MOJOK.CO – Percayalah, jika semua kata-kata di artikel ini terdengar bualan belaka, saya tetap yakin QRIS adalah game changer yang dibutuhkan Indonesia.
Dari sekian banyak kebijakan pemerintah yang lebih sering dikritisi ketimbang diapresiasi, agaknya, peluncuran QRIS atau Quick Response Code Indonesian Standard termasuk salah satu yang layak diberi apresiasi tinggi.
Saya punya pengalaman pribadinya. Dua pekan yang lalu, ketika berlibur di Jogja, saya dan istri menyempatkan makan di warung soto langganan saya di pinggiran Sleman. Empat tahun lalu, ketika masih indekos dan biasa makan di sana, saya harus lebih dulu ke mesin ATM untuk ambil uang tunai. Kini, empat tahun berselang, dengan total makan yang habis Rp38.500, semua bisa saya bayar pakai QRIS.
Ketika dirilis secara resmi sejak 17 Agustus 2019, Bank Indonesia memang mencanangkan QRIS sebagai bagian dari cetak biru perkembangan ekonomi digital di masa mendatang. Tapi siapa sangka, justru pandemi, yang kemudian membuat popularitas QRIS meroket pesat hingga detik ini.
Kekuatan utama QRIS
Dari data yang ada di situs resminya, QRIS secara statistik sudah digunakan di 514 wilayah di Indonesia dengan rincian 416 kabupaten dan 98 kota. Di dalam irisan data tersebut, tercatat sudah ada 14,9 juta pedagang atau merchant yang bergabung dengan estimasi transaksi total sejauh ini ada di angka Rp81.980.522.339.
Meski pro dan kontra tentu ada, karena yang namanya kebijakan tentu tak lepas dari itu, QRIS sejatinya membantu percepatan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.
Ketika rupiah digital masih dalam tahap pengembangan dan perencanaan, peluncuran dan penggunaan QRIS di Indonesia adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Salah satu poin penting yang disoroti tentu tak hanya soal fitur QRIS itu sendiri, tapi juga tentang bagaimana sebagai satu negara mencoba terus relevan dengan zaman yang kian canggih ini.
Untuk layanan sektor keuangan dan pembayaran transaksi berbasis non-tunai, QRIS memberi manfaat dari segi efisiensi dan efektivitas. Dari sisi digital sendiri, teknologi ini bisa dibilang menjadi salah satu inisiatif Indonesia dalam upaya menyongsong ekonomi digital karena banyak turunan transaksi digital lain yang bisa dikembangkan ke depannya, menggunakan data transaksi yang tercatat di QR Code pembayaran tersebut.
Ketika berbicara cashless society, QRIS adalah jalan pembuka menuju ke arah itu. Jangan lupa, Indonesia punya jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 250 juta jiwa dan itu berarti pangsa pasar yang besar untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang berpotensi menjadi raksasa digital mengikuti jejak Cina dan India.
Tentu jalan itu tak instan dan butuh banyak peningkatan dari segi infrastruktur dan teknologi. Namun, angan itu bukan mimpi belaka dan dari QRIS, setidaknya dari sektor ekonomi digital, kita perlahan menuju ke arah yang tepat.
Dan tahukah kamu, QRIS tak hanya bisa digunakan untuk jajan soto di pinggiran Sleman saja. Barang satu ini juga bisa untuk bayar jasa becak motor di Sibolga, untuk naik angkot di Manado, hingga naik becak di Tuban.
Sementara itu, QRIS makin cepat menuai popularitas, salah satunya karena pandemi, di mana akselerasi digital adalah imbas positif dari merebaknya Corona di Indonesia. Pasalnya, QRIS merupakan pembayaran nirsentuh yang sangat cocok di kala pandemi. Utamanya ketika wilayah di Indonesia memasuki fase PSBB hingga PPKM darurat.
QRIS jadi solusi melawan tindak kriminal skimming
Selain dampak nyatanya terhadap akselerasi sektor ekonomi digital, QRIS juga pelan-pelan mengikis ketergantungan kita kepada uang kartal (uang kertas dan logam).
Pasalnya, uang tunai yang umumnya kita tarik dari mesin ATM, tak jarang memunculkan bentuk kejahatan baru yang cara dan tekniknya kian canggih, seiring dengan zaman yang semakin satset ini.
