MOJOK.CO – Elektabilitas Anies Baswedan dalam survei beberapa bulan belakangan masih stagnan. Sebetulnya apa yang jadi penyebabnya?
Elektabilitas mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terus jalan di tempat alias tak mengalami kenaikan berarti. Sejak awal tahun 2023, elektabilitas Anies stagnan di posisi ketiga dengan angka dukungan yang bahkan semakin alami penurunan.
Sementara dua pesaingnya, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, bergantian merebut posisi teratas dengan presentase dukungan cenderung stabil.
Dalam tiga hasil survei terbaru saja, misalnya, elektabilitas Anies tak mengalami kenaikan berarti.
Survei Indikator Politik Indonesia per Mei 2023 ini menunjukkan Prabowo dan Ganjar sengit rebutan posisi teratas. Prabowo unggul di posisi 1 dengan 38 persen dukungan, Ganjar di posisi 2 dengan 34,2 persen. Sementara Anies di posisi 3 hanya meraup 18,9 persen.
Hasil serupa juga terlihat pada hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Prabowo di posisi teratas dengan 37,5 persen, disusul Ganjar dengan 33,5, persen, dan Anies hanya meraih 19,2.
Sebelumnya Populi Center juga merilis hasil survei yang menempatkan tiga besar elektabilitas capres pada nama Prabowo, Ganjar, dan Anies. Prabowo berhasil meraih dukungan 35,8 persen, Ganjar 34,4 persen, sedangkan Anies 21,5 persen.
Lantas, yang menjadi pertanyaan, apa yang bikin elektabilitas Anies cenderung stagnan bahkan alami penurunan?
Koalisi kurang solid
Peneliti Populi Center Rafif Pamenang Imawan menyebut, salah satu faktor yang bikin elektabilitas Anies stagnan adalah koalisi yang kurang solid.
Seperti yang diketahui, Anies sendiri dideklarasikan oleh Koalisi Perubahan, yang di dalamnya terdapat Partai NasDem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Menurut Rafif, tiga partai anggota koalisi ini tidak ada yang memiliki posisi tawar yang powerful dalam meng-endorse nama Anies.
Misalnya, Partai NasDem yang membidani koalisi, hari ini posisinya masih “di ruang abu-abu”—apakah mau total-ofensif melawan pemerintah atau tidak. Ada juga PKS, yang meski totalitas mengusung Anies, tidak memiliki tokoh besar yang bisa mendongkrak elektabilitas mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
“Sementara Partai Demokrat, meski punya posisi tawar lebih baik, tetap saja tak punya tokoh mentereng yang bisa mendampingi Anies, karena mau bagaimana pun elektabilitas AHY sebagai cawapres sangat rendah,” jelas Rafif kepada Mojok, Rabu (7/6/2023).
“Hal ini yang kemudian membuat publik akhirnya melihat Anies bukan sosok capres yang relatif kuat jika dibandingkan Prabowo dan Ganjar Pranowo. Apalagi kedua capres ini perlahan tapi pasti mendapatkan tambahan-tambahan dukungan dari koalisi,” sambungnya.
Ketidaksolidan koalisi ini juga terlihat dari setotalitas apa partai-partai ini mengusung Anies. Rafif menilai, dari ketiga partai ini cuma PKS yang benar-benar total mendukung Anies. Sementara Partai NasDem dan Partai Demokrat masih terlihat setengah-setengah.
Hal ini mengingat dalam mengusung Anies, masih ada ego dari masing-masing elite partai terkait. Misalnya, bagaimana pembagian akomodasi kampanye capres yang begitu besar. Belum lagi pasti juga ada pembahasan alot terkait pembagian kursi kabinet, jika mereka menang nantinya.
“Positioning partai koalisi yang tidak terlalu kuat ini pada akhirnya juga bikin Anies tak punya pijakan kuat, jika dibanding dua capres lain,” tegasnya.
Kehilangan momentum
Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno, menduga bahwa biang kerok dari gagalnya Anies dalam mendongkrak elektabilitas adalah karena ia sudah hilang momentum.
Dalam artian, momen-momen di mana Anies harusnya secara tegas menunjukkan keberpihakannya, malah tidak ia manfaatkan.
Menurut Adi, sejak Oktober hingga Desember 2022—tiga bulan setelah deklarasi capres—adalah momen yang ditunggu publik: seperti apa personifikasinya, di mana posisi keberpihakannya, dan apa saja gagasannya.
“Namun, itu tidak dilakukan secara maksimal di awal, sehingga jika mau lihat kecenderungan belakangan ini, Anies mau bicara sekeras apapun mengkritik Jokowi sudah tidak terlampau direspons oleh publik,” kata Adi, Selasa (30/5/2023) lalu, dikutip dari kanal Youtube Zulfan Lindan Unpacking.
Misalnya, Adi mencontohkan, ketika Anies bicara ada Menko yang antikritik, ia sudah tak digubris lagi. Atau, ketika Anies lantang mengatakan bahwa presiden tak boleh partisan dan harus netral dalam pilpres (soal Jokowi cawe-cawe), omongannya sama sekali tak direspons publik.
“Ini karena memang sejak lama publik sudah menunggu. Mereka ingin melihat sebenarnya Anies itu punya ‘jenis kelamin politik’ yang berbeda untuk dinarasikan, tapi itu terlambat,” lanjut Adi.
Faktor hilang momentum itulah yang menurut Adi bisa menjelaskan mengapa elektabilitas Anies jalan di tempat, serta hanya mampu mengekor Prabowo dan Ganjar.
“Sementara di sisi lain, seperti Ganjar misalnya, di saat bersamaan mendapat bonus elektoral karena posisinya sebagai Gubernur Jawa Tengah selama dua periode,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi