MOJOK.CO – Mahkamah Konstitusi (MK) seolah-olah menjadi tim sukses pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming. Tingkat kepercayaan kepada lembaga negara ini jadi menurun drastis.
Calon presiden (capres), Prabowo Subianto akhirnya mendaftarkan Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres) ke Komisi Pemilihan Umum KPU), Rabu (25/10/2023). Momen yang terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan kepala daerah di bawah usia 40 tahun bisa menjadi capres atau cawapres asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah tersebut sensitif dan beraroma politis.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), King Faisal Sulaiman menyatakan, keputusan MK itu dapat memengaruhi tingkat kepercayaan terhadap lembaga negara tersebut. Sebab keputusan tersebut menjadikan MK justru jadi tim sukses salah satu capres dan cawapres.
“Jangan-jangan MK sudah masuk angin, malah jadi “tim sukses”, inikan berbahaya sekali. Orang tidak lagi percaya terhadap lembaga kekuasaan yudikatif MK yang sejak awal ketika pembentukan spiritnya adalah untuk menegakkan konstitusi. Tapi faktanya dia tidak mampu memerankan lembaganya secara baik,” paparnya.
Tidak sah di mata hukum, MK rusak tatanan demokrasi
Menurut King, putusan MK tersebut juga bisa merusak tatanan demokrasi di Indonesia. Sebab keputusan itu sensitif dan beraroma politis. Bahkan menjadi pertaruhan terhadap eksistensi dan marwah MK. Padahal MK seharusnya menjadi lembaga penegak hukum yang memerankan diri sebagai lembaga yang independen dan imparsial.
“Sebab terkait dengan momentum Pilpres 2024 dan sarat akan konflik kepentingan,” tandasnya.
King menyebutkan, MK perlu melakukan evaluasi secara menyeluruh karena putusan tersebut tidak sah secara hukum. Penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun perlu memeriksa secara cermat argumen hukum yang mendasari putusan mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Karena putusan itu bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Kalau dari kacamata UU 48 Tahun 2009 dapat dikatakan demikian. Dapat dibatalkan, tidak mengikat. Tapi kan problem kita ini satu, sifat putusan MK itu tidak bernilai eksekutorial, tidak bisa dieksekusi dengan upaya paksa. Kalau MK ini kan memutuskan sengketa norma jadi tidak ada keharusan,” tandasnya.
Pertimbangkan pendekatan hukum terbuka
King menambahkan, pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan Presiden bisa saja mempertimbangkan kembali pendekatan kebijakan hukum terbuka. Jika DPR memandang putusan MK bertentangan dengan hukum atau kebijakan yang ada, maka mereka tidak perlu mengubah undang-undang sesuai dengan putusan tersebut karena tidak ada kewajiban yang mengharuskan mereka melakukannya.
“Inikan sanksi secara etik dan moral, soal kepatutan secara hukum,” ungkapnya.
Meski bermasalah, King mengajak masyarakat untuk tetap menggunakan hak pilih atau tidak golput dalam momentum Pilpres dan Pilkada 2024. Dia menyebut pemilu sebagai cara untuk memberikan mandat kepada pemimpin.
“Siapapun pemimpin yang terpilih, diharapkan dapat membawa perubahan dan kemajuan bagi bangsa, dan menjaga supremasi hukum yang baik dan benar,” imbuhnya.
Reporter: Yvesta Ayu
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Rantis Maung Mengantar Prabowo dan Gibran ke KPU, Ini Spesifikasi Kendaraan Buatan Pindad Itu
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News