Saya tidak punya data terbarunya. Namun, mengutip laporan Tempo pada Juli 2015 lalu, sebanyak total 5.500 kasus skimming ATM di dunia, sebanyak 1.549 kasus atau sepertiganya terjadi di Indonesia.
Skimming sendiri adalah aktivitas penggandaan informasi atau pencurian data yang terdapat dalam pita magnetik. Biasanya dilakukan di mesin-mesin ATM di Indonesia.
Dari data Polri sendiri, kasus skimming pertama kali terjadi di Indonesia pada Maret 2015 lalu. Hingga detik ini, kasus ini masih marak terjadi. Salah satu cara mencegah tindak kejahatan ini adalah dengan transaksi cardless atau ya pembayaran non-tunai.
Sederhananya begini. Jika kamu masih termasuk golongan masyarakat konvensional yang belum merasa “pegang uang” kalau belum punya uang tunai di tangan, transaksi cardless atau penarikan tunai di ATM tanpa kartu bisa jadi solusi.
Namun, jika kamu termasuk golongan anak hits Seturan yang biasa haha-hihi dan setiap transaksi hanya perlu klik-klik dari hape, QRIS adalah jawaban terbaik.
QRIS ramah UMKM dan punya banyak manfaat
Dari warung soto di pinggiran Sleman yang saya ceritakan di atas, hingga bakul cendol yang mungkin mangkal di depan gang rumahmu, mungkin mereka adalah dua di antara 14,9 juta pedagang yang sudah bergabung bersama QRIS.
Keuntungannya pun tak main-main. Meski tak sepenuhnya bisa kita lihat langsung.
Pertama, pedagang yang dulu mungkin tidak punya rekening bank. Namun, dengan bergabung ke QRIS, mereka punya rekening yang bisa digunakan untuk menabung, tambah modal dagang, hingga ekspansi bisnisnya.
Kedua, dari sisi konsumen, bertransaksi dengan QRIS juga membuat belanja lebih nyaman dan tidak ada lagi rasa was-was karena nggak pegang uang tunai.
Di dalam perputaran ekonomi digital ini, omset UMKM bisa naik, ekonomi bergerak secara konstan, peredaran uang palsu bisa diminimalisir, hingga mengurangi risiko uang ditilep pegawai!
Ketiga, nilai higienis. Dengan faktor kebersihan yang kini jadi bagian gaya hidup manusia pasca-pandemi, agaknya transaksi jual-beli yang tidak mengharuskan kita memegang uang tunai yang sudah berpindah dari tangan ke tangan, membuat kita tak perlu lagi merasa perlu semprot-semprot hand sanitizer tiap saat.
Keempat, dan ini yang menurut saya manfaat paling underrated alias belum diapresiasi banyak orang: QRIS ini menyatukan orang yang punya rekening bank dengan yang nggak punya, hanya dalam satu genggaman hape!
Percayalah, jika semua kata-kata di artikel ini terdengar bualan belaka, saya tetap yakin QRIS adalah game changer yang dibutuhkan Indonesia. Terutama di tengah situasi ekonomi yang tengah mencoba bangkit usai dihantam pandemi selama dua tahun terakhir.
Ya namanya bangkit dari kejatuhan kan tidak langsung berdiri, lalu lari. Bertahap, berproses, dan kita akan memetik hasilnya nanti.
Pelan-pelan, kita akan masuk ke suatu zaman di mana transfer bank dan antar-bank jadi sesuatu yang ribet dan ketika teman kamu ngomong, “Sek yo, tak njupuk duit nang ATM”, akan jadi lelucon segar di tongkrongan. Ingat, saat itu, QRIS mungkin sudah jadi bagian dari gaya hidup sehari-hari masyarakat kita.
Tapi ya, satu-satunya kekesalan saya sama QRIS ini cuma ajakan terus-menerus buat menyebutnya “KRIS” ketimbang “Q(kyu)RIS”. Ya itu kan jelas-jelas pakai Q bukan K. Plis, lah, dari K ke Q itu jaraknya enam huruf yo, jauuuh!
BACA JUGA Panduan Agar Tidak Bersikap Goblok Saat Antre di ATM dan analisis menarik lainnya di rubrik KONTER.
Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria
Editor: Yamadipati Seno