MOJOK.CO – Live streaming TikTok sangat menggiurkan. Namun, di balik hujan cuan itu, tersimpan kepahitan dan sisi gelap sebuah fenomena.
Pernah nggak kamu buka TikTok dan langsung menemukan video live streaming orang yang teriak-teriak sambil bilang, “Ayo buruan di-checkout barangnya kakak di etalase”?
Itulah wajah baru pasar di era modern. Era di mana hal-hal yang umumnya kita temui di pasar tradisional pada era lampau, kini dikonversi ke ruang digital. Lebih tepatnya, mereka memboyong dan memperkenalkan ke dalam lingkup platform media sosial. Salah satunya TikTok.
Live streaming memang sedang naik daun dan menjadi primadona. Di Indonesia, ini sudah menjadi ceruk pasar yang menarik. E-commerce yang awalnya berfokus di aplikasi dan promosi standar ala marketplace, kini dikonversi ke wujud live streaming lengkap dengan etalasenya. Kalau mengutip omongan Sandiaga Uno, platform live streaming ini menjadi “ruang komersial baru”.
Teknologi membuat segalanya jadi mungkin. Di konteks live streaming misalnya, trust lebih mudah didapat karena calon pembeli bisa langsung melihat. Mereka juga bisa sedikit membayangkan seperti apa kira-kira jenis barang yang nantinya akan mereka beli lewat peragaan “admin” TikTok.
Sebelumnya, katakanlah 2 sampai 3 tahun lalu, hal ini masih mustahil. Siapa bisa percaya kalau 3 tahun lalu, dalam satu sesi live streaming, orang bisa dengan mudah dapat puluhan juta lewat transaksi?
Sampai kapan live streaming ala TikTok ini bertahan?
Kalau di awal sudah sedikit soal manis-manisnya, ini saatnya masuk ke tahap pahitnya. Mengingat live streaming, khususnya di TikTok, sedang gencar dan ramai, serta wujudnya adalah user experience yang terasa baru dan sangat segar, setidaknya dalam 1 sampai 2 tahun lagi, potensinya masih sangat besar.
Tapi patut diingat, beberapa platform masih melakukan bakar uang untuk memberikan subsidi berupa bebas ongkir dan sejenisnya. TikTok juga begitu. Subsidi ini yang kemudian menjadi salah satu pendongkrak utama kenapa kemudian transaksi sangat mungkin terjadi di live stream, katakanlah di TikTok. Dari data terbaru saja, TikTok dikabarkan sudah investasi sebesar $12 miliar untuk optimalisasi live streaming di platform mereka.
Lalu, satu yang patut diingat, perekonomian Indonesia kini sudah berangsur pulih bahkan menuju normal seperti pra-pandemi. Pergerakan masyarakat di berbagai wilayah sudah leluasa. Terbaru, Presiden Joko Widodo sudah mencabut kewajiban memakai masker di berbagai tempat umum. Kini, Indonesia masuk di tahap endemi Covid-19. Setidaknya untuk saat ini dan beberapa waktu ke depan, semua aman.
Endemi ini yang kemudian membuat kemungkinan masyarakat kembali ke platform e-commerce menjadi sangat besar sekali. Karena di masa pandemi, semua kita lakukan lewat marketplace dan live streaming masih sangat asing kala itu. Ketika bakar uang berhenti dan masyarakat sudah benar-benar normal seperti sedia kala, bisnis ini akan bertemu tantangan sejatinya; inovasi atau tenggelam.
Live streaming sendiri sejatinya tidak serta-merta perihal uang, meski potensi revenue-nya memang luar biasa. Namun semua bisnis dan inovasi yang diharapkan akan oke, harus berangkat dari fondasi atau core yang oke pula. Ini yang kemudian akan dinantikan untuk bisa menjadi inovasi, setidaknya nanti akan kita tunggu perkembangannya dari TikTok, Instagram, atau berbagai platform live streaming lainnya.
Prediksi saya perihal live streaming TikTok dan platform lainnya
Yang pertama, live stream perlu kembali ke fungsi utamanya; to entertain people and to engage. Di koridor industri yang sifatnya menghibur, orang akan secara perlahan menyadari bahwa live stream di platform apa saja tak melulu soal jualan barang, tapi juga soal konten.
Content is the king, while money is the output after it. Selama konten bisa ditempatkan sebagai pucuk teratas di ekosistem media sosial, saya rasa live streaming sebagai bisnis akan bisa bertahan tidak hanya untuk 2 sampai 3 tahun ke depan. Mereka bisa bertahan dan menetap sebagai sebuah platform pilihan baru selain video pendek ala TikTok dan photo feed seperti Instagram.
Yang kedua, mewaspadai dengan benar apa yang selama ini dimanfaatkan orang untuk mendapatkan uang dengan mudah. Di TikTok, ada sekumpulan agensi yang mengelola puluhan talent live stream untuk melakukan live streaming dengan cara-cara yang kurang elok, untuk mendapatkan gift dan ditukarkan menjadi cash.
Sistem saweran yang marak di live streaming TikTok ini menarik, tapi tidak sustainable untuk jangka panjang. Maksud saya, simpelnya, sampai kapan kamu akan betah menonton dan menikmati tontonan dari orang yang mandi air dingin pukul 12 malam hanya demi gift dari TikTok? It was fun while it lasted, sampai akhirnya nanti inovasi muncul dan hal-hal seperti ini bisa diberantas.
Yang ketiga dan terakhir, mengurangi potensi munculnya eksploitasi pekerja di sistem jualan melalui live streaming. Tidak sekali dua kali saya buka TikTok di atas pukul 12 malam dan menemukan perempuan sedang jualan barang bahkan sampai pukul 1 atau 2 dini hari.
Saya paham ini sistem shifting di mana mereka mungkin hanya live dari pukul 11 malam sampai subuh. Mereka memanfaatkan insting konsumtif orang yang punya insomnia lalu belanja barang.
Evaluasi
Tapi, Indonesia ini sudah amburadul soal peraturan ketenagakerjaan sejak dahulu kala. Jadi, sebelum pekerjaan sebagai host untuk live stream buat jualan jadi sesuatu yang lumrah, ada baiknya ini bisa lekas jadi evaluasi. Orang harus paham bahwa live stream memang menarik, tapi ya nggak 24 jam full juga kali, bos.
Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Menguak Rahasia Gelap Live Streaming TikTok Mandi Lumpur yang Nggak Banyak Kamu Tahu! dan analisis menarik lainnya di rubrik KONTER.