MOJOK.CO – Clubhouse lagi booming di Indonesia. Namun, ada beberapa alasan popularitas mereka nggak akan bertahan lama. Mari saya jelaskan.
Clubhouse mendadak jadi aplikasi hits di Indonesia. Hanya dalam satu pekan, circle pertemanan saya tiba-tiba ramai ajakan untuk download aplikasi ini dan beraktivitas di dalamnya. Meroketnya aplikasi ini cukup mengagetkan, walau kemudian saya tahu belakangan, alasannya cukup masuk akal.
Manusia terkaya di dunia, sekaligus sosok yang super cool menurut saya, Elon Musk, turut andil membuat Clubhouse jadi aplikasi hits hanya dalam hitungan hari. Elon adalah satu-satunya manusia di masa kini, yang ketika sebagian orang di Indonesia masih berkutat soal bubur diaduk atau tidak diaduk, beliau sudah ancang-ancang untuk membangun koloni di Mars.
Dalam hitungan kasar saya, hanya dalam tempo enam hari saja, banyak teman (pengguna iOS tentu saja) sekitar saya yang berbondong-bondong mengunduh Clubhouse dan nyaris hidup di dalamnya. Saya punya teman, seorang head of sales di salah satu media ternama Indonesia, yang menghabiskan 1/3 waktunya tiap hari untuk aktif dari room ke room di Clubhouse.
Karena gaungnya yang besar sekaligus didorong rasa ingin mengulik sistem di baliknya, saya ikut mengunduh dan terlibat di salah satu room di Clubhouse. Dan berikut beberapa hal yang saya rangkum, tentu saja dengan penilaian yang relatif subjektif, walau sebisa mungkin saya coba objektif.
Clubhouse adalah early bloomer, namun rentan layu dalam waktu cepat
Kesan pertama saya di Clubhouse adalah perkara eksklusivitas. Baru signed up saja, saya harus booking username dan menunggu di-invite oleh teman yang sudah lebih dulu login di Clubhouse. Beruntung, ada kawan yang suka hati beri invitation secara gratis ke saya. Baru mendaftar, 10 menit kemudian saya sudah masuk ke aplikasinya. Oh ya, setahu saya, kita yang sudah join ke Clubhouse hanya bisa beri invitation ke dua akun baru. Tak ayal, di Indonesia, invitation ke Clubhouse bahkan diperjualbelikan. Hahaha!
Sederhananya, Clubhouse menawarkan medium berbagi ilmu/opini sekaligus platform untuk mengoceh apa pun dalam sebuah aplikasi. Ya mirip-mirip podcast, cuma ini versi live. Nggak ada editing, nggak ada sensor, ya ngobrol saja. Model siaran radio kali, ya?
Namun buat saya pribadi, meroketnya Clubhouse dalam waktu singkat rentan jadi backstabbing bagi developer. Logika sederhana saja, aplikasi ini hadir pertama kali April 2020, dan langsung bersaing dengan Zoom hingga Google Meet. Karena imbas pandemi virus corona, virtual meeting dan conference call mendadak jadi primadona. Tapi, butuh nyaris satu tahun hingga akhirnya Clubhouse nge-hits dan dikenal orang di Indonesia.Â
Kenapa? Entah ya, tapi bisa jadi, dulu, aplikasi ini saking eksklusifnya, dia tak menarik minat banyak orang secara global karena kalah bersaing dengan Zoom dan kawan-kawannya, yang lebih ramah pasar dan users.
Ketika akhirnya hits saat ini, sejatinya perlu waktu untuk dianalisis ke banyak faktor penyebabnya. Namun, salah satu yang menjadi dugaan saya; orang mulai bosan dengan Zoom dan Clubhouse hadir dengan nilai eksklusivitas yang mengesankan bahwa “Eh ini lho, aplikasi mirip Zoom tapi lebih eksklusif.” Di Indonesia, hal beginian mudah dilahap pasar, apalagi jualannya “khusus pengguna iOS“. Lha wong kamu pakai iPhone 5s atau iPhone 6 saja bisa dikira orang kaya kok di Jakarta hahaha!
Namun satu yang pasti, aplikasi ini bisa dibilang early bloomer, serta sangat rentan layu dalam waktu dekat, at least satu sampai tiga tahun atau mungkin lima tahun ke depan. Yah, kunci utamanya tetap di pengembang dan bagaimana mereka menyikapi meroketnya popularitas aplikasi ini dalam waktu singkat.
Kenapa Clubhouse cepat meroket di Indonesia?
Pengguna Twitter bernama Muhammad Mustadi di akunnya @mathdroid, sedikit menjelaskan dengan apik dan logis kenapa Clubhouse mampu booming secara cepat di Indonesia. Salah satu alasannya, faktor sosial orang Asia dan ya, culture orang Indonesia yang suka sekali dengan embel-embel bernada “eksklusif”.
Yang kedua, tentu faktor Elon Musk tadi. Hampir semua teman saya aktif di Clubhouse dan saya tanya alasan tertarik dengan aplikasi ini, jawabannya karena Elon Musk. Masuk akal, sebab meski dirilis pertama kali pada April 2020, publik Indonesia baru pertama kali mendengar tentang Clubhouse pada Februari 2021, dan semua karena si Elon.
Yang ketiga, orang Indonesia itu nggumunan dan kagetan. Semua isu yang berkelindan di media sosial, cepat dilahap publik dan media. Dari kasus bansos yang dikorupsi, video syur Gisel, sampai perceraian Rachel Vennya, dilahap publik dan media Indonesia dengan rakus. Tak pelak, viralnya Clubhouse sebenarnya bukan hal mengejutkan di Indonesia.
Keempat, aplikasi ini berbasis FOMO (Fear of Missing Out). Semua room yang tersedia hanya bisa kamu pantau jika kamu stand by di dalam aplikasi. Aplikasi ini, sependek yang saya tahu, silakan koreksi jika saya salah, tidak memberikan notifikasi terkait room-room apa saja yang sedang ongoing dan speaker siapa saja yang tengah mengisi room. Jadi, mau nggak mau, kalian harus rutin memantau di dalam aplikasi dan memastikan tidak kelewat satu pun. Agak repot ya, bund?
Kesan-kesan memakai Clubhouse
Sedikit banyak, saya tidak terlalu menikmati aplikasi ini. Tapi ini sangat subjektif. Pertama, ketika saya diminta mengisi di salah satu room terkait kerja digital dan SEO & SEM, saya merasa platform ini tidak optimal menyodorkan knowledge sharing seperti Zoom misalnya, yang memberikan fitur share screen.
Untuk hal-hal yang sifatnya teknis, Clubhouse bukan tempat yang asyik untuk mencari ilmu. Lebih asyik untuk rumpi online atau gibah jemaah secara digital. Tapi satu yang menarik, Clubhouse asyik untuk berbagi hal yang sifatnya teoritis, misal, saran dan ilmu yang mudah dibagikan secara lisan. Contohnya, tips menulis buku pertamamu atau kiat-kiat menjadi penulis. Saya bahkan sempat membayangkan jika Haruki Murakami dan Eka Kurniawan sudi mengisi satu room untuk full membahas sastra di Clubhouse, sepertinya akan menarik.
Tantangan ke depannya?
Satu yang menantang adalah keputusan developer untuk memberi ruang atau tidak bagi pengguna Android. Kenapa? Karena yang paling menjual dari Clubhouse di titik ini adalah nilai eksklusivitasnya dan embel-embel “hanya untuk pengguna iOS”. Membuka Clubhouse untuk Android-user berarti menghilangkan sisi eksklusif aplikasi ini, yang saya rasa, sejauh ini jadi pendorong utama kenapa aplikasi ini viral di Indonesia.
Kedua, “ancaman” dari kompetitor. Twitter dikabarkan tengah menguji coba fitur “Spaces” yang konsepnya agak mirip Clubhouse. Saya juga sempat baca di New York Times, Facebook juga tengah menyiapkan fitur serupa untuk menandingi popularitas Clubhouse. Saya nggak tahu sejauh apa fitur yang dikembangkan Twitter dan Facebook, tapi let’s see aja lah, ya.
Ketiga, retention’s problem. Retention ini terkait seberapa sering satu user sudi keluar-masuk ke dalam aplikasi tiap harinya. Di konteks saya pribadi, Clubhouse ini tidak menawarkan hal yang menarik yang bisa bikin saya balik lagi ke aplikasi ini, seperti misalnya yang ditawarkan TikTok atau Twitter. UI-nya memang simpel dan mudah dipahami users baru, tapi setelah saya selesai di satu room dan kembali ke Homepage, nyaris nggak ada yang menarik di sana selain daftar room-room lain yang bagi saya lumayan membosankan.
Keempat, speakers. Saya merasa, di Clubhouse, kalau kamu nggak big enough as a person, kamu nggak akan dapat banyak waktu untuk bersuara. Jadi, first impression saya, platform ini hanya untuk mengakomodasi orang-orang kaya raya berceloteh soal kesuksesan mereka, yang mana agak mirip ya sama apa yang dulu saya alami semasa sekolah di SD sampai SMA. Murid duduk diam, guru berceloteh menjelaskan, dan murid kalau bertanya harus angkat tangan, hadeeeh~
Demikian sedikit yang bisa saya bagikan terkait Clubhouse. Meski nggak apple to apple, Clubhouse bisa sedikit melirik apa yang terjadi pada Path dan Pokemon Go. Path sekarang sudah gulung tikar, sementara Pokemon Go sudah sepi peminat.
Dulu di 2016, ketika Niantic merilis Pokemon Go, game pertama Niantic yang berbasis augmented reality, saya ingat betul, hype-nya hampir mirip Clubhouse saat ini.
Saat itu, gim ini hanya bisa dimainkan di beberapa HP tertentu. Tapi lima tahun berselang, Pokemon Go kandas dihantam PUBG, Mobile Legends, hingga Free Fire. Kuncinya adalah di adaptasi dan improvement serta kemampuan developer untuk maintenance users, jangan malah kayak Instagram, yang fokusnya duit mulu.
BACA JUGA Menyelami 4 Aplikasi Dating yang Penuh Cinta dan tulisan lainnya di rubrik KONTER.