MOJOK.CO – Partai Buruh kembali menyuarakan penolakan mereka terkait kebijakan ambang batas parlemen alias parliamentary threshold Pemilu 2024. Lantas, bagaimana awal kemunculan istilah ini dan seperti apa implementasinya?
Menjelang Pemilu 2024, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menjelaskan terkait alasan penolakannya terhadap parliamentary threshold. Menurutnya, kebijakan ini hanya akan menghidupkan kembali demokrasi terpimpin dan mempertahankan oligarki partai politik.
“Dalam simulasi, bilamana partai politik dalam Pemilu 2024 mendapatkan 30-40 kursi di DPR RI, maka ada kemungkinan bisa tidak lolos parliamentary threshold,” ucap Iqbal dalam keteranganya, Senin (17/4/2023).
“Sebab, meskipun mendapatkan 30-40 kursi DPR RI, bisa saja suara yang didapat di bawah 4 persen suara sah nasional,” sambungnya.
Dengan demikian, lanjut Said Iqbal, sama saja 40 kursi partai politik tersebut “dibajak oleh parpol yang ada di parlemen”.
Ia pun meminta ada revisi terhadap UU Pemilu, agar parliamentary threshold 4 persen dicabut atau dimaknai sebagai 4 persen dari jumlah kursi yang ada di DPR RI.
Artinya, jika menggunakan pemaknaan ini maka ambang batas minimum perolehan suara sah partai politik dalam pemilu cukup 23 kursi dari total 580 kursi di Senayan.
“Bayangkan sebuah partai politik yang memenangkan Pemilu 2024 dengan 40 kursi tidak bisa duduk di Senayan hanya karena perolehan suaranya kurang dari 4 persen suara sah nasional 2024,” pungkasnya.
Mengenal Parliamentary threshold
Dalam ajang pemilu di Indonesia, kita mengenal istilah parliamentary threshold. Istilah ini berarti syarat minimal perolehan suara agar sebuah partai politik bisa ikut dalam penentuan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD).
Melansir Jurnal Penelitian Politik LIPI (2019), alasan utama dari penerapan ambang batas parlemen adalah untuk menyederhanakan jumlah parpol di Indonesia yang sudah terlampau banyak.
Seperti dalam jurnal berjudul “Penyederhanaan Partai Politik Melalui Parliamentary threshold: Pelanggaran Sistematis Terhadap Kedaulatan Rakyat” tersebut, aturan parliamentary threshold pertama kali hadir pada Pemilu 2009.
Saat itu, pemerintah menetapkan syarat sebuah parpol bisa mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan memperoleh suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara nasional. Hal itu tercantum dalam Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Peraturan ambang batas parlemen pada 2009 belum berlaku untuk kursi DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Naiknya ambang batas
Pemerintah kemudian kembali memberlakukan ambang batas parlemen dalam pemilu 2014. Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 menetapkan batas perolehan suara lebih tinggi, yakni 3,5 persen dari jumlah suara nasional, sebagai syarat bagi sebuah parpol bisa memperoleh kursi di DPR.
Peraturan ambang batas parlemen pada pemilu 2014 mulai berlaku untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian memutuskan parliamentary threshold sebesar 3,5 persen tidak berlaku secara nasional dan hanya berlaku untuk DPR saja.
Kemudian, aturan parliamentary threshold kembali berlaku pada pemilu 2019, dan tercantum dalam Pasal 414 dan 415 Undang-Undang Nomor 7 Tahun Tahun 2017.
Penjelasan dalam UU itu yang menyatakan sebuah parpol harus memperoleh suara sekurang-kurangnya 4 persen dari jumlah suara nasional untuk bisa memperoleh kursi di DPR dan DPRD.
Pada Pemilu 2019 lalu, sebanyak sembilan partai berhasil melampaui parliamentary threshold tersebut dan akhirnya masuk DPR. Antara lain PDIP (19,33 persen), Gerindra (12,57 persen), Golkar (12,31 persen), PKB (9,69 persen), Nasdem (9,05 persen), PKS (8,21 persen), Demokrat (7,77 persen), PAN (6,84 persen), dan PPP (4,52 persen).
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi