota, terkait Pemilu 2024. Dari hasil survei terhadap 484 responden, 80 persen lebih masyarakat DIY mengaku paham dan sebagian besar mengatakan siap berpartisipasi dalam pemilu.
“Hasil di lapangan menunjukkan, sebesar 80,4 persen warga masyarakat mengetahui pemilu akan dilakukan tahun 2024 mendatang, di mana 74,8 persen di antaranya menyatakan akan ikut berpartisipasi,” tulis laporan berjudul “Partisipasi Pemilih dan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Provinsi DIY” tersebut.
“3,1 persen belum memutuskan, dan 2,5 persen menyatakan tidak akan ikut berpartisipasi,” sambungnya.
Chiefs Operating Officer (COO) Kolasse, Satria Aji Imawan, memaparkan bahwa besarnya partisipasi warga DIY menjelang Pemilu 2024 ini juga diikuti dengan kecenderungan politik yang beragam atau majemuk.
Misalnya, terlihat dalam hal penentuan parpol mana yang bakal dicoblos. Beberapa kelompok masyarakat mengaku bahwa mereka mencoblos suatu parpol atas dasar kesamaan ideologi politik (25 persen). Pun, tak sedikit juga yang menjawab karena sekadar ikut-ikutan pilihan lingkungan sekitar, pilihan turun temurun keluarga, dan ada juga yang memilih parpol hanya karena menyukai ketua partainya saja.
Akan tetapi, kata Aji, untuk urusan memilih presiden warga DIY punya kecenderungan yang serupa. Separuh lebih responden (52 persen) mengaku bahwa mereka akan memilih calon presiden karena figur tersebut dianggap dekat dengan rakyat. Indikatornya, adalah karena figur ini sering blusukan dan berdialog langsung bersama warga.
“Blusukan dan paham ekonomi rakyat masih akan menjadi simpul untuk menaikkan elektabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta, terutama bagi pemilih muda,” papar dosen Administrasi Publik Universitas Diponegoro ini, Kamis (29/12/2022).
Politik uang masih jadi masalah akut
Kendati partisipasi politik masyarakat DIY cukup tinggi, hal ini juga berbanding lurus dengan masalah yang mengikutinya. Salah satunya terkait politik uang atau money politic.
Warga Jogja mengaku, bahwa mereka pesimis politik uang dapat dihilangkan. Perasaan pesimistis ini selaras dengan kecenderungan mereka yang cukup menerima kehadiran money politic itu sendiri.
Ketika responden ditanya, “apabila terdapat politik uang di lingkungan dekat tempat tinggalnya, apakah tetangga responden akan turut menerima uang tersebut”, sebesar 25,8 persen menjawab akan menerima dan memilih kandidat yang diminta. Adapun 30,7 persen yang lain mengatakan akan menerima tapi tidak akan memilih kandidat yang diminta.
Bahkan, saat mereka ditanya apakah akan melaporkan praktik politik uang apabila terjadi di wilayah mereka, nyaris seluruh responden (81,3 persen) mengatakan tidak akan melaporkan tindakan itu.
“Sebesar 65,5 persen merasa bukan urusan mereka, sebesar 15,8 persen karena sedikit takut. Hanya sebesar 17,2 persen yang mengatakan akan melaporkan,” urai laporan tersebut.
Pakar Kepemiluan Mada Sukmajati menyebut, sikap permisif masyarakat DIY atas politik uang hendaknya menjadi warning bagi para pemangku kebijakan. Khususnya karena ini mendekati tahun-tahun pemilu.
“Politik uang masih sangat kuat,” ujar Mada, yang juga menjadi pembicara dalam acara rilis hasil penelitian tersebut, Kamis (29/12/2022).
“Dan ini perlu untuk menjadi catatan bagi para pemangku kebijakan, terutama mengingat banyak warga masyarakat yang tidak terlalu peduli dengan adanya praktik politik uang,” tutup Dosen DPP UGM ini.
Reporter: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi