MOJOK.CO – Kartini pernah mengalihkan beasiswa pendidikan, yang telah lama ia dambakan, kepada Agus Salim. Beasiswa yang ia dapat harus dibatalkan. Tapi karena tak mau sia-sia, Kartini ingin mengalihkannya ke seseorang yang dianggap punya kecedasan yang luar biasa.
Seperti yang sudah diketahui, pada awal abad ke-20, Kerajaan Belanda membuat kebijakan Politik Etis. Kebijakan ini berangkat dari rasa tanggung jawab moral Ratu Wilhelmina atas wilayah jajahannya, termasuk Hindia-Belanda.
Melalui kebijakan Politik Etis, pemerintah merangkum tiga program dalam Trias van de Venter, yang meliputi irigasi, emigrasi, dan edukasi.
Melalui program edukasi, Politik Etis memberikan kesempatan bagi warga pribumi untuk menempuh pendidikan—meskipun sebenarnya masih dalam kerangka kepentingan pemerintah kolonial.
Kartini sendiri merupakan sosok yang tidak hanya dikenang sebagai peletak emansipasi perempuan di era kolonial, tapi juga pejuang di dunia pendidikan.
Semangat juangnya terhadap dunia pendidikan, khususnya kaum perempuan pribumi, tidak diragukan lagi. Sebagai seorang priayi, ia mengajari para perempuan pribumi cara membaca, menghitung, dan menulis, bahkan membuka sekolah pada saat dirinya dipingit—menunggu untuk dilamar.
Ada kalanya, juga Kartini hampir mendapatkan kesempatan menimba ilmu ke negeri Belanda.
Kartini dapat beasiswa, tapi tidak jadi diambil
Kartini, memang diketahui pandai menulis dan berbahasa Belanda. Ia belajar secara autodidak melalui membaca dan menulis sejumlah surat kepada sahabat-sahabatnya yang berasal dari Belanda.
Salah satunya adalah Rosa Abendanon. Mengutip Gelap Terang Hidup Kartini (2017), dari surat menyurat dengan Abendanon, Kartini sering membaca buku-buku dan koran Eropa, yang bikin kemampuan menulis dan berpikir kritisnya makin terasah.
Bahkan, Kartini juga sering mengirimkan beberapa tulisan. Salah satunya kepada majalah perempuan Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie, tentang hak-hak perempuan pribumi dalam merengkuh pendidikan mereka.
Keinginan Kartini untuk menempuh pendidikan ke negeri Belanda juga sangat kuat. Asa ini pun terbuka setelah suami Rosa Abendanon, yakni JH. Abendanono—yang saat itu menjabat Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia-Belanda—menjanjikan beasiswa bagi Kartini dan saudara-saudaranya untuk belajar ke Belanda.
Pemerintah pun mengabulkan permohonan beasiswa tersebut. Melalui SK Gubermenen yang terbit pada 17 Juni 1903, pemerintah akan memberikan beasiswa 4.800 gulden untuk Kartini menyelesaikan pendidikannya di Belanda.
Sayang sekali, Kartini pada akhirnya terpaksa batal ke Belanda karena harus menikah. Jadi, agar beasiswa itu tak sia-sia, ia ingin beasiswa itu dialihkan ke orang lain yang ia anggap punya kemampuan dan kecerdasan luar biasa.
Ingin dialihkan ke Agus Salim
Selanjutnya, Kartini pun kembali menulis sepucuk surat kepada Rosa Abendanon untuk membujuk suaminya, JH Abendanon, agar mengalihkan beasiswanya kepada Agus Salim.
Alasannya, Kartini tahu bahwa Agus salim merupakan siswa yang cerdas. Selain itu, Agus Salim juga tengah mengajukan beasiswa ilmu kedokteran ke Belanda.
“Saya punya suatu permohonan yang penting sekali untuk nyonya, tapi sesungguhnya permohonan itu ditunjukan kepada Tuan (Abendanon). Maukah Nyonya meneruskannya kepadanya?”, tulis petikan surat Kartini pada Abendanon pada 1903, yang dinukil dari buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1994).
“Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda, kami ingin melihat dia dikaruniai bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia orang Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS. Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter,” sambungnya.
Sayang sekali, lanjut Kartini, kondisi keuangan keluarga Agus Salim tidak memungkinkan. Kata dia, upah ayah Agus Salim hanya 150 gulden sebulan, sementara biaya pendidikannya sekitar 8.000 gulden.
Maka dari itu, Kartini ingin memberikan beasiswa pendidikannya ke Agus Salim. Menurut SK Gubermenen tertanggl 17 Juni 1903 yang ia terima, beasiswa itu sebesar 4.800 gulden.
“Alangkah indahnya andai pemerintah bersedia membiayai seluruh pendidikannya yang berjumlah kira-kira 8000 gulen. Bila tak mungkin, kami akan berterima kasih, seandainya Salim dapat menerima jumlah 4800 gulen yang disediakan untuk kami itu. Untuk sisa kurangnya kami dapat meminta bantuan orang lain,” pinta Kartini.
Agus Salim menolak
Sayangnya, Agus Salim menolak pengalihan beasiswa tersebut. Ia mengaku sungkan karena merasa beasiswa tersebut bukan lantaran penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya, melainkan karena usul orang lain.
“Kalau pemerintah mengirim saya karena anjuran Kartini, bukan karena kemauan pemerintah sendiri, lebih baik tidak,” kata Agus Salim dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim (1994).
Sejak peristiwa ini pun, Agus Salim memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan sekolahnya. Pada 1906, ia berangkat ke Arab Saudi untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda.
Di sana, Salim memanfaatkan waktu luang untuk berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam besar Masjidil Haram, guru Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Hasyim Asyari (pendiri NU).
Sepulang dari Arab, Agus Salim mendirikan sekolah, bekerja pada pemerintah, lalu keluar dan aktif sebagai politisi di PSI.
Sementara Kartini, pada 12 November 1903, melangsungkan pernikahan dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Saat sudah menjadi istri bupati, Kartini boleh membangun sebuah sekolah perempuan bagi kaum pribumi.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Seumur Hidup Melawan, Mengapa Kartini Akhirnya Mau Dipoligami? dan tulisan menarik lainnya di Kanal Pemilu.