MOJOK.CO – Isu dinasti politik makin jadi perbincangan panas di Indonesia. Putusan MK tempo hari terkait gugatan usia cawapres yang diklaim menguntungkan Putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, jadi bahan bakar tambahan.
Gibran, yang saat ini dikaitkan sebagai cawapres Prabowo Subianto, dikatakan bahwa jalannya makin mulus akibat putusan tersebut. Jokowi sendiri secara terang-terangan memang belum memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon presiden.Â
Dinasti politik langgeng di Indonesia
Namun, salah satu kelompok relawan terbesarnya, Projo, sudah mendeklarasikan untuk mendukung Prabowo.
Seandainya Gibran benar-benar berpasangan dengan Ketua Umum Gerindra itu, banyak pengamat politik melihat ini sebagai siasat Jokowi untuk melanggengkan dinasti politiknya.
Sebelum ini, Jokowi memang sudah “menaruh” keluarganya di posisi-posisi strategis pemerintahan. Antara lain Gibran yang menjadi Wali Kota Solo, Kaesang Pangarep yang baru saja menjadi Ketua Umum PSI, Bobby Nasution (menantu) yang menjadi Wali Kota Medan, hingga adik iparnya Anwar Usman yang jadi Ketua MK.
Lantas, kira-kira apa yang bikin dinasti politik ini langgeng di Indonesia? Pengamat politik Institute for Advance Research Unika Atma Jaya Jaya Jakarta, Yoes C. Kenawas, menyebutkan ada 3 faktor dari maraknya fenomena itu.
#1 Faktor institusional
Yoes menyebut, secara institusional, konstitusi di Indonesia tidak melarang kerabat politikus untuk mencalonkan diri dalam pemilu. MK, bahkan telah membatalkan klausul anti-dinasti yang sebelumnya tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Alhasil, dalam situasi seperti ini kerabat politisi cenderung diuntungkan. Karena kedekatan mereka dengan petahana, kerabat politikus ini memiliki popularitas yang lebih tinggi ketimbang non-kerabat.
Ia juga punya privilese lain, seperti kemampuan membiayai kampanye hingga bisa mengakses sumber-sumber dana kampanye. Para kerabat ini juga bakal dilirik oleh parpol karena bisa menguntungkan partai.
“Maka tak mengherankan kalau partai politik tidak malu-malu mencalonkan kerabat politikus dalam perhelatan pilkada maupun pemilu legislatif,” tulis Yoes, dalam opininya di Koran Tempo, dikutip Selasa (17/10/2023).
#2 Perilaku pemilih
Selain karena masalah yang sifatnya institusional, dinasti politik bisa marak karena perilaku pemilih. Menurut Yoes, dari sisi pemilih, mereka tidak serta-merta menolak kerabat politikus yang dicalonkan dalam Pemilu. Hal ini sesuai dengan riset yang ia lakukan jelang Pilkada serentak 2020.
Dengan demikian, Yoes menyimpulkan, pemilih tak serta merta “alergi” dengan kandidat yang merupakan kerabat dekat atau keluarga petahana.
“Mereka cenderung melihat performa si inkumben selama menjabat dan reputasi keluarga sebelum memutuskan mendukung atau menolak,” jelasnya.
#3 Ketidakpastian yang politikus hadapi
Lebih lanjut, dua faktor di awal tadi menyebabkan terjadinya faktor ketiga: ketidakpastian yang politisi hadapi. Kata Yoes, ketidakpastian itu bisa beragam bentuknya.
Mulai dari hilangnya privilese dan pendapatan keluarga, potensi tuntutan hukum (ini yang umum terjadi), hingga “warisan” kebijakan yang terancam tak dilanjutkan penerusnya.
Alhasil, menurut Yoes, membentuk dinasti politik adalah langkah paling rasional untuk memitigasi ketidakpastian itu.
“Kerabat dianggap lebih dapat dipercaya dibanding, misalnya, kolega satu partai karena hubungan kekerabatan dalam meminimalisir potensi ‘pengkhianatan’,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Pakar Politik UGM: Putusan MK Buka Jalan Bagi Gibran Dampingi Prabowo, Demokrasi Mundur
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